Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perkembangan Hukum Acara Pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi

18 April 2023   19:26 Diperbarui: 18 April 2023   20:12 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Rachmad Oky S.SH.,MH (Dosen HTN FH UNILAK)

Sejatinya Mahkamah Konstitusi (MK) telah diakui sebagai lembaga peradilan tata nagara yang diakomodir oleh setiap negara hukum modern, peran MK sebagai panjaga marwah konstitusi telah dipandang ampuh untuk penyelesaian perkara-perkara yang mengangkat daulat rakyat dihadapan kekuasaan negara.

Terkadang penyelenggaraan kekuasaan lebih mendominasi dari pada kehendak rakyat dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis bahkan daulat kuasa negara terkadang mengekangi hak-hak asasi manusia yang diformulasikan didalam produk Undang-Undang, maka dari itulah dibutuhkan jalur Judicial untuk mengimbangi antara daulat kekuasaan dan daulat rakyat.

MK telah disajikan sebagai lembaga negara yang berwenang untuk menguji apakah suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), kewenangan yang dimiliki MK  itu adalah bentuk fasilitas yang diberikan untuk rakyat agar dapat mengimbangi hegemoni pembentuk Undang-Undang.

Agar Pengujian Undang-undang  berjalan dengan tahapan yang tertib maka berlakulah hukum acara yang diterapkan oleh MK sebagai prosedur yang wajib dilalui bagi para pihak yang berkepentingan dalam proses pengujian Undang-Undang.

Meskipun hukum acara pengujian undang-undang telah diatur didalam UU No.23/2004 tentang MK dan beberapa perubahan UU tersebut namun belum cukup menjangkau hal-hal yang sifatnya aktual untuk kepentingan para pihak, maka untuk menutupi kekurangan hukum acara tersebut dibenarkan pula  diatur berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).

Saat ini MK memiliki PMK No. 2 Tahun 2021  tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang mencabut  PMK No.9 Tahun 2020, hal yang manarik untuk diperhatikan adalah skema para pihak dalam perkara pengujian undang-undang yang mana para pihak itu terdiri dari Pemohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait.

Jika melihat lebih rinci, kategori dari Pemohon itu sendiri antara lain Perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau badan hukum privat hingga lembaga negara. Sedangkan kategori Pemberi Keterangan adalah Presiden, DPR, DPD hingga MPR.

Dalam perkembangannya, para pihak yang dikategorikan sebagai Pemohon sejatinya berhadapan langsung dengan Presiden dan DPR sebagai pihak Termohon namun dalam hukum acara MK tidak lagi mengenal istilah Termohon  yang dilekatkan pada Presiden dan DPR namun saat ini dikenal sebagai Pihak Pemberi Keterangan.

Berdasarkan Pasal 3 PMK No.2 Tahun 2021 telah meletakkan para pihak antara Pemohon dan Pemberi Keterangan (Presiden, DPR, DPD, MPR), yang menjadi soal mengapa MK tidak meletakkan penyebutan para pihak antara Pemohon dan Termohon? Sangat logis kalau kita analogikan dalam perkara perdata terdapat konsep para pihak antara Penggugat dan Tergugat. Maka wajar saja juga terdapat istilah Pemohon dan Termohon.

Telah tampak MK menghindari penyebutan Termohon untuk dilekatkan pada Presiden, DPR,DPD dan MPR namun MK justru lebih nyaman penyebutan pihak Termohon tersebut diganti dengan konsep “Pihak Pemberi Keterangan”.  Memang persoalan penyelesaian perkara di MK pada dasarnya tidak begitu jelas apakah ada nilai persengketaan antara para pihak ataupun tidak.

Dalam peradilan umum yang lazim dalam lingkup perdata bahwa pengajuan perkara secara substansial yang tidak mengandung nilai persengketaan disebut dengan pengajuan perkara Voluntair (permohonan) namun sebaliknya perkara yang diajukan untuk menuntut hak akibat adanya suatu persengketaan maka pengajuan perkara  disebut dengan Contentiosa (gugatan).

Dalam lingkup hukum acara di MK sebenarnya tidak begitu jelas apakah ada bentuk persengketaan antara Pemohon penguji Undang-Undang dengan Pembentuk Undang-Undang (DPR/Presiden) sehingga acap kali pembentuk undang-undang diposisikan sebagai pihak Termohon yang nantinya akan membantah dalil-dalil Pemohon penguji undang-undang.

Pada aspek lainnya tidak bisa pula disebut adanya sebuah persengketaan antara Pemohon penguji undang-undang dengan Pembentuk undang-undang, karena pada dasarnya yang menjadi objek pengujian dihadapan MK adalah undang-undang yang berdampak ke publik dan bukanlah kepentingan perorangan pemohon. Itu sebabnya juga dalam pengujian undang-undang tidak dikenal adanya penyebutan para pihak antara penggugat dan tergugat.

Ruang lingkup pengujian undang-undang di MK tampaknya semakin dipertegas bahwa tidak ada persengketaan dalam beberapa pihak, karena  permohonan pemohon ke MK pada dasarnya atas kepentingan perorangan yang berdampak luas ke publik, itu sebabnya Pemohon penguji undang-undang tidak memiliki pihak lawan ketika berpekara di MK. Kedudukan DPR, DPD, Presiden dan MPR justru hanya diposisikan pada pihak yang dimintai keterangan (pihak pemberi keterangan) dan bukanlah sebagai pihak termohon.

Dalam praktik, kebutuhan atas hadirnya pihak pemberi  keterangan dalam pengujian undang-undang bukanlah diperhadapkan dengan pihak Pemohon namun lebih tepatnya adanya kebutuhan hakim MK atas informasi yang dibutuhkan atas sejarah pembentukan sebuah undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau dengan kata lain hakim MK memiliki keterbatasan pengetahuan atas sejarah dan proses terbentuknya sebuah undang-undang yang diuji sehingga dengan hadirnya pembentuk undang-undang (DPR/Presiden).

Diharapkan  memberikan pengetahuan hakim apakah undang-undang yang diuji dapat disimpulkan bertentangan atau tidak terhdapap UUD 1945.

Dalam pengujian undang-undang juga menghadirkan MPR sebagai pihak yang dapat dihadirkan sebagai pemberi keterangan, mengapa dapat demikian? terlebih lagi MPR bukanlah sebagai pembentuk undang-undang selayaknya Presiden dan DPR, mengingat kewenangan MK yang tidak hanya memperhatikan isi dari pasal sebuah undang-undang namun MK juga berkewajiban menggali informasi apa yang terkandung didalam batang tubuh UUD 1945 oleh sebab itulah perlu kiranya menghadirkan MPR sebagai pemberi informasi yang berkaitan dengan isi dari batang tubuh UUD 1945.

Jika memang tidak ada pihak yang bersengeta dalam pengujian undang-undang maka Hakim MK sangat mungkin dapat memutuskan permohonan pemohoan pengujian undang-undang tanpa dihadiri oleh pihak pemberi keterangan. Misalnya Hakim MK telah yakin dengan pengetahuan yang cukup ada norma undag-undang yang benar-benar menyimpangi pasal-pasal yang ada didalam UUD 1945. Maka cukup alasan bagi Hakim MK tidak perlu menghadirkan pihak pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang.

Dengan demikian, MK pada dasarnya lembaga peradilan yang akan selalu melakukan perubahan dan perkembangan sejalan dengan berjalannya perkara-perkara yang akan diputus oleh MK itu sendiri. MK tidak bisa menghindari perkembangan-perkembangan perkara yang menuntut agar terjaminnya keterbukaan atas akses keadilan yang bersumber dari konstitusi.

Meminjam ungkapan Kalsen bahwa “keadilan konstitusional hanya dapat dicapai jika produk hukum selaras dan seirama dengan kaidah-kaidah fundamental konstitusi”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun