MENJENGUK SURGA DI UDIK
Oleh : Hendra Wijaya
Sudah lima tahun tak pulang kampung. Bukan karena tak suka, bukan pula karena tak kangen, tapi kadang tak cukup alasan dan kesempatan untuk kesana. Nenek dan kakek dari ayah dan Ibuku sudah tidak ada di dunia. Bahkan Ayahandaku pun sudah di panggilNYA. Ibuku anak pertama dari kake. Jika lebaran Iedul Fitri, tak jarang adik-adik ibu yang masih tinggal di kampung, berdatangan ke Tangerang, sungkem, bersilaturahim dengan ibu. Sementara dari pihak ayahku, semua putra putri kake, termasuk ayahku sudah wafat.
Cucu-cicitnya sudah banyak tak tinggal dikampung lagi. Rumah kake dan nenek di kampung kini sudah ditempati oleh putra putrinya, selain dari orang tuaku. Dirumah kake dan nenek itulah dulu kami menghabiskan waktu, bermain, bercengkrama, dibuai mereka hingga tamat sekolah dasar, sebelum akhirnya hijrah ke Tangerang. Sudah tiadanya kake dan nenek cukup jadi alasan buat kami untuk malas pulang kampung. He..he..
Namun jika ada sauadara yang sakit, ada hajatan pernikahan, sunatan atau musibah kematian, biasanya walau tidak semua anggota keluargaku menghadiri acara tersebut, paling tidak ada perwakilan yang pulang kampung. Seperti beberapa waktu lalu, keluarga ibuku mendapat informasi dari kampung, bahwa putra sulung dari adik ibuku akan melangsungkan pernikahan. Kami berembuk dengan keluarga, kesimpulannya kami akan pulang kampung semua. Seminggu sebelum pulang kampung, kami mempersiapkan segala sesuatunya.
Oleh-oleh, costum (pakaian), bekal di jalan dan service mobi. Kami sangat senang sekali. Terkadang kampung halaman terbawa dalam mimpi-mimpi kami. Dua putraku Rabi (6) dan Rama (4) bahkan tak henti terus bercerita tentang kampung halaman yang pernah mereka kunjungi beberapa tahun lalu. Tentang mandi di sungai, tentang bahasa sunda yang menurut mereka unik, tentang saudara-sauadara sekampung yang pernah mereka temui, tentang sawah, tentang.....he..he..pokoknyamereka asyk bercerita dan bertanya tentang kampung padaku. Sementara bungsuku yang cantik, Rahmi (7 bulan)....he..he..muji anak sendiri boleh kan..,kali ini adalah pulang kampung pertamanya.
Jum’at tengah malam kami keluar dari garasi rumah. Kami lambaikan tangan kepada adikku yang bertugas menjaga rumah, sebagai tanda sampai jumpa. Mobil yang kami naiki berjalan santai, menyusuri jalan Tangerang-Jakarta yang lengang. Temaram lampu penerang jalan, membantu kami menerobos-membelah jalan yang kami lalui. Walau tengah malam, kami tetap asyk bercengkrama di dalam mobil. Sengaja kami berangkat tengah malam, dengan harapan di jalan tidak terjebak macet, dan datang ke kampung halaman pagi hari. Dengan begitu kami juga berharap mimpi kami akan langsung di kabulkan, yakni melihat Gunung Ciremai yang Cantik rupawan, Bukit-bukit yang anggun, hamparan persawahan hijau denga para petaninya, udara sejuk yang nikmaaat di pagi hari. O...surgaku...aku akan datang...pikirku. Sejenak kami rehat di restarea tol cipali.
Pukul 04.30 kami keluar dari tol Ciperna, menuju arah Kuningan. “Ayah...kita sholat subuh dulu yu..!” kata Rabi. “ok..!” jawabku sambil tersenyum, melirik putra sulungku. Kami mampir di Masjid Baiturrahman- Beber, Cirebon, menunaikan Sholat Subuh berjamaah. Masjid ini kenangan terakhir kami sholat berjamaah bersama almarhum ayahanda kami saat pulang kampung, lima tahun silam. Karenanya sholat di mesjin inipun, bagian dari skenario perjalanan pulang kampung kami, sekaligus mengenang almarhum.
Baik wisatawan lokal maupun dari luar kota. Bis-bis besar berplat nomor B, F, A, H, banyak terlihat menuju area wisata itu, membawa rombongan wisatawan. Pemandangan alam khas pegunungan Kuningan memang tak kalah indah dengan tempat-tempat wisata alam mapan lainnya seperti Puncak -Bandung dan Puncak- Bogor. Pasilitas pendukung wisatawan agar betah dan berkesanpun nampaknya sudah disiapkan oleh pemerintah daerahnya. Antara lain sarana akomodasi. Nampak di pinggir-pinggir jalan raya banyak berdiri hotel dan villa. Begitu juga sarana transportasinya, jalan-jalan utama diperlebar dan di hot mix kelas satu. Yang menarik juga banyak berdiri pusat-pusat kuliner khas daerah dan berdiritoko-tokoyang menjual makanan , soupenir, oleh-oleh khas Kuningan. Kini Kuningan sudah menjadi tujuan wisata alternatif warga kota selain Bogor dan Bandung.
Setelah mandi. Terhidang makanan special pesanan kami. Serabi, Tempe Goreng, Golono, Tahu Lamping, Hucap Kuningan dan air Teh hangat yang segar. Kami memang sudah memesan ke paman makanan itu sebelum pulang kampung, untuk disajikan saat kami datang. Kami tancap gas, melahap berbagai hidangan itu satu persatu. Tiap sekali santap, setelahnya tak henti keluar kata “Alloh huakbar..! lezato..!”. kataku sambil perlahan mengeleng-gelengkan kepalaku. Makanan itu sederhana tapi rasa surga bagi kami.
Suasana teduh- riang, menemani kami. Kami menuruni jurang dengan seru, menuju sungai yang berada di bawahnya. Sampailah kami di tepi sungai. ”ow...!” desisku saat kaki ku menginjak pasir lumpur di tepi sungai . Mataku menatap binar seluruh kenampakan yang ada. Air sungai yang mengalir cukup deras kecoklatan, batu-batu karang yang kokoh di tepi sungai-di tengah sungai, batu-batu vulkanik besar –kecil bertebaran di pinggir-pinggir sungai, pohon pohon kelapa, pohon-pohon pisang melambai-lambai,dan pemandangan alam pegunungan yang luar biasa indahnya.
Rabi dan Rama berlarian di tepi sungai, mencoba ke tengah sungai lewat batu-batu karang, walau akhirnya byur...,nyebur. Aku berteriak teriak mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Kami sangat senang. Bermain pasir lumpur sungai, bermain batu luluncatan, lomba melembar batu, lomba menangkap ikan kecil jadi menu hiburan kami di sungai. Seorang penduduk terlihat sedang ngalintar, mejaring ikan dengan rengkepdi tengah sungai, menambah semarak suasana. Acara disungai ku tutup dengan pupsdi tengah sungai. Rasanya...amazing...dahsyat...he..he...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H