Â
Selain itu, terdapat pula rujukan atas dasar hukum pelecehan seksual di Pasal 289 yang menyebutkan mengenai perbuatan cabul, Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut "barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun".
Â
Melihat dari Pasal 281 dan Pasal 289 KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diduga pelecehan seksual, harus dapat memenuhi unsur kesengajaan, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara kekerasan dan ancaman, serta paksaan terhadap seseorang untuk berbuat cabul atau perbuatannya menyerang kehormatan kesusilaan terhadap orang lain.
Â
Jika dikaitkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja, maka dapat merujuk pada Pasal 294 ayat (2) angka 1 yang menyebutkan "diancam dengan pidana yang sama (Pasal 294 ayat (1) pidana penjara paling lama 7 tahun): pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya kepadanya".
Â
Artinya terdapat unsur tambahan dari yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu adanya kewenangan atau kekuasaan atas jabatannya, sehingga mendorong dirinya melakukan perbuatan kesusilaan atau cabul terhadap orang lain atau bawahannya.
Â
Kejahatan bagaimanapun bentuknya harus dapat dicegah dengan berbagai cara, karena kejahatan merupakan faktor timbulnya ketidaktertiban dalam kehidupan masyarakat. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.[6] Berdasarkan dari definisi tersebut, sudah selayaknya tempat bekerja harus tercipta ruang aman bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya, artinya pihak perusahaan sepantasnya wajib memeberikan rasa aman kepada setiap karyawannya (khususnya perempuan) agar tercipta ketentraman dan ketertiban di lingkungan pekerjaan. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi "Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:[7]
Â
- keselamatan dan Kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan; dan
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama".