Melihatnya berlari-lari memantulkan bola karet, rambutnya yang diikat bergerak mengikuti gerakan tubuhnya. Â Dahinya bercucuran keringat, ingin rasanya Rosalin menjadi kekasihnya, mengelap dahi dan tangannya yang basah oleh keringat. Rosalin mulai mengkhayalkan memiliki cowok paling keren di sekolahnya.
Hampir setahun Rosalin melakukan hal yang konyol. Mencuri pandang kepada orang yang tidak pernah menyadarinya. Hingga Rosalin meyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi Rosalin tidak pernah menyesal, baginya mencintai seseorang dengan diam cukup membuatnya bahagia. Rosalin menganggap bahwa ini adalah pengalamannya sebagai cinta pertama.
*
Ujian sekolah sudah berlalu, semua sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri untuk mendaftarkan diri ke Universtas yang dicita-citakannya. Perpisahan sekolah pun tiba, semua anak kelas dua belas dikumpulkan di aula. Duduk rapi sesuai dengan nomor kursinya masing-masing. Rosalin duduk terdiam diantara riuh teman-temannya yang berbahagia karena kelulusannya. Pandangan matanya kuyu, menyapu keseluruh ruang aula yang luas. Berharap menemukan Daniel dan mengungkapkan perasaannya, ya, meskipun dia tahu cintanya akan tetap berteepuk sebelah tangan.
Acara perpisahan telah selesai, Rosalin tidak menemukan Daniel di Aula maupun di sekolahnya. Rosalin berjalan gontai menuju taman belakang sekolah. Satu persatu air mata jatuh di pipinya, dadanya terasa sesak. Cinta tidak hanya butuh pengorbanan, tapi juga membutuhkan air mata, suaranya tercekik dalam hatinya yang pilu.
Pohon Akasia, Trembesi dan Mahoni seolah membisu, angin yang biasanya berderai lembut bermain bersama bunga-bunga sengaja ikut diam. Tangisnya tertahan dalam isak, tanpa suara. Rosalin mendekap kedua lututnya di atas kursi besi berbentuk bunga matahari.
"Tidak baik menangis sendirian tempat sepi seperti ini." Suara Cowok mengejutkannya. Rosalin mengangkat kepalanya dengan enggan, air matanya berucucuran. Daniel berdiri di depannya, kemeja putih polos dengan dasi warna hitam membuatnya terlihat semakin tampan. Sebuah jas hitam tergantung di punggung kirinya,tangan kanannya masuk ke dalam kantong celana. Rosalin gemetar menyadari Daniel telah berdiri tepat di hadapannya, wajahnya iba, namun Rosalin hanya bisa menangis.
Daniel duduk di kursi samping Rosalin, memandang ke arah lapangan basket. Kepalanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Rosalin salah tingkah, memperbaiki posisi duduknya. Â Daniel bangkit dari duduk, berjalan memutari taman belakang sekolah. Tersenyum manis kepada Rosalin, senyum untuk terakhir kalinya. Mungkin.
Malam pun tiba, Â Rosalin membuka surat yang ditinggalkan Daniel di pangkuannya siang tadi.
Dear Oca,
Hai kamu yang diam-diam memperhatikanku setiap Rabu dan Sabtu. Kamu pikir aku tidak tahu? Aku sering mendapatimu menulis di taman belakang sekolah. Persembunyian yang bagus, Ca, sama bagusnya seperti kamu menyembunyikan perasaanmu.