Mohon tunggu...
Anak Lanang
Anak Lanang Mohon Tunggu... -

hanya rakyat biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agamamu, Agamaku & Agama-agama Kita

1 Agustus 2012   13:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ia bukanlah seorang Guru yang suka memasang senyuman plastik. Ketika gusar, ia tidak berusaha untuk menyembunyikan kegusarannya. Seperti ketika ia menghadapi teman-teman dari kelompok Wahabi yang meneruskan sekte Hambali yang alot, keras, kaku. Mereka mengaku sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masih setia pada Al-Qur’an dan Hadis. Mereka tidak relah jika ada yang melakukan ijtihad dan berusaha untuk memahami ayat-ayat suci sesuai dengan kesadarannya.

Mereka adalah kelompok yang selalu berseberangan dengan Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun, Dawam, Ma’rif. Mereka selalu membela para penjahat dan teroris seperti Amrozi, Samudra dan lain-lain.

Kepada mereka, Sang Guru mengatakan , “Janganlah hidup dalam ilusi seolah dengan memelihara janggut seperti nabi, atau berjubah seperti beliau – kalian sudah cukup Islam. Berakhlaklah seperti beliau.

“Nabi mengangkat pedang hanya untuk melawan kezaliman, demi kebebasan dan kemerdekaan….. Apa yang kalian lakukan? Setiap tahun mengejar teman-teman kita dari kelompok Shi’a. Tidak pernah berhenti sebelum jatuhnya korban, sebelum ada nyawa yang melayang. Mencaci-maki kelompok-kelompok lain. Kalian adalah Daag pada wajah Islam.” Daag dalam bahasa Urdu berarti “Noda”.

Sekitar tahun 1960-an memang masih sering terjadi pertikaian antara kelompok Shi’a dan Sunni, khususnya menjelang hari berkabung bagi kelompok Shi’a dimana mereka memperingati kematian Hassan dan Hussein, cucu Nabi, Mere Mehboob, Kekasihku.

Beliau, Guruku, sungguh merupakan ensiklopedi kebijakan. Suatu ketika ia menjelaskan, “Nabi kita begitu rendah hati, begitu sopan, santun, sehingga siapapun yang datang kepada-Nya, ia akan berkata, ‘Doakanlah diriku, keluargaku, sahabatku’…. Padahal, bukanlah beliau yang membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau.

“Sekarang, apa yang terjadi?
Telah menjadi kebiasaan kita untuk setiap kali mendoakan beliau. Tidak apa, baik-baik saja. Asal kita tidak menjadi sombong, tidak menjadi angkuh seolah beliau membutuhkan doa kita.

“Tisak, beliau tidak membutuhkan doa kita.
Kitalah yang membutuhkan doa beliau!”

Tetapi, kemudian, ia pun selalu mengingatkan kita, “Janganlah kalian membingungkan teman-teman yang belum siap untuk pelajaran ini. Mereka yang belum siap dengan materi yang kita dapatkan disini.

“Dalam setiap tradisi, dalam agama manapun, kita selalu diingatkan supaya tidak melemparkan mutiar kepada kawanan babi. Bhagavad Gita pun mengatakan, janganlah menyebarluaskan ajaran ini di tengah masyarakat yang belum siap.

“Babi diberi mutiara, apa yang terjadi?
Ia tidak tahu nilai mutiara, ia memakannya, keselek, dan ia tidak dapat benapas. Ia gusar dan akan menyerangmu kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun