Mohon tunggu...
Raden Agus Suparman
Raden Agus Suparman Mohon Tunggu... -

seorang blogger spesialis perpajakan di http://pajaktaxes.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Reformasi Pengadilan Pajak

15 Maret 2011   15:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Kalimat tersebut saya kutip dari penjelasan UU No. 35 Tahun 1999. Di paragrap selanjutnya disebutkan:

pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan.


Sayang sekali, agenda reformasi dibidang hukum tadi belum menyentuh pengadilan pajak.

Pengadilan pajak saat ini masih dibawah Kementrian Keuangan. Menurut Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 bahwa pembinaan teknis  pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementrian Keuangan. Padahal, bentuk reformasi di bidang hukum adalah memindahkan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (sekarang kementrian) yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Artinya, saat ini struktur pengadilan pajak belum reformis.

Bagaimana jika pengadilan pajak dikembalikan kepada semangat reformasi di bidang hukum? Serahkan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung? Mungkin bisa dimasukkan sebagai pengadilan khusus di peradilan tata usaha negara.

Selama ini putusan pengadilan pajak dianggap putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. Hal ini ditegaskan di Pasal 27 ayat (2) UU KUP. Putusannya memang sudah dimasukkan sebagai peradilan tata usaha negara, tetapi masalah keuangan, administrasi, dan organisasi masih menginduk ke Kementrian Keuangan. Ini ibarat kepala ada di Mahkamah Agung tapi leher kebawah berada di Kementrian Keuangan.

Adakah kemauan Kementrian Keuangan untuk mereformasi pengadilan pajak? Ini pertanyaan sentral. Kemauan ini harus berada di tingkat kementrian karena melibatkan dua institusi, yaitu pengadilan pajak dan DJP. Proses pengadilan sengketa pajak dimulai dari proses keberatan di DJP. Kemudian banding di pengadilan pajak.

Saya merasa, jika pihak kementrian sudah mengintruksikan pencabutan "pengadilan semu" sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara maka DJP tidak bisa menolak. Secara strukturan, DJP harus tunduk pada kebijakan yang dikeluarkan pihak kementrian. Walaupun demikian, pemindahan pengadilan semu sengketa pajak ke peradilan tata usaha negara akan lebih baik bagi DJP.

Sekurang-kurangnya ada tiga keuntungan yang akan diraih DJP jika melepas kewenangan proses keberatan :

[1.] Memperlihatkan bahwa DJP mau mereformasi diri.

Fungsi utama DJP sebenarnya sebagai administrator pajak. Menteri Keuangan sudah memutuskan untuk memberikan fungsi kebijakan fiskal 100% ke BKF, sehingga kebijakan perpajakan juga diserahkan ke BKF. Fungsi pengadilan semu juga harus dikeluarkan. Masalah sengketa pajak, diserahkan ke peradilan tata usaha negara. Fungsi yang tersisa tinggal DJP sebagai administrator penerimaan pajak semata. Wajib Pajak pun tidak akan lagi menuduh DJP terlalu kuat!

[2.] Memberikan kesetaraan bagi Wajib Pajak.

Sebenarnya DJP memiliki kewenangan terlalu besar. DJP menetapkan pajak terutang. DJP juga memutus sengketa atas pajak terutang, walaupun di tingkat keberatan.  Pada saat menghitung pajak, pemeriksa pajak berlandaskan "demi penerimaan". Pada saat memutuskan sengketa, penelaah keberatan juga berlandaskan "demi penerimaan". Akibatnya, Wajib Pajak diperlakukan tidak proporsional karena semua berlandaskan "demi penerimaan". Jika proses keberatan diserahkan pada PTUN, PT TUN dan MA maka Wajib Pajak dan DJP memiliki posisi setara memperjuangkan hak dan kewenangannya. Ada pihak yang independen dan merdeka memutuskan sengketa tersebut.

[3.] Meningkatkan profesional pemeriksa pajak.

Pejabat fungsional pemeriksa pajak tentu akan berpikir ulang jika mereka menghitung pajak berdasarkan "kehendaknya semata". Jika proses keberatan dan banding diserahkan pada peradilan tata usaha negara maka pemeriksa tentu akan selalu berpikir, "Bagaimana mempertahankan argumentasi saya di peradilan tata usaha negara?". Kondisi ini akan menghapus arogansi pemeriksa pajak karena sangat rentan ketetapannya dibatalkan oleh PTUN. Maksud arogansi pemeriksa pajak adalah penafsiran peraturan secara sepihak! Efeknya tentu menghilangkan citra buruk bagi DJP. Wajib Pajak akan merasa setara dengan pemeriksa pada saat pemeriksaan. Wajib Pajak akan merasa setara dengan DJP. Setidaknya pada saat proses peradilan.

Pengalihan pengadilan pajak kepada sistem peradilan tata usaha negara ditengarai akan "meramaikan" persidangan pengadilan tata usaha negara. Surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh DJP setiap bulannya tentu sangat banyak. Walaupun tidak semua surat ketetapan pajak akan masuk ke pengadilan pajak, tetapi jika hitung-hitungan persentase, mungkin sekitar 5% berpotensi masuk ke pengadilan pajak. Apalagi Wajib Pajak merasa setara. Wajib Pajak akan semakin berani menggugat DJP.

Sebenarnya "bahan baku" pengadilan pajak tidak hanya dari DJP. Bisa juga dari DJBC dan Dinas Pendapatan baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penghitungan bea masuk dan cukai yang dianggap tidak tepat, dapat digugat ke pengadilan pajak. Begitu juga penetapan pajak daerah yang ditetapkan oleh Dinas Pendapatan baik provinsi maupun kabupaten/kota hanya bisa digugat melalui pengadilan pajak.

Artinya, reformasi pengadilan pajak akan menguntungkan semua pihak.  Wajib Pajak akan merasa diperlakukan lebih setara (equal treatment). Administrator perpajakan juga akan lebih profesional karena ketetapannya sangat mudah dibatalkan jika tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Semoga ada perubahan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun