Kejahatan bisa terjadi di mana saja, tanpa mengenal waktu dan tempat serta dapat dilakukan oleh siapa saja dengan latar belakang status sosial apapun. Pada dewasa ini, sedang ramai diperbincangkan isu mengenai pelecehan seksual yang menimpa seorang buruh perempuan di tempat kerja. Karyawati di Cikarang, Jawa Barat berinisial AD (24) buka suara terkait isu adanya ajakan tidur di hotel yang dilakukan atasannya. Ia mengaku menjadi korban pelecehan seksual karena beberapa kali diajak jalan berdua oleh atasannya. Bahkan, korban sempat diajak tidur di hotel dan diancam tidak akan mendapat perpanjangan kontrak kerja jika menolak.[1]
Â
Pengertian pelecehan seksual seperti yang pernah di ungkapkan oleh Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di mana atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek legalitas (dalam keadaan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal). Berbeda dengan Meyer dkk, Farley (1978) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.[2]
Â
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik (Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992), di mana pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.[3]
Â
Jika dikaitkan dengan isu pelecehan seksual yang dialami oleh buruh perempuan berinisial AD (24), maka ini merupakan pelecehan seksual yang dipandang dari aspek situasional, dimana pelecehan seksual dapat dilakukan di mana saja dan dengan kondisi tertentu. Perempuan sebagai korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, Pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan.[4]
Â
Untuk saat ini, belum ada peraturan yang secara implisit mengatur mengenai kejahatan pelecehan seksual, namun apabila terdapat kasus pelecehan seksual dapat merujuk pada Pasal 281 KUHP yang menyebutkan mengenai kejahatan asusila yang berbunyi "diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.000,00:[5]
Â
- barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
- barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaah."
Â
Selain itu, terdapat pula rujukan atas dasar hukum pelecehan seksual di Pasal 289 yang menyebutkan mengenai perbuatan cabul, Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut "barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun".
Â
Melihat dari Pasal 281 dan Pasal 289 KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diduga pelecehan seksual, harus dapat memenuhi unsur kesengajaan, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan dan ancaman, serta paksaan terhadap seseorang untuk berbuat cabul atau perbuatannya menyerang kehormatan kesusilaan terhadap orang lain.
Â
Jika dikaitkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja, maka dapat merujuk pada Pasal 294 ayat (2) angka 1 yang menyebutkan "diancam dengan pidana yang sama (Pasal 294 ayat (1) pidana penjara paling lama 7 tahun): pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya kepadanya".
Â
Artinya terdapat unsur tambahan dari yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu adanya kewenangan atau kekuasaan atas jabatannya, sehingga mendorong dirinya melakukan perbuatan kesusilaan atau cabul terhadap orang lain atau bawahannya.
Â
Kejahatan bagaimanapun bentuknya harus dapat dicegah dengan berbagai cara, karena kejahatan merupakan faktor timbulnya ketidaktertiban dalam kehidupan masyarakat. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.[6] Berdasarkan dari definisi tersebut, sudah selayaknya tempat bekerja harus tercipta ruang aman bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya, artinya pihak perusahaan sepantasnya wajib memeberikan rasa aman kepada setiap karyawannya (khususnya perempuan) agar tercipta ketentraman dan ketertiban di lingkungan pekerjaan. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:[7]
Â
- keselamatan dan Kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan; dan
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama".
Â
Dari penjelasan Pasal tersebut, pihak pengusaha memiliki kewajiban terhadap setiap pekerja/buruh agar terjamin keselamatannya, serta keamanan setiap pekerja/buruh dari perbuatan menyimpang (kesusilaan) di lingkungan kerja tersebut.
Â
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja, yang bertujuan untuk memberikan acuan dalam upaya pencegahan, penanganan, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual di tempat kerja serta mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif, harmonis, aman, nyaman dan bebas dari tindakan kekerasan seksual di tempat kerja. Di dalam keputusan menteri ketenagakerjaan tersebut menyebutkan bahwa terdapat beberapa peran para pihak dalam pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, yaitu:[8]
Â
- pengusaha, menyusun dan menginformasikan kebijakan serta memastikan tidak terjadi tindak kekerasan seksual.
- pekerja/buruh, berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja.
- serikat pekerja/serikat buruh, membantu perusahaan dalam penyebarluasan informasi kebijakan dan turut dalam upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja kepada anggotanya.
- pihak terkait lainnya yang sedang berada di tempat kerja, mematuhi aturan kebijakan pencegahan kekerasan seksual yang berlaku di tempat kerja.
- satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja (satuan tugas) yang dibentuk di perusahaan, menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan mengacu pada kebijakan perusahaan terkait upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja.
- Kementerian dan Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota/provinsi, melakukan pembinaan dan pemantauan pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja.
Â
Kekerasan seksual merupakan bentuk dari kejahatan, yang dapat menimbulkan kerugian serta situasi ketidaknyamanan bagi seseorang yang menjadi korban suatu tindak kejahatan. Maka dari itu sudah sepantasnya para pihak yang memiliki kewenangan untuk dapat melindungi setiap orang yang rentan menjadi korban tindak kejahatan untuk merasa aman, dalam hal ini khusus pada lingkup di tempat kerja karena ini merupakan hak para pekerja yang sudah terjamin menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bagi pihak pengusaha untuk dapat melindungi setiap pekerja (khususnya perempuan). Upaya yang dilakukan mulai dari pembentukan kontrak kerja yang mencantumkan perbuatan kekerasan seksual yang dapat diberi sanksi lebih tegas, serta memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual kepada seluruh pekerja. Selain itu, pihak pemerintah seharusnya dapat mempercepat implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Â
Â
Daftar Pustaka
Â
Buku
Â
Syahruddin, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003.
Â
Undang-Undang
Â
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Â
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Â
Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja.
Â
Jurnal
Â
Sri Kurnianingsih, "Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja", Buletin Psikologi, Vol.11, No. 2, 2003, Yogyakarta.
Â
Internet
Â
https://jabar.tribunnews.com/2023/05/07/viral-kasus-buruh-perempuan-di-karawang-diperpanjang-kontrak-dengan-syarat-berhubungan-intim diakes pada tanggal 27 Juni 2023 pada pukul 13.27 WIB.
-----
Best Regards,
Danur Ikhwantoro, S.H,
Legal Researcher Associate.
RJT LAW FIRM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H