Mohon tunggu...
Perempuan
Perempuan Mohon Tunggu... Buruh - Mencintai adalah bentuk baktiku

Menulis akan selalu hadir sebagai karya hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Ayam yang Belajar Ikhlas

7 November 2015   11:31 Diperbarui: 7 November 2015   11:42 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah Amora, seekor ayam yang cantik dan anggun. Bulan lalu aku menikah dengan ayam jantan sebelah rumah. Beberapa hari ini, aku mengalami perubahan pada kesehatanku. Entah mengapa.

Malam ini aku mendengar keluarga yang memeliharaku bercakap-cakap.

"Mami, si Amora kenapa mulutnya menganga terus?" tanya Dinda.

"Oh, sepertinya dia sedang mengandung telur, hampir tiap hari dia sering berkokok, mami pusing dengarnya." Maminya menjawab sambil tetap fokus pada handphonenya.

"Kenapa kok kalau ada telurnya, si Amora begitu?". Dinda bertanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Maminya.

Maminya langsung menyimpan handphonenya dan langsung menjelaskan pada Dinda. " Sepertinya Si Amora lagi ngidam, dia mual-mual dan sulit mengeluarkan muntahnya, makanya mulutnya nganga terus."

Amora langsung meneruskan penjelasan maminya, "Aaah aku tahu, Si Amora sering berkokok sama kaya Mami waktu hamil. Mamikan marah-marah terus!"

      Aku jadi tertawa mendengar pembicaraan Dinda dengan ibunya. Mereka betul, aku mengandung telur. Pengalaman pertama yang membuat aku gelisah. Katanya aku harus menunggu kurang lebih 21 hari sampai telurnya menetas menjadi seorang anak ayam.

       Dinda sedang sibuk mempersiapkan tempat untukku mengeram telur. Ia menyiapkan tempat yang sangat spesial. Tempat mengeramku terbuat dari anyaman dan atasnya dilapisi kain-kain yang empuk. Dinda memberikan aku makanan yang bergizi, katanya agar telurku banyak. Senang rasanya lihat Dinda yang sayang terhadapku. Dari kecil aku selalu dispesialkan olehnya. Setahuku, jarang sekali manusia yang memelihara ayam betina seperti ayam jantan. Aku kadang dimandikan oleh Dinda dan diberi wewangian. Aku bersyukur sekali.

Antusias Dinda melebihiku. Dia sudah mempersiapkan nama-nama anakku. Janice, Maya, Nana, Bohim, Anita dll. Aku ikutan pusing lihat tingkahnya. Suamiku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Dinda begitu antusias.

Malam ini aku bertelur hingga 8 butir. Waaah aku sangat kaget karena aku bertelur di sembarang tempat. Suamiku sibuk karena dia kewalahan memindahkan telurnya ke tempat pengeraman.

"Aku harus bagaimana memindahkan telur ini?" tanya suamiku.

"Biarkan saja, besok pagi Dinda akan memindahkannya." jawabku santai karena aku kelelahan.

Tak lama kemudian, aku mendengar Dinda, seorang anak berumur 9 tahun kegiranga. Ia jingkrak-jingkrak tak karuan.

"Hore-hore ada delapan telurnya." teriak Dinda sambil menhitung telurku.

Dinda langsung memindahkan telur-telurku ke tempat pengeraman. Aku langsung dipanggil Dinda untuk mengerami telurku. Aku juga senang sekaligus bangga karena aku bertelur cukup banyak padahal ini pengalaman pertamaku.

     Berhari-hari aku mengerami telurku. Tak sabar aku menunggu untuk melihat wajah anak-anakku. Pagi ini aku berjalan-jalan saja di halaman rumah, cukup pegal terus-terusan mengerami telur. Aku melihat Aldo yang mengangis meraung-raung pada Mami.                                                             [ Sumber : www.google.com]

"Mami aku mau teluuuuuur itu!" Aldo menangis sekencang-kencangnya.

Mendengar Aldo, adik Dinda yang mengatakan itu, naluriku langsung mengajakku untuk berlari menyelamatkan telurku. Aku takut sekali, telurku akan diambil Aldo. Aldo memang suka sekali telur ayam. Baru kali ini Aldo melihat telur ayam yang berbeda dengan telur yang biasa dia lihat. Aku sungguh takut, aku berkokok sejadi-jadinya. Aku melihat Aldo menarik tangan Mami menghampiriku yang sedang mengeram. Aku semakin kencang berkokok-kokok.

"Aldo, nanti Dinda marah loh kalau telur ayamnya kamu makan." bujuk Mami.

Aldo tak peduli dengan bujukan maminya. Entah mengapa maminya menuruti Aldo. Mami mengangkatku dari tempat pengeraman. Mami langsung mengambil satu telurku. Aku berkokok-kokok sehingga suamiku menghampiriku. Ia pun ikut berkokok. Mami dan Aldo tak memperdulikanku.

"Sudahlah, masih ada tujuh telur lagi. Ikhlaskan saja atas telur itu!" bujuk suamiku.

"Kamu tahu, bisa saja telur itu menjadi seekor ayam yang hebat!" kataku sambil berteriak.

Aku kembali mengeram telurku. Aku akan melindungi telur-telurku. Aku belajar untuk ikhlas. Namun, betapa kagetnya ketika aku mendengar Aldo berteriak kepada maminya.

"Asyiiiiiiik, telur mata sapiku jadi!"

Aku kaget. Kenapa Aldo memakai kata sapi bukan ayam. Itu telurku! bukan punya sapi. Aku menangis. Aku harus belajar ikhlas kedua kalinya. Tak lama kemudian, telur-telurku menetas. Aku melihat anak-anakku sehat. Aku terharu.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun