Mohon tunggu...
qwhid rd
qwhid rd Mohon Tunggu... -

http://justdowid.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan cicak vs buaya : Prahara Pinggir Sungai(2)

24 Mei 2010   08:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Satu...dua....tiga.........tiga ratus......lima ratus....seribu.......loh koq hanya seribu ekor..!!, kemana yang enam puluh tujuh ekor” pekik peternak.

”mana mungkin dalam semalam bisa enam puluh tujuh ekor yang hilang, kalau yang mencuri adalah Bi Awak paling banyak yang hilang adalah lima ekor,.....ini pasti pekerjaan Bu Aya sekeluarga ,....akan ku bantai Bu Aya sekeluarga dan kujadikan kulitnya tas, atau sepatu sebagai ganti kerugian ayam-ayamku”.

Kemudian peternak itu pergi ke gudang untuk mengambil semua perlengkapan berburunya, ”brakk” pintu gudang itu ditendang kuat-kuat oleh peternak, ia mengambil semua senjata yang ada didalam gudang itu. Anak panah beserta busurnya ia letakkan di punggungnya, pisau komando ia selipkan di pinggangnya, ia raih senjata genggam kesayangannya sewaktu ia masih dimiliter pistol FN kaliber 45, tak lupa ia pun meraih senjata laras panjang HECATE II 12,7.

”Bu Aya-Bu Aya tidak ingat kau dengan perjanjian kita, jangan kau usik ternak-ternakku maka akupun tak akan mengusik daerah kekuasaanmu, kau boleh memakan ternakku apabila ada ternakku yang lari masuk ke daerah kekuasaanmu, tapi sekarang kau telah melanggar janjimu maka akan kualiri sungai itu dengan darahmu dan darah anak-anakmu”.

Peternak itu telah berubah menjadi Rambo yang siap menghancurkan lawan-lawannya. Di atas bukit di tepi sungai dengan berteriak lantang sang peternak memanggil Bu Aya, ”wahai Bu Aya keluarlah dari liang-liang persembunyianmu kau telah melanggar semua perjanjian kita !”.

”Apa yang telah aku langgar wahai peternak, aku hanya memakan ternak-ternakmu yang masuk ke daerah kekuasaanku”, Bu Aya pun menjawabnya.

Dengan suara yang menggelegar peternak itu pun berteriak ”Dasar buaya!, Bu Aya jangan kau coba menipuku, tak mungkin enam puluh tujuh  ekor ternakku masuk dengan sengaja kedaerah kekuasaanmu pada malam hari”.

Bu Aya dan anggota keluarganya pun terdiam mendengar perkataan sang peternak, bukan karena takut mereka terdiam atau bukan juga karena memang perasaan bersalah.
”mmmh pasti ada salah satu anggota keluargaku yang kongkalikong dengan para Bi Awak yang licik, bedebah” pikir Bu Aya.

Riuh rendah suasana di bantaran sungai pagi itu, para Bu Aya telah memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan apabila keadaan bertambah buruk. Sang peternak pun melakukan hal yang sama ”ceklik” FN kaliber 45 telah ia kokang.

Sementara itu dari kejauhan dibalik semak para Bi Awak tersenyum puas.
”Angkat gelas mu rekan-rekan pagi ini, adalah hari terakhir bagi Bu Aya menjadi penguasa di sungai ini dan hari yang bersejarah bagi keluarga Bi Awak, karena sebentar lagi kita akan menjadi penguasa di bantaran sungai ini, mampus kau Bu Aya, ha....ha....ha”.

Sementara itu di peternakan ,

”sial.......jam berapa sekarang,......suara apa itu........gawat jangan – jangan,........oh tidak kita kesiangan, kita harus segera menuju sungai sebelum terlambat”.
Tanpa membersihkan badan terlebih dahulu dan tanpa gosok gigi nCi Cak – nCi Cak itu pun melompat dari atap kandang ayam itu ”hap” kemudian berlari tergopoh-gopoh dengan sekuat tenaga menuju bantaran sungai itu, setelah sampai di pinggir sungai nCi Cak – nCi Cak itu mencoba mencari pohon tertinggi ”ciat,.....hap” dengan sekali lompatan nCi Cak – nCi Cak itu telah sampai ke puncak pohon tersebut, kebetulan sebelum tinggal di peternakan nCi Cak – nCi Cak itu pernah tinggal di biara Shaolin selama beberapa tahun dan berhasil mempelajari ilmu gingkang karena hampir setiap hari mereka melihat para bikshu muda berlatih ilmu itu.

Sehingga hanya dengan sekali lompatan saja mereka pun bisa langsung berada di puncak, kaget juga nCi Cak-nCi Cak itu kalau sedang terdesak mereka bisa menggunakan ilmu itu secara sempurna. Sesaat setelah sampai di puncak pohon.

”berhenti jangan kalian saling membunuh, tarik kembali kokanganmu wahai peternak dan kau Bu Aya redamlah emosimu, karena sesungguhnya ada yang hendak mengambil keuntungan dari kerusuhan ini. Kami dari koloni nCi Cak pagi ini bersaksi bahwa yang mencuri ternak-ternak itu adalah para Bi Awak, kami melihatnya dengan mata kepala kami sendiri”.
”Wahai nCi Cak saya hanya dapat mendengar suara mu dimanakah sesungguhnya kau berada” sahut peternak.

”Tak penting keberadaan kami sekarang, karena seandainya kau tahu, kau pun tak dapat melihat kami, karena kami berada di puncak pohon cemara di dekat sungai kekuasaan Bu Aya, tapi percayalah pada kami bukan Bu Aya yang melakukannya”.

Baru saja nCi Cak itu tutup mulut, terdengar suara tertawa kecil dari seberang sungai itu.
”He....he.....he...ingatlah perjanjian kita peternak yang baik hati , kami Bi Awak tidak akan pernah lagi masuk ke peternakan mu kami selalu menepati janji kami, seandainya kami yang mencurinya, kami pun tak kan mencuri sebanyak itu, kau pun tahu itu peternak, kau boleh periksa liang-liang kami, niscaya kau tak akan menemukan bukti apapun”.

”Oh...God sebenarnya siapa yang telah mencuri ternak-ternak ku, kalau Bi Awak yang mencurinya seperti sangkaan nCi Cak-nCi Cak itu, pasti jumlah nya tidak sebanyak itu, mana mungkin Bi Awak-Bi Awak sanggup memakan semua ternak-ternakku yang hilang. Hanya Bu Aya yang sanggup memakan habis ternak-ternakku yang hilang”, otak peternak pun berpikir keras.

Dari atas pohon kelapa di atas bukit seekor tupai terus mengamati kejadian demi kejadian di bantaran sungai tersebut, sambil menikmati buah kelapa yang manis dan segar, dia ambilnya kelapa muda yang paling kecil dan di lempar kearah kepala peternak itu ”bletak” tepat mengenai sasaran.

”Aduh kurang ajar” FN kaliber 45 pun kembali di kokangnya ”ceklik”.
”Siapa yang melakukan, mau mampus yah” tampak peternak yang tadinya berdiam diri karena sedang berpikir keras kembali naik darah.

”Wow....wow.....sabar bro, aku yang melakukannya”.

”Sial kau tupai! sudah bosan hidup rupanya kau”.

”Tidak aku masih mau hidup, dan mungkin aku akan hidup lebih lama dibanding kau peternak” dengan terus memakan kelapanya sang tupai menjawab dengan tenang. ”Sekarang katakan apa maksudmu melempar kelapa pentil itu kearah ku”.

”Itu yang ku tunggu” sahut sang tupai, tupai pun dengan sigap menuruni pohon kelapa itu, dan ”hap” sang tupai melompat dari pohon kelapa ke pundak peternak itu, ”hei....hei....apa yang kau lakukan” kaget dan bingung peternak itu dibuatnya.

”Santai bro aku tidak akan menggigit daging telinga mu, rasanya tidak enak!” jawab sang tupai,

”lalu kenapa kau kepundakku, dan kalau mau bicara, kenapa tidak dari pohon itu saja” sahut peternak.

”Wahai peternak aku tidak ingin menghabiskan suaraku dan tenagaku dengan berteriak dari atas pohon, sudah dengarkanlah saranku”.

Tingkah laku sang tupai membuat peternak itu tambah jengkel bin dongkol
”baik apa saran mu.”

”Wahai peternak kau adalah mahluk yang paling pandai diantara mahluk-mahluk penghuni bantaran sungai, kenapa kau bertindak hampir menyerupai binatang main petantang-petenteng seperti jagoan dari Omae Rika, dengar peternak aku tahu kau marah karena ternakmu banyak yang hilang, dan aku juga melihat kamu dalam keadaan bingung saat nCi Cak-nCi Cak itu mengungkapkan kesaksiannya, aku hanya ingin mengatakan bahwa kami mahluk-mahluk penghuni sungai ini masih bisa diajak bicara, tidak seperti mereka yang hidup di kota”.

”Di kota” si peternak pun kembali mengingat masa lalunya sebelum ia tinggal di bantaran sungai dan memutuskan menjadi peternak. Ia adalah pemuda yang gagah dari desa nun jauh disana, setelah tamat dari sekolah ia menjadi prajurit militer yang tangguh. Perang melawan musuh negaranyapun pernah ia lakukan. Ia lama tinggal di kota besar itu dari prajurit hingga pensiun ia tinggal di kota besar itu, tapi lama kelamaan ia merasa bosan tinggal di kota besar. Para penghuni kota itu lama-kelamaan berubah sifatnya hampir menyerupai binatang, rakusnya mengalahkan hewan babi yang kelaparan. Hukumnya adalah siapa kuat dia yang menang, hampir sama dengan hukum yang berlaku di rimba belantara.
”Sial kau tupai” peternak tersadar dari lamunannya,

”Loh.......apa yang ku lakukan, aku hanya ingin bilang ajak bicara secara baik-baik Bu Aya, nCi Cak dan Bi Awak, adakan sidang di bantaran sungai, biar kami para tupai dan penghuni lain siap menjadi pengawal keadilannya.”

”Baik lah tupai, kau mengingatkanku pada masa laluku, aku ingin tetap sebagai diriku sebagai manusia, yang di takdirkan oleh Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi ini” sahut peternak.

”Wahai para Bu Aya, para Bi Awak, para nCi Cak dan para penghuni bantaran sungai yang lain, dengarkan lah bahwa kasus hilangnya ternakku sebanyak enam puluh tujuh ekor akan diteruskan di pengadilan bantaran sungai kalidunie besok saat matahari mulai meninggi” teriak peternak kepada para penghuni bantaran sungai.

Bu Aya tersenyum, nCi Cak juga turut senang, sementara itu Bi Awak juga tersenyum, walau sedikit kecut ”tunggu siapa terdakwa nya hai peternak” sahut Bi Awak. Peternak pun tersenyum, walau gigi sudah tak seputih seperti dulu lagi, ia pun menjawabnya ”biarkan hal itu ditentukan hari besok oleh si bijak Bu Rung hantu.”


Cerita Masih Berlanjut

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun