Kembali pada beliau, “Ya, di mata Allah yang ada hanyalah satu, yaitu Islam. Dan, semua Nabi adalah Muslim. Hazrat Isa yang ajarannya menjadi inspirasi bagi agama Masihi, Hazrat Musa yang syariatnya menjadi agama Yahudi – mereka semua adalah Muslim. Tanpa kecuali. Bahkan, nabi-nabi lain, dari tradisi-tradisi lain yang tidak disebut dalam Al-Qur’an. Karena, Allah pun berfirman bahwa tidak semua nabi dijelaskan lewat Al-Qur’an.”
Beliau mengartikan Islam sebagai “sifat dari agama”. Dan, “sifat”-nya itu satu. “Seperti,” Beliau jelaskan, “gula hanya memiliki satu sifat, ‘Manis’. Itu saja. Apapun bahan baku yang digunakan untuk membuat gula, jika tidak manis, ya bukan gula.
“Din adalah sifat Mazhab.
Din adalah Keagamaan, inti sari agama, agama yang dilakoni, dijalankan. Mazhab adalah wahananya, alirannya. Yang mengalir adalah Air Kehidupan Din. Mazhab adalah agama, aliran. Din adalah keagamaan, air yang mengalir.
“Apapun Mazhabmu,
Jika kau menjalankannya dengan baik, maka kau telah menemukan Din. Dan, Din itulah yang diperhatikan oleh Allah.
“Agak tidak tepat jika Din diartikan sebagai agama.
Karena, ketika Al-Qur’an diterima oleh Kekasihku,” Ya, ‘Kekasihku’, atau Mere Mehboob dalam bahasa Urdu, dengan julukan itulah beliau sering menyebut Rasul Allah, Muhammad yang kumuliakan…… “saat itu sudah ada agama Masihi, ada agama Yahudi, ada kelompok-kelompok lain pula. Kendati demikian, Firman Allah jelas dan tegas bahwa Isa yang dijunjung tinggi oleh kelompok Masihi, dan Musa yang dijunjung tinggi oleh kelompok Yahudi, adalah Muslim, Nabi. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang rendah. Semua Nabi, semua Rasul sama adanya.
“Din adalah ‘laku-agama’, perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Dan, ajaran agama sungguh sangat luas, tidak dapat dijadikan monopoli salah satu kelompok. Maka, Allah pun menasihati kita supaya melakoni agama sesuai degan kesadaran kita, dan membiarkan orang lain melakoninya sesuai dengan kesadaran dia.
“Sungguh sangat tidak bijak jika kita mengharuskan seorang anak yang baru berusia 5 tahun untuk melakoni agama dan memahami ajaran agama sebagaimana dilakoni dan dipahami oleh seorang dewasa.”
Saat itu, pemahaman agama seperti itu terasa “oke-oke” saja. Masuk akal sih, walau usia saya baru 11-12 tahun. Beberapa tahun kemudian, kembali ke Indonesia, saya baru sadar betapa revolusionernya pemahaman Guruku, Murshiduku, Sheikhku…. Waheguru, Wah Guru, Engkau sungguh hebat!
Di lain kesempatan ia merestui perkawinan antara dua orang muridnya yang beda agama. Perkawinan seperti itu memang tidak dilarang oleh konstitusi negara India, kendati sebagian masyarakat masih belum dapat menerimanya. Saat itu, seorang murid lain berkomentar, “Baba, bagaimana jika kelompok fundamental menyerangmu?”
“Ah, kelompok fundamental….
Apa benar mereka fundamental? Jika benar fundamental, mereka tidak akan menyerang. Karena mereka tahu persis ketika Mere Mehboob kawin dengan Khadija, ritual Agama Islam pun belum ada. Perkawinan mereka itu sesuai dengan ritual agama yang mana? Apakah perkawinan mereka tidak sah?
“Tidak, yang dapat menyerang saya bukanlah kelompok fundamental. Tetapi, segerombolan orang-orang yang belum memahami agama. Kasihan. Ya, mereka patut dikasihani. Aku akan menerima serangan mereka, dan akan berusaha untuk menjelaskan sebatas kemampuanku.”