Mohon tunggu...
Rachmat Djarot
Rachmat Djarot Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Gaya Bank: Indoktrinatif dan Menindas dalam Pendidikan Seni

18 April 2016   06:11 Diperbarui: 18 April 2016   07:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan tidak lain adalah hidup itu sendiri, dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas menyangkut kehidupan masyarakat itu juga. karena itu pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan berlangsung secara alami, berfungsi sosial dan lantaran berlangsung dalam masyarakat itu sendiri, memilih nilai dan makna membimbing kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan generasi baru serta menjadi tanda perkembangan peradaban suatu masyarakat (John dewey, 1916). 

Pada sisi inilah pendidikan, guna meningkatkan kesadaran kesadaran hidup , menjadi hal yang dipandang penting oleh sejarah. Meski sejauh upaya peningkatan dan pelestarian gagasan-gagasan nilai dan hidup yang baik dilakukan, pendidikan kemudian lebih banyak terlihat menjadi problem kemanusiaan ketimbang menjadi solusi bagi kemanusiaan. 

Dalam kehidupan senyatanya kehadiran seni itu untuk apa. Jawaban yang di berikan masyarakat, pertama-tama tentunya seni dipandang sebagai obyek untuk diamati dan dirasakan. Lewat proses rasa dapat menimbulkan rasa senang, puas dan berujung ke nikmat. Kedua, seni dipandang dari sisi manfaat praktisnya (A.J. Soehardjo, 2012). Seni dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kegunaan sesuatu artinya sesuatu itu menjadi lebih menarik setelah dipadukan dengan seni. 

Sampai saat ini penggunaaan istilah pendidikan seni sebagai sebutan mata pelajaran dan sekaligus sebagai konsep di sekolah sekolah umum di Indonesia yang secara formal hampir 30 tahun tetapi seiring dengan perjalanan waktu serta adanya berbagai perubahan, makna istilah pendidikan seni telah mengalami perubahan. Sehingga kemunculannya dalam kurikulum tidak lagi nampak, karena pendidikan seni sebagai sebutan mata pelajaran telah mengalami perubahan. Diganti dengan nama yang bersesuaian dengan visi pendidikan dengan landasan konsep yang tidak jelas , antara penularan seni dan pemfungsian seni. Tetapi disertai dengan pernyataan-pernyataan edukatif, atau jargon jargon secara teoritis berkonsep pemfungsian seni. 

Kemunculannya dalam paparan teori landasan kurikulum berupa rumusan konsep yang mengarah ke pemfungsian, tetapi dalam paparan program pembelajarannya mengarah ke penularan. Dalam konsep gaya bank dimana program pembelajarannya hanya memberikan ruang gerak kepada peserta didik terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Namun pada akhirnya peserta didik sendirilah yang miskin daya cipta, daya ubah dan pengetahuan, dalam sistem pendidikan yang dalam keadaan terbaik pun masih salah arah ini. Padahal tanpa usaha mencari, tanpa praksis, peserta didik tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. 

Pengetahuannya hanya lahir melalui usaha usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia, dengan dunia dan bersama orang lain. Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang  peserta didik sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur, hal ini akan kontradiktif dengan peserta didik dalam pendidikan seni karena peserta didik dalam pendidikan seni adalah penguasa bagi dirinya, bebas dalam hal berkreatifitas. Itulah sebabnya pendidikan gaya bank bersifat indoktrinatif dan menindas.

Konsep Pendidikan Gaya Bank Terhadap Peserta Didik

Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat subyektif dan objektif, tapi harus kedua-duanya. Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. 

Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus yaitu pendidik, peserta didik, dan realitas dunia. Pendidik dan peserta didik adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia adalah obyek yang disadari atau tersadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini (Rahardjo,2000).

Peserta didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para pendidik yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada peserta didik. Peserta didik lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan di isi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.

 Jadi pendidik adalah subyek aktif, sedang peserta didik adalah obyek yang pasif dan penurut, pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana pendidik memberi informasi yang harus ditelan oleh peserta didik. Dimana akan berakibat kepada kesadaran kritis peserta didik berkurang, karena pendidik dalm konsep pendidikan gaya bank ini layaknya menjadikan pendidik sebagai acuan dan tiruan yang harus di ikuti oleh peserta didiknya, hal ini merupakan hal yang menindas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun