Mohon tunggu...
HENDRA WIJAYA
HENDRA WIJAYA Mohon Tunggu... Penulis - NICE DAY

Mengajar di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menjenguk Surga di Udik

18 Januari 2017   12:11 Diperbarui: 18 Januari 2017   12:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENJENGUK SURGA DI UDIK

Oleh : Hendra Wijaya

Sudah lima tahun tak pulang kampung. Bukan karena tak suka, bukan pula karena tak kangen, tapi kadang tak cukup alasan dan kesempatan untuk kesana. Nenek dan kakek dari ayah dan Ibuku sudah tidak ada di dunia. Bahkan Ayahandaku pun sudah di panggilNYA. Ibuku anak pertama dari kake. Jika lebaran Iedul Fitri, tak jarang adik-adik ibu yang masih tinggal di kampung, berdatangan ke Tangerang, sungkem, bersilaturahim dengan ibu. Sementara dari pihak ayahku, semua putra putri kake, termasuk ayahku sudah wafat.

Cucu-cicitnya sudah banyak tak tinggal dikampung lagi. Rumah kake dan nenek di kampung kini sudah ditempati oleh putra putrinya, selain dari orang tuaku. Dirumah kake dan nenek itulah dulu kami menghabiskan waktu, bermain, bercengkrama, dibuai mereka hingga tamat sekolah dasar, sebelum akhirnya hijrah ke Tangerang. Sudah tiadanya kake dan nenek cukup jadi alasan buat kami untuk malas pulang kampung. He..he..

Namun jika ada sauadara yang sakit, ada hajatan pernikahan, sunatan atau musibah kematian, biasanya walau tidak semua anggota keluargaku menghadiri acara tersebut, paling tidak ada perwakilan yang pulang kampung. Seperti beberapa waktu lalu, keluarga ibuku mendapat informasi dari kampung, bahwa putra sulung dari adik ibuku akan melangsungkan pernikahan. Kami berembuk dengan keluarga, kesimpulannya kami akan pulang kampung semua. Seminggu sebelum pulang kampung, kami mempersiapkan segala sesuatunya.

Oleh-oleh, costum (pakaian), bekal di jalan dan service mobi. Kami sangat senang sekali. Terkadang kampung halaman terbawa dalam mimpi-mimpi kami. Dua putraku Rabi (6) dan Rama (4) bahkan tak henti terus bercerita tentang kampung halaman yang pernah mereka kunjungi beberapa tahun lalu. Tentang mandi di sungai, tentang bahasa sunda yang menurut mereka unik, tentang saudara-sauadara sekampung yang pernah mereka temui, tentang sawah, tentang.....he..he..pokoknyamereka asyk bercerita dan bertanya tentang kampung padaku. Sementara bungsuku yang cantik, Rahmi (7 bulan)....he..he..muji anak sendiri boleh kan..,kali ini adalah pulang kampung pertamanya.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Kampung halamanku, berada di lereng Gunung Ciremai, tepatnya di Kampung Jagra, Desa Karang Baru, Kecamatan Ciwaru, Kabupaten Kuningan-Jawa Barat. Waktu tempuh Tangerang –Kuningan, kurang lebih lima-enam jam, itupun jika melalui tol cipali, dengan kecepatan rata-rata 100km/jam.

Jum’at tengah malam kami keluar dari garasi rumah. Kami lambaikan tangan kepada adikku yang bertugas menjaga rumah, sebagai tanda sampai jumpa. Mobil yang kami naiki berjalan santai, menyusuri jalan Tangerang-Jakarta yang lengang. Temaram lampu penerang jalan, membantu kami menerobos-membelah jalan yang kami lalui. Walau tengah malam, kami tetap asyk bercengkrama di dalam mobil. Sengaja kami berangkat tengah malam, dengan harapan di jalan tidak terjebak macet, dan datang ke kampung halaman pagi hari. Dengan begitu kami juga berharap mimpi kami akan langsung di kabulkan, yakni melihat Gunung Ciremai yang Cantik rupawan, Bukit-bukit yang anggun, hamparan persawahan hijau denga para petaninya, udara sejuk yang nikmaaat di pagi hari. O...surgaku...aku akan datang...pikirku. Sejenak kami rehat di restarea tol cipali.

Pukul 04.30 kami keluar dari tol Ciperna, menuju arah Kuningan. “Ayah...kita sholat subuh dulu yu..!” kata Rabi. “ok..!” jawabku sambil tersenyum, melirik putra sulungku. Kami mampir di Masjid Baiturrahman- Beber, Cirebon, menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Masjid ini kenangan terakhir kami sholat berjamaah bersama almarhum ayahanda kami saat pulang kampung, lima tahun silam. Karenanya sholat di mesjin inipun, bagian dari skenario perjalanan pulang kampung kami, sekaligus mengenang almarhum.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Hari semakin terang, mobil mungil kami menyusuri jalan aspal hot mix Cirebon-Kuningan dengan lincah. Nah...mimpi kami mulai terkabul. Gunung Ciremai yang molek cantik terlihat jelas. Bukit-bukit di sekitarnya berderet-deret anggun seperti bidadari sedang menari, hamparan pemandangan alam yang menawan, dan..kubuka kaca jendela mobilku, ku rasakan sergapan udara pegunungan yang khas...segar dan sejuk...aku tertawa kecil, bersyukur, memuji karunia dan kebesaranNYA. Beberapa tempat wisata terkenal Kuningan kami lewati. Pemandian Sangkan Hurip, Cibulan, Linggarjati, melambai meminta kami bertamu. Sayang walau hari sudah terang, tapi tempat-tempat wisata itu belum buka, karena masih jam 06.30. Jika hari libur, tempat-tempat wisata itu ramai di kunjungi oleh para wisatawan.

Baik wisatawan lokal maupun dari luar kota. Bis-bis besar berplat nomor B, F, A, H, banyak terlihat menuju area wisata itu, membawa rombongan wisatawan. Pemandangan alam khas pegunungan Kuningan memang tak kalah indah dengan tempat-tempat wisata alam mapan lainnya seperti Puncak -Bandung dan Puncak- Bogor. Pasilitas pendukung wisatawan agar betah dan berkesanpun nampaknya sudah disiapkan oleh pemerintah daerahnya. Antara lain sarana akomodasi. Nampak di pinggir-pinggir jalan raya banyak berdiri hotel dan villa. Begitu juga sarana transportasinya, jalan-jalan utama diperlebar dan di hot mix kelas satu. Yang menarik juga banyak berdiri pusat-pusat kuliner khas daerah dan berdiritoko-tokoyang menjual makanan , soupenir, oleh-oleh khas Kuningan. Kini Kuningan sudah menjadi tujuan wisata alternatif warga kota selain Bogor dan Bandung.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
“Selamat Datang Di Desa Karang Baru”, terlihat tulisan di atas tugu pintu gerbang masuk ke kampung kami yang berdiri kokoh. Mobil mungil kami terus merangsek ke dalam kampung. Suasana pagi yang sepi. Beberapa penduduk berjalan di tepi jalan kampung-berselimut sarung menuju sungai. Sawah hijau di kanan kiri jalan. Sungai lebar satu meter mengalirkan air derasnya. Beberapa petani sudah di tengah sawah. Kami semakin tak sabar ingin segera membuncah keluar dari mobil.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Mobil berhenti di tengah kampung. Beberapa kerabat yang sudah menunggu menyambut penuh kehangatan. Suasana sepi pecah. Sapaan satu orang kerabat kami yang cukup keras, mengundang saudara kami yang lain untuk datang menyambut. Kerabat dekat tak sabar bergantian memeluk. Sesaat kami saling bertanya kabar. Sejenak pula suasana jadi agak haru-biru.he..he...

Setelah mandi. Terhidang makanan special pesanan kami. Serabi, Tempe Goreng, Golono, Tahu Lamping, Hucap Kuningan dan air Teh hangat yang segar. Kami memang sudah memesan ke paman makanan itu sebelum pulang kampung, untuk disajikan saat kami datang. Kami tancap gas, melahap berbagai hidangan itu satu persatu. Tiap sekali santap, setelahnya tak henti keluar kata “Alloh huakbar..! lezato..!”. kataku sambil perlahan mengeleng-gelengkan kepalaku. Makanan itu sederhana tapi rasa surga bagi kami.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Tak ingin kehilangan moment sedikitpun, setelah bersilaturahim dengan saudara saudara sekampung, kami menuju sungai, destinasi penting di kampung kami. Sungainya cukup lebar, mengalirkan air yang cukup deras. Letaknya berada di depan kampung. Dipisahkan oleh jalan raya. Di kenal dengan sungai Citaal. Sungai ini salahsatu saksi masa kecilku. Aku sering bermain, mandi, berenang, pups, papalidan, di sungai ini bersama teman-teman. Dengan riang dan tak sabar kami menuju sungai. Sayup-sayup gemuruh aliran sungai Citaal terdengar dari jalan raya yang kami lewati. Walaupun hari sudah siang, tapi tak cukup panas.

Suasana teduh- riang, menemani kami. Kami menuruni jurang dengan seru, menuju sungai yang berada di bawahnya. Sampailah kami di tepi sungai. ”ow...!” desisku saat kaki ku menginjak pasir lumpur di tepi sungai . Mataku menatap binar seluruh kenampakan yang ada. Air sungai yang mengalir cukup deras kecoklatan, batu-batu karang yang kokoh di tepi sungai-di tengah sungai, batu-batu vulkanik besar –kecil bertebaran di pinggir-pinggir sungai, pohon pohon kelapa, pohon-pohon pisang melambai-lambai,dan pemandangan alam pegunungan yang luar biasa indahnya.

Rabi dan Rama berlarian di tepi sungai, mencoba ke tengah sungai lewat batu-batu karang, walau akhirnya byur...,nyebur. Aku berteriak teriak mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Kami sangat senang. Bermain pasir lumpur sungai, bermain batu luluncatan, lomba melembar batu, lomba menangkap ikan kecil jadi menu hiburan kami di sungai. Seorang penduduk terlihat sedang ngalintar, mejaring ikan dengan rengkepdi tengah sungai, menambah semarak suasana. Acara disungai ku tutup dengan pupsdi tengah sungai. Rasanya...amazing...dahsyat...he..he...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun