Penulis : Rachmad Oky S.SH.,MH (Dosen HTN FH UNILAK)
Sejatinya Mahkamah Konstitusi (MK) telah diakui sebagai lembaga peradilan tata nagara yang diakomodir oleh setiap negara hukum modern, peran MK sebagai panjaga marwah konstitusi telah dipandang ampuh untuk penyelesaian perkara-perkara yang mengangkat daulat rakyat dihadapan kekuasaan negara.
Terkadang penyelenggaraan kekuasaan lebih mendominasi dari pada kehendak rakyat dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis bahkan daulat kuasa negara terkadang mengekangi hak-hak asasi manusia yang diformulasikan didalam produk Undang-Undang, maka dari itulah dibutuhkan jalur Judicial untuk mengimbangi antara daulat kekuasaan dan daulat rakyat.
MK telah disajikan sebagai lembaga negara yang berwenang untuk menguji apakah suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), kewenangan yang dimiliki MK Â itu adalah bentuk fasilitas yang diberikan untuk rakyat agar dapat mengimbangi hegemoni pembentuk Undang-Undang.
Agar Pengujian Undang-undang  berjalan dengan tahapan yang tertib maka berlakulah hukum acara yang diterapkan oleh MK sebagai prosedur yang wajib dilalui bagi para pihak yang berkepentingan dalam proses pengujian Undang-Undang.
Meskipun hukum acara pengujian undang-undang telah diatur didalam UU No.23/2004 tentang MK dan beberapa perubahan UU tersebut namun belum cukup menjangkau hal-hal yang sifatnya aktual untuk kepentingan para pihak, maka untuk menutupi kekurangan hukum acara tersebut dibenarkan pula  diatur berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
Saat ini MK memiliki PMK No. 2 Tahun 2021  tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang mencabut  PMK No.9 Tahun 2020, hal yang manarik untuk diperhatikan adalah skema para pihak dalam perkara pengujian undang-undang yang mana para pihak itu terdiri dari Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait.
Jika melihat lebih rinci, kategori dari Pemohon itu sendiri antara lain Perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau badan hukum privat hingga lembaga negara. Sedangkan kategori Pemberi Keterangan adalah Presiden, DPR, DPD hingga MPR.
Dalam perkembangannya, para pihak yang dikategorikan sebagai Pemohon sejatinya berhadapan langsung dengan Presiden dan DPR sebagai pihak Termohon namun dalam hukum acara MK tidak lagi mengenal istilah Termohon  yang dilekatkan pada Presiden dan DPR namun saat ini dikenal sebagai Pihak Pemberi Keterangan.
Berdasarkan Pasal 3 PMK No.2 Tahun 2021 telah meletakkan para pihak antara Pemohon dan Pemberi Keterangan (Presiden, DPR, DPD, MPR), yang menjadi soal mengapa MK tidak meletakkan penyebutan para pihak antara Pemohon dan Termohon? Sangat logis kalau kita analogikan dalam perkara perdata terdapat konsep para pihak antara Penggugat dan Tergugat. Maka wajar saja juga terdapat istilah Pemohon dan Termohon.