Mohon tunggu...
Rachmat Fazhry
Rachmat Fazhry Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Prinsip hidup Saya : Hidup Sehat, Pintar, Bijaksana Kunjungi blog saya https://jurnalfaz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melarikan Diri Bukan Pilihan Bijak

23 Februari 2018   20:44 Diperbarui: 23 Februari 2018   20:45 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hatiku lega saat tiba di pintu belakang rumah tetangga. Aku hanya perlu melewati celah yang lebar dari pintu itu. Dan akhirnya aku benar-benar keluar dari rumah.

Hatiku tak berdebar kencang seperti sebelumnya. Namun instingku tetap waspada memperhatikan dia. Sesekali aku menengok. Namun dia acuh. Semakin aku menjauh, getaran jantungku semakin normal.

Aku berjalan mengikuti langkah dan hati. Perjalanan ini seperti perjalanan spiritual. Perjalanan mencari arti hidup. Dan aku baru akan memulainya.

Setiap aku melangkah, pikiranku juga bergerak cepat. Menganalisa setiap hal yang baru aku temui. Kadang, bila kurasa itu bahaya, aku akan segera menghindar atau berlari cepat. Aku akan berlari dari mereka yang lebih besar dariku. Apalagi kalau instingku bicara ada bahaya, aku akan kabur seperti kilat.

Tapi, aku menikmati perjalanan ini. Masa lalu yang indah bersama keluargaku juga sudah menepi. Aku punya hidup baru.

Aku tidak tahu sudah berapa lama meninggalkan rumah. Namun gelap masih bersamaku. Dan suasana semakin lama semakin sunyi. Kadang aku mendegar suara dari dalam diriku. Suara yang keluar dari perutku.

Aku lapar. Sudah seharian aku tidak makan, hanya sarapan. Waktu makan siang, aku terlena dengan pikiran hingga lupa makan. Padahal makananku selalu disediakan.

Langkah kakiku sedikit melambat karena lapar. Kepalaku agak menunduk. Dan perutku semakin rutin mengeluarkan suara. Di mana aku harus cari makan?

Ahh... beruntugnya aku. Para pemuda itu sepertinya tertarik kepadaku. Tapi, aku harus tetap waspada. Salah satu dari pemuda itu mendekatiku. Ia sepertinya membawa makanan, mungkin sosis atau ham. Aku bisa menciumnya. Aku memang jago soal indra penciuman. Itu kelebihan yang diberikan Penciptaku.

Tangan pemuda itu memanjang. Aku pun mundur sedikit. Tapi tangan lelaki itu tetap mendekat. Wangi makanan yang dipegangnya semakin menusuk. Aku tidak tahan. Pemuda itu melempar sesuatu.

Hap... sungguh enak sekali sosis dari pemuda itu. Kulit luarnya. Dagingnya yang berwarna merah kemudaan. Ini mungkin makanan terlezat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun