”It takes two to tango, rite… Lo dan gaun itu cocok banget! I’m happy if you’re happy,” katanya pelan di telingaku.
Setelah selesai mengepas gaun, aku dan Arum beranjak ke kasir.
“Mbak, kalau saya bayar sekarang, bisa minta tolong nggak?” tanyaku pada petugas kasir.
”Minta tolong apa, mbak?” jawabnya ramah.
”Jadi gini mbak, saya nggak punya tempat penyimpanan gaun seperti ini... Nah, kalau gaunnya saya titip di sini dulu, bisa nggak? Mungkin pakai semacam tanda terima gitu?” kataku lagi.
Petugas kasir itu mulai terlihat bingung, namun ia berusaha untuk menjawab dengan ramah, ”Hm... saya
coba tanyakan dulu pada pemilik bridal ya, Mbak. Memang, pernikahannya kapan?
”Belum tahu,” jawabku enteng.
”Belum tahu?” ulang petugas itu.
”Iya, saya belum tahu kapan akan menikah. Lha wong calon mempelai prianya aja belum ada... Saya cuma suka aja sama gaun itu dan berharap akan mengenakannya di hari pernikahan saya yang entah kapan itu...,” jawabku lagi.
”Oh gitu...,” sahut petugas kasir itu dengan mimik aneh.
Saat aku melirik ke arah Arum, dia terlihat sangat berusaha untuk tidak tertawa. Namun, akhirnya dia pun tak tahan. ”Mbak, mending turutin aja deh... Teman saya ini emang agak... yah... Mbak ngerti kan maksud saya...,” katanya sambil memberi tanda silang di depan dahinya.