”Den, emang lo udah dilamar? Kok kita langsung ke bagian baju pengantin?” tanya Arum dengan berbisik-bisik.
Aku tak menggubris pertanyaan itu dan justru berbicara pada pramuniaga, ”Mbak, saya mau nyoba baju yang waktu itu ya...”
Arum semakin terlihat bingung saat pramuniaga tersenyum sambil berkata, ”Wah, Mbak beda banget penampilannya. Terlihat lebih segar dan... kurusan ya, Mbak? Cocok dong sekarang... Baju yang halter neck kan, Mbak?”
Kali ini, giliranku yang mengangguk. Arum terlihat mengerutkan kening, namun ia masih belum bersuara.
Setelah aku mengepas baju yang diambilkan pramuniaga tadi sambil mematut-matut diri di depan kaca, barulah Arum bersuara.
”Den, kira-kira kapan ya lo kasih tahu apa arti semua ini? Apa nunggu sampai gue mati penasaran?” tanya Arum sambil berusaha mencubitiku.
”Oh iya, gue terhanyut nih... Hehehe... Arum, selamat bertemu dengan sosok nyaris sempurna yang gue ceritain selama ini. Isn’t she gorgeous?” kataku sambil sedikit mengangkat gaunku untuk memberi penghormatan pada Arum.
”What?! Sosok yang lo maksud itu gaun ini? Lo udah gila apa?” teriak Arum dengan mimik aneh.
Aku segera memberi tanda untuk menyuruhnya menutup mulut, ”Sst... Lo jangan histeris gitu dong... Malu didenger mbak yang tadi. Lha, salah sendiri... Kapan gue bilang kalau gue jatuh cinta sama cowok. Kan gue bilang gue jatuh cinta sama suatu sosok yang nyaris sempurna, ya maksudnya gaun ini... Coba deh lo liat, cantik banget kan... Karena nggak ada yang sempurna di dunia ini, makanya gue cuma bisa kasih nilai nyaris sempurna. Asli Rum, waktu pertama kali gue liat gaun ini, jantung gue berdetak kencang banget dan gue tahu bahwa we’re meant to be. Hanya aja, waktu itu kan badan gue sedikit melar dan ya.... belum ada uang untuk membelinya... Nah sekarang, gue berhasil terlihat lebih langsing, turun 10 kg dan punya cukup uang untuk membeli sosok ini. Funtastic, rite...,” cerocosku pada Arum.
Arum hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk dilontarkan padaku.
Karena setelah sekian detik ia belum juga bersuara, akhirnya aku kembali angkat bicara, ”Rum, my job, this gown and a dream to own a Jaguar are enough for me now. Whether you like it or not… Bayangan diri gue di depan cermin yang terlihat cantik dan bahagia dengan memakai gaun ini, makes me feel better, oke… I feel satisfy enough. Untuk hal-hal yang lainnya, hhh… not now please…”
Arum akhirnya menarik ujung bibirnya dan menyunggingkan segaris tipis senyum “lempeng”nya, menandakan bahwa ia mengerti maksudku. Lalu, ia beranjak dari kursinya dan memelukku.