Semua itu semakin membuat gemas Arum. Si ceplas-ceplos itu sampai kehabisan kata-kata dalam menghadapi kelakuan ajaibku itu. Apalagi saat ini ia sudah menikah dan mempunyai satu orang anak perempuan yang sedang lucu-lucunya.
”Gimana Rania, Rum? Masih sering nangis kalau tengah malam?” tanyaku satu kali.
Ternyata, Arum menjawab pertanyaanku dengan sangat menyebalkan, ”Nggak, sekarang dia udah pinter. Nah, lo sendiri gimana, masih suka nangis kalau tengah malam? Katanya udah move on dari Michael, ya buka mata dong... Di majalah tempat kerja lo bukannya banyak brondong potensial?”
”Adoh, nggak usah ngomong gitu deh... Gue lebih kepengen bikin buku dan punya mobil Jaguar daripada punya cowok sekarang ini,” jawabku ogah-ogahan.
”Heh Den, inget lo, umur udah di atas 25. Bentar lagi 30 tauk!” sambung Arum lagi.
”Halah, masih juga 26... Santai Rum...,” jawaku sambil pura-pura menguap tanda bosan.
”Iya, 26 kan 4 bulan lagi, setelah itu lo 27...,” katanya ketus.
”Berisik lo!” jawabku dengan kesal.
Percakapan itu berlangsung sebulan lalu, sekarang tentu jawabanku sudah berbeda. Aku sudah menemukan tambatan hati yang baru. Sosok nyaris sempurna yang layak menerima pengorbanan kerasku. Demi dia, aku rela bersakit-sakit sit-up dan menahan nafsu makan yang biasanya buas.
Target waktu sebulan akan berakhir minggu depan. Setelah itu, aku berniat mendapatkannya. Karena telah terlanjur berjanji kepada Arum, aku pun berencana mengajaknya untuk menemui tambatan hatiku di hari bersejarah itu.
”Rum, kira-kira... Rania bisa dititipin ke nyokap lo nggak hari Sabtu depan?” kataku di awal pembicaraan.
”He? Ada apa memangnya?” tanya Arum dengan penasaran.