Mohon tunggu...
Raden Agus Suparman
Raden Agus Suparman Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Pajak

Raden Agus Suparman, S.E., S.Ak., M.Si. telah menjadi praktisi pajak sejak 1995. Dimulai dari fungsional pemeriksa pajak (1995 sd 2010), Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan (2010 sd 2014). Lanjut mutasi ke Kepala Seksi Pengawasan di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama (2014 sd 2018), dan KPP Pratama Bandung Tegallega sampai pensiun dini (2018 sd 2022). Setelah pensiun dini, bergabung di Taxprime Academy, kemudian mendirikan PT Botax Consulting Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Reformasi Pengadilan Pajak

15 Maret 2011   15:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya DJP memiliki kewenangan terlalu besar. DJP menetapkan pajak terutang. DJP juga memutus sengketa atas pajak terutang, walaupun di tingkat keberatan.  Pada saat menghitung pajak, pemeriksa pajak berlandaskan "demi penerimaan". Pada saat memutuskan sengketa, penelaah keberatan juga berlandaskan "demi penerimaan". Akibatnya, Wajib Pajak diperlakukan tidak proporsional karena semua berlandaskan "demi penerimaan". Jika proses keberatan diserahkan pada PTUN, PT TUN dan MA maka Wajib Pajak dan DJP memiliki posisi setara memperjuangkan hak dan kewenangannya. Ada pihak yang independen dan merdeka memutuskan sengketa tersebut.

[3.] Meningkatkan profesional pemeriksa pajak.

Pejabat fungsional pemeriksa pajak tentu akan berpikir ulang jika mereka menghitung pajak berdasarkan "kehendaknya semata". Jika proses keberatan dan banding diserahkan pada peradilan tata usaha negara maka pemeriksa tentu akan selalu berpikir, "Bagaimana mempertahankan argumentasi saya di peradilan tata usaha negara?". Kondisi ini akan menghapus arogansi pemeriksa pajak karena sangat rentan ketetapannya dibatalkan oleh PTUN. Maksud arogansi pemeriksa pajak adalah penafsiran peraturan secara sepihak! Efeknya tentu menghilangkan citra buruk bagi DJP. Wajib Pajak akan merasa setara dengan pemeriksa pada saat pemeriksaan. Wajib Pajak akan merasa setara dengan DJP. Setidaknya pada saat proses peradilan.

Pengalihan pengadilan pajak kepada sistem peradilan tata usaha negara ditengarai akan "meramaikan" persidangan pengadilan tata usaha negara. Surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh DJP setiap bulannya tentu sangat banyak. Walaupun tidak semua surat ketetapan pajak akan masuk ke pengadilan pajak, tetapi jika hitung-hitungan persentase, mungkin sekitar 5% berpotensi masuk ke pengadilan pajak. Apalagi Wajib Pajak merasa setara. Wajib Pajak akan semakin berani menggugat DJP.

Sebenarnya "bahan baku" pengadilan pajak tidak hanya dari DJP. Bisa juga dari DJBC dan Dinas Pendapatan baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penghitungan bea masuk dan cukai yang dianggap tidak tepat, dapat digugat ke pengadilan pajak. Begitu juga penetapan pajak daerah yang ditetapkan oleh Dinas Pendapatan baik provinsi maupun kabupaten/kota hanya bisa digugat melalui pengadilan pajak.

Artinya, reformasi pengadilan pajak akan menguntungkan semua pihak.  Wajib Pajak akan merasa diperlakukan lebih setara (equal treatment). Administrator perpajakan juga akan lebih profesional karena ketetapannya sangat mudah dibatalkan jika tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Semoga ada perubahan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun