Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perkembangan Hukum Acara Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi

18 April 2023   19:26 Diperbarui: 18 April 2023   20:12 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah tampak MK menghindari penyebutan Termohon untuk dilekatkan pada Presiden, DPR,DPD dan MPR namun MK justru lebih nyaman penyebutan pihak Termohon tersebut diganti dengan konsep “Pihak Pemberi Keterangan”.  Memang persoalan penyelesaian perkara di MK pada dasarnya tidak begitu jelas apakah ada nilai persengketaan antara para pihak ataupun tidak.

Dalam peradilan umum yang lazim dalam lingkup perdata bahwa pengajuan perkara secara substansial yang tidak mengandung nilai persengketaan disebut dengan pengajuan perkara Voluntair (permohonan) namun sebaliknya perkara yang diajukan untuk menuntut hak akibat adanya suatu persengketaan maka pengajuan perkara  disebut dengan Contentiosa (gugatan).

Dalam lingkup hukum acara di MK sebenarnya tidak begitu jelas apakah ada bentuk persengketaan antara Pemohon penguji Undang-Undang dengan Pembentuk Undang-Undang (DPR/Presiden) sehingga acap kali pembentuk undang-undang diposisikan sebagai pihak Termohon yang nantinya akan membantah dalil-dalil Pemohon penguji undang-undang.

Pada aspek lainnya tidak bisa pula disebut adanya sebuah persengketaan antara Pemohon penguji undang-undang dengan Pembentuk undang-undang, karena pada dasarnya yang menjadi objek pengujian dihadapan MK adalah undang-undang yang berdampak ke publik dan bukanlah kepentingan perorangan pemohon. Itu sebabnya juga dalam pengujian undang-undang tidak dikenal adanya penyebutan para pihak antara penggugat dan tergugat.

Ruang lingkup pengujian undang-undang di MK tampaknya semakin dipertegas bahwa tidak ada persengketaan dalam beberapa pihak, karena  permohonan pemohon ke MK pada dasarnya atas kepentingan perorangan yang berdampak luas ke publik, itu sebabnya Pemohon penguji undang-undang tidak memiliki pihak lawan ketika berpekara di MK. Kedudukan DPR, DPD, Presiden dan MPR justru hanya diposisikan pada pihak yang dimintai keterangan (pihak pemberi keterangan) dan bukanlah sebagai pihak termohon.

Dalam praktik, kebutuhan atas hadirnya pihak pemberi  keterangan dalam pengujian undang-undang bukanlah diperhadapkan dengan pihak Pemohon namun lebih tepatnya adanya kebutuhan hakim MK atas informasi yang dibutuhkan atas sejarah pembentukan sebuah undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau dengan kata lain hakim MK memiliki keterbatasan pengetahuan atas sejarah dan proses terbentuknya sebuah undang-undang yang diuji sehingga dengan hadirnya pembentuk undang-undang (DPR/Presiden).

Diharapkan  memberikan pengetahuan hakim apakah undang-undang yang diuji dapat disimpulkan bertentangan atau tidak terhdapap UUD 1945.

Dalam pengujian undang-undang juga menghadirkan MPR sebagai pihak yang dapat dihadirkan sebagai pemberi keterangan, mengapa dapat demikian? terlebih lagi MPR bukanlah sebagai pembentuk undang-undang selayaknya Presiden dan DPR, mengingat kewenangan MK yang tidak hanya memperhatikan isi dari pasal sebuah undang-undang namun MK juga berkewajiban menggali informasi apa yang terkandung didalam batang tubuh UUD 1945 oleh sebab itulah perlu kiranya menghadirkan MPR sebagai pemberi informasi yang berkaitan dengan isi dari batang tubuh UUD 1945.

Jika memang tidak ada pihak yang bersengeta dalam pengujian undang-undang maka Hakim MK sangat mungkin dapat memutuskan permohonan pemohoan pengujian undang-undang tanpa dihadiri oleh pihak pemberi keterangan. Misalnya Hakim MK telah yakin dengan pengetahuan yang cukup ada norma undag-undang yang benar-benar menyimpangi pasal-pasal yang ada didalam UUD 1945. Maka cukup alasan bagi Hakim MK tidak perlu menghadirkan pihak pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang.

Dengan demikian, MK pada dasarnya lembaga peradilan yang akan selalu melakukan perubahan dan perkembangan sejalan dengan berjalannya perkara-perkara yang akan diputus oleh MK itu sendiri. MK tidak bisa menghindari perkembangan-perkembangan perkara yang menuntut agar terjaminnya keterbukaan atas akses keadilan yang bersumber dari konstitusi.

Meminjam ungkapan Kalsen bahwa “keadilan konstitusional hanya dapat dicapai jika produk hukum selaras dan seirama dengan kaidah-kaidah fundamental konstitusi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun