Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan sumber daya pesisir dan laut yang melimpah. Dengan garis pantai mencapai 99.000 km dan wilayah perairan yang mendominasi hampir dua pertiga wilayah teritorial, Indonesia memegang peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir di tingkat regional dan global. Sumber daya pesisir memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama melalui sektor perikanan, pariwisata, transportasi laut, dan energi terbarukan. Namun, wilayah pesisir Indonesia juga menghadapi tekanan besar akibat eksploitasi berlebihan, urbanisasi pesisir, polusi, abrasi, dan dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut.
Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia telah menerapkan konsep Integrated Coastal Zone Management (ICZM), atau pengelolaan wilayah pesisir terpadu, sebagai pendekatan strategis untuk menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian wilayah pesisir. Artikel ini membahas kerangka kebijakan ICZM di Indonesia, peluang implementasinya, serta tantangan dan rekomendasi strategis untuk pengelolaan yang lebih baik.
Integrated Coastal Zone Management (ICZM) adalah pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsep ini berfokus pada kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah dengan tujuan:
- Melindungi ekosistem pesisir yang rentan dari kerusakan.
- Mengoptimalkan manfaat ekonomi dari sumber daya pesisir secara berkelanjutan.
- Melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan.
Prinsip utama ICZM mencakup:
- Sustainability: Menjamin keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
- Integration: Menghubungkan kebijakan sektoral dan spasial.
- Participatory: Melibatkan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
- Adaptive Management: Fleksibilitas dalam menghadapi dinamika ekologi dan sosial-ekonomi.
Indonesia telah mengembangkan berbagai kebijakan untuk mendukung implementasi ICZM, baik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa instrumen kebijakan yang relevan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (jo. UU No. 1 Tahun 2014)
UU ini merupakan payung hukum utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beberapa poin penting dari UU ini:
- Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K): Setiap provinsi wajib menyusun rencana zonasi yang mengatur alokasi ruang untuk berbagai kegiatan di wilayah pesisir.
- Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3): Mengatur hak pemanfaatan ruang pesisir oleh pihak tertentu dengan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem.
- Konservasi Wilayah Pesisir: UU ini mendorong pembentukan kawasan konservasi laut untuk melindungi ekosistem kritis seperti mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU ini menjadi dasar untuk pengendalian dampak lingkungan akibat pembangunan di wilayah pesisir. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi salah satu alat penting untuk memastikan pembangunan tidak merusak ekosistem pesisir.
3. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (SNPWP-PPK)
Strategi ini bertujuan mengintegrasikan kebijakan antar sektor dalam pengelolaan wilayah pesisir, termasuk koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.