"Pelan-pelan, itu sakit", pintaku.
Aku dibaringkan di ruang tamu beralas tikar pada salah satu rumah warga. Aku menangis. Aku takut. Aku sedih. Gejolak rasa sakit, panik, bingung mengiringi bayangan-bayanganku kedepan. Aku takut cacat. Sebelum terlalu jauh dibayangi hal-hal buruk, Deden membuyarkan semuanya.
"Mana hapemu, sini liat nomor bapakmu", ucap Deden dengan wajah panik.
"Aku hafal den, tulis sudah sekarang", lirihku
Segera setelah selesai mengetik pada tombol hapenya, Deden mengabari kondisi terkini kepada bapakku. Beruntung (tumben) dia punya pulsa.
Selang beberapa lama, mobil Ambulance telah terparkir dihalaman rumah, tubuhku dinaikkan ke ranjang dorong dan dimasukkan ke mobil. Didalamnya sudah ada beberapa temanku yang ikut menjemput. Ternyata kabar kecelakaan ini telah tersebar dikalangan teman tongkronganku.
Kusadari ambulance melaju kearah Sotek, aku dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan pertama meski aku tahu itu tak akan banyak membantu, tapi aku pasrah. Sesampainya di Puskesmas ternyata bapakku sudah menunggu, entah bagaimana ceritanya dia tahu kalau aku juga akan ke tempat ini.
"Aku takut cacat pak", ucapku
"Ah enggak, nantikan sembuh. Semua akan baik-baik saja", yakin beliau.
Kudapati raut wajah haru bapak mencoba menahan tetes air matanya. Aku serba salah.
Oleh suster yang piket skinny jeans dan crewneck andalanku digunting karena ingin mengecek luka di paha dan tanganku. Karena memang ada darah mengalir dan menembus celanaku, sekaligus memasang kardus yang dilipat menyerupai gips untuk menahan posisi kakiku agar tidak bergerak terlalu liar.