"Aku harus bagaimana memindahkan telur ini?" tanya suamiku.
"Biarkan saja, besok pagi Dinda akan memindahkannya." jawabku santai karena aku kelelahan.
Tak lama kemudian, aku mendengar Dinda, seorang anak berumur 9 tahun kegiranga. Ia jingkrak-jingkrak tak karuan.
"Hore-hore ada delapan telurnya." teriak Dinda sambil menhitung telurku.
Dinda langsung memindahkan telur-telurku ke tempat pengeraman. Aku langsung dipanggil Dinda untuk mengerami telurku. Aku juga senang sekaligus bangga karena aku bertelur cukup banyak padahal ini pengalaman pertamaku.
    Berhari-hari aku mengerami telurku. Tak sabar aku menunggu untuk melihat wajah anak-anakku. Pagi ini aku berjalan-jalan saja di halaman rumah, cukup pegal terus-terusan mengerami telur. Aku melihat Aldo yang mengangis meraung-raung pada Mami.
"Mami aku mau teluuuuuur itu!" Aldo menangis sekencang-kencangnya.
Mendengar Aldo, adik Dinda yang mengatakan itu, naluriku langsung mengajakku untuk berlari menyelamatkan telurku. Aku takut sekali, telurku akan diambil Aldo. Aldo memang suka sekali telur ayam. Baru kali ini Aldo melihat telur ayam yang berbeda dengan telur yang biasa dia lihat. Aku sungguh takut, aku berkokok sejadi-jadinya. Aku melihat Aldo menarik tangan Mami menghampiriku yang sedang mengeram. Aku semakin kencang berkokok-kokok.
"Aldo, nanti Dinda marah loh kalau telur ayamnya kamu makan." bujuk Mami.
Aldo tak peduli dengan bujukan maminya. Entah mengapa maminya menuruti Aldo. Mami mengangkatku dari tempat pengeraman. Mami langsung mengambil satu telurku. Aku berkokok-kokok sehingga suamiku menghampiriku. Ia pun ikut berkokok. Mami dan Aldo tak memperdulikanku.
"Sudahlah, masih ada tujuh telur lagi. Ikhlaskan saja atas telur itu!" bujuk suamiku.