Mohon tunggu...
Seorang Ibu
Seorang Ibu Mohon Tunggu... Buruh - Not Bad

Hanya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kenapa Harus Ada Ayah?

22 Juni 2020   07:19 Diperbarui: 22 Juni 2020   07:35 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandangnya penuh takjub. DIa selalu bahagia. Sangat jarang menanyakan sosok ayahnya. Menangis ya jika dia bertengkar dengan kakak atau adiknya. Aku heran dan sangat heran. Apakah taka da yang dia ingat tentang ayahnya? Apakah tak begitu melekat sosok ayahnya di hati dan pikirannya?

Jika saja ayahnya lihat, almarhum pasti bangga melihat dia tumbuh sehat dan bahagia. Memang tidak berprestasi tapi dia tak pernah mengeluh. Dia selalu mengerti aku. Dikala keuangan sedang tak bergairah, dia mengerti bahkan seringkali mengingatkan kakaknya. Namun, entah mengapa kalimat yang sering dia ucapkan adalah "gak tahu"

Apakah sebegitunya hingga dia sulit menjawab. Dia sulit untuk mengambil keputusan. Kali ini aku khawatir padanya. Dia sunggguh pemalu. Dia tidak pernah nyaman dengan orang baru. Dia tidak nyaman dengan keramaian. Ada apa dengannya?

Siang itu, dia menempelkan wajahnya di sebuah kaca jendela. Katanya sih dia sedang menunggu tukang tahu bulat. Tapi kenapa wajahnya begitu sedih dan terlihat hampa.

"Kamu kenapa kaka? Kangen ayah ya?"

"Iya bu. Tapi aku lupa ayah itu seperti apa. Aku lupa ayah pernah gendong-gendong aku. Aku gak inget ayah penah beliin tahu bulat. Kan ibu selalu bilang, kalau dulu ayah suka beliin aku tahu bulat."

"Kamu gak inget? Beneran lupa?"

"Ya bu, tapi kok kaya ada yang ilang gitu loh"

"Apanya yang hilang?"

"Aku gak tahu bu. Ada yang hilang gitu. Ada yang kosong gitu dada aku."

Mataku tiba-tiba saja berderai  dan memeluknya. Ah ternyata di hatinya ada yang hilang. Ah ternyata dia tidak mengerti tentang kehilangan. Dia tak ingat apa-apa padahal waktu itu umurnya 5 tahun ketika ditinggal ayahnya. Itulah kenapa dia menjadi pemalu, menutup diri, dan ada rasa takut di dirinya.

Jangan ya nak, jangan mencari sesuatu yang hilang itu di sosok laki-laki siapa pun. Ayahmu tidak ada yang bisa menggantikan. Yang hilang itu tetap akan hilang. Biarkan Allah yang mengisi kehampaan itu., batinku.

"Kaka jangan lupa berdoa terus yaaa. Jangan lupa sholat. Itu penting banget loh! Supaya hati kaka selalu terisi. Nanti kaka akan mengerti. InsyaAllah nanti Allah tolong supaya kaka mengerti."

"Aku bisa ketemu ayah gak bu?"

"InsyaAllah bisa. Ketemu di surga. Kaka banyak doain ayah ya. Kakak sholehah nanti masuk surga dan ketemu ayah."

Dia kemudian tersenyum dan kembali menatap jendela dengan wajahnya yang sendu. tiba-tiba dia menatapku dan bertanya banyak hal.

"Bu, ayah itu untuk apa sih?"

Aku pun terbata-bata untuk menjawab.

"Ayah itu ada dalam sebuah keluarga. Ayah itu pemimpin. Ayah itu yang melindungi kita."

"Lalu kita gak ada yang pimpin dong!"

"Ada dong! Ibu pemimpinnya hehehhe. Gini loh ka, Kaka gak ada ayah itu berarti udah Allah pilih. Ayah gak sama-sama kita itu maunya Allah. Maka semua udah Allah siapin untuk kita. Tetap bahagia dan bersyukur ya" jawabku dengan suara yang kurang begitu jelas karena air mata sulit dibendung.

Tak lama teleponku berbunyi.

"Hai, Ca! Aku memutuskan bercerai dengan istriku! Dia susah diatur! Bagaimana menurutmu?"

"Jangan pernah memutuskan untuk bercerai. Ingat anak-anakmu. Turunkan ego kalian. Jangan kamu bilang sudah tak cinta lagi! Ingat anak-anak! Kamu lihat deh mereka? Terlihat ceria tapi kamu tahu apa yang ada di dalam hatinya nanti. Luka batin yang tak mungkin sembuh! Kamu lihat anak-anakku yang ditinggalkan ayahnya. Ternyata mereka seserius itu hatinya. Perceraian kamu akan menjadi masalah besar untuk mereka. Istrimu hanya sulit diatur maka kamu yang harus diperbaiki! Jadilah ayah yang hebat!"

Aku langsung menutup teleponnya dengan sesak didada dan tangis yang semakin tak karuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun