Mohon tunggu...
Rabitul umam
Rabitul umam Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mencari Soekarno Muda di Zaman “Wani Piro”

16 September 2016   01:32 Diperbarui: 16 September 2016   07:55 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di mana ia mampu keluar dari cangkang intelektualitas sempitnya sebagai seorang insinyur merambah wawasan lain yang juga dikuasainya seperti politik dan wawasan kebangsaan. 

Seorang intelektual amatir menurut Said adalah seorang yang berani mengatakan yang benar itu benar kepada penguasa dimanapun, kapanpun, dan menjadi apapun. Ia tidak takut dengan resiko-resiko yang akan menghampirinya seperti dipenjara, diasingkan, dibuang, atau bahkan dibunuh. 

Namun, seorang intelektual amatir yang menjadi benteng dari akal sehat dan kejujuran itu memang selalu akan merasa sepi. Hal itu juga dirasakan oleh Soekarno sebagaimana pengakuannya pada Cindy Adam dalam bukunya Penyambung Lidah Rakyat.

Pada zaman sekarang, zaman “generasi wani piro”, kayaknya sulit menemukan sosok seperti Soekarno yang sejak usia 20-an sudah memilih jalan seorang intelektual organik amatir yang terjal, perih, dan sakit, demi memperjuangkan kesejahteraan seluruh (bukan sebagian) rakyat Indonesia. 

Kiranya rasa skeptis penulis ini cukup beralasan bila melihat misalkan dari badan-badan organisasi aktivis mahasiswa yang besar (yang kurang elok saya sebutkan satu persatu, namun tentu kita bisa rasakan bersama), di mana dalam kegiatan kongres selalu melibatkan politik transaksional yang bersifat pragmatis. 

Mulai dari transaksi jabatan struktural sampai politik uang. Seorang pemuda atau kader yang hendak maju menjadi pemimpin sebuah organisasi kepudaan, yang hanya bermodalkan idealisme, gagasan yang brilian, dan militansi penuh, tetapi isi dompet kosong atau tidak ada “Bandar” yang menggaransinya, maka kader itu sulit sekali untuk mendulang suara. Karena para voter dalam kongres tersebut didominasi oleh voter “wani piro”.

Kebanyakan orientasi kader mengejar pucuk jabatan tertinggi dalam organisasinya itu hanya sebatas pemuasan gengsi dalam struktur yang mereka anggap bagaikan kasta tersendiri, atau hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dari proposal kepada senior-senior yang ada di birokrasi politik atau pengusaha, atau hanya berorientasi mengubah kendaraan motor menjadi mobil atau minimal mengubah HP jadul menjadi HP baru. 

Para kaum muda yang mengaku sebagai aktivis itu akan lebih bangga bila mendatangi kadernya dengan menggunakan mobil dan menjinjing HP baru walau isi otaknya kosong, daripada datang dengan membawa gagasan dan agenda politik nasioanal yang lebih jelas dan progresif.

Hampir semua gerakan yang dilakukan oleh oraganisasi-organisasi besar itu selalu mendahulukan hitungan angka-angka daripada makna. Embrio sel syahwat (hiper sex) politik kekuasan yang hanya bertumpu pada jabatan, otak licik dan ketamakan untuk menggarong (korupsi) sudah ditelurkan sejak dari menjalani proses kaderisasi di organisasi-organisasi tersebut. Bahkan tidak jarang dari mereka yang merasa bangga bila berhasil “menjarah” dan dianggap sebagai mafia. 

Lucu sekali. Begitupun kader-kadernya akan merasa bangga bila ada seniornya yang pandai memanipulasi angka-angka dan pandai bersolek di depan layar kaca. 

Para kadernya itu akan menyambut seniornya yang duduk di kursi pemerintahan dengan ciuman tangan dan tepuk tangan penuh gegap gempita asal sang senior tersebut bersedia mendanai berbagai acara yang ia selenggarakan walau uang bantuan tersebut hasil “curian” dari uang rakyat, dimana dalam uang rakyat tersebut ada uang orang tua dari si junior senidri atau bahkan uang atau hak dia sendiri. Bodoh sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun