Mohon tunggu...
qwhid rd
qwhid rd Mohon Tunggu... -

http://justdowid.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan cicak vs buaya : Prahara Pinggir Sungai(2)

24 Mei 2010   08:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Itu yang ku tunggu” sahut sang tupai, tupai pun dengan sigap menuruni pohon kelapa itu, dan ”hap” sang tupai melompat dari pohon kelapa ke pundak peternak itu, ”hei....hei....apa yang kau lakukan” kaget dan bingung peternak itu dibuatnya.

”Santai bro aku tidak akan menggigit daging telinga mu, rasanya tidak enak!” jawab sang tupai,

”lalu kenapa kau kepundakku, dan kalau mau bicara, kenapa tidak dari pohon itu saja” sahut peternak.

”Wahai peternak aku tidak ingin menghabiskan suaraku dan tenagaku dengan berteriak dari atas pohon, sudah dengarkanlah saranku”.

Tingkah laku sang tupai membuat peternak itu tambah jengkel bin dongkol
”baik apa saran mu.”

”Wahai peternak kau adalah mahluk yang paling pandai diantara mahluk-mahluk penghuni bantaran sungai, kenapa kau bertindak hampir menyerupai binatang main petantang-petenteng seperti jagoan dari Omae Rika, dengar peternak aku tahu kau marah karena ternakmu banyak yang hilang, dan aku juga melihat kamu dalam keadaan bingung saat nCi Cak-nCi Cak itu mengungkapkan kesaksiannya, aku hanya ingin mengatakan bahwa kami mahluk-mahluk penghuni sungai ini masih bisa diajak bicara, tidak seperti mereka yang hidup di kota”.

”Di kota” si peternak pun kembali mengingat masa lalunya sebelum ia tinggal di bantaran sungai dan memutuskan menjadi peternak. Ia adalah pemuda yang gagah dari desa nun jauh disana, setelah tamat dari sekolah ia menjadi prajurit militer yang tangguh. Perang melawan musuh negaranyapun pernah ia lakukan. Ia lama tinggal di kota besar itu dari prajurit hingga pensiun ia tinggal di kota besar itu, tapi lama kelamaan ia merasa bosan tinggal di kota besar. Para penghuni kota itu lama-kelamaan berubah sifatnya hampir menyerupai binatang, rakusnya mengalahkan hewan babi yang kelaparan. Hukumnya adalah siapa kuat dia yang menang, hampir sama dengan hukum yang berlaku di rimba belantara.
”Sial kau tupai” peternak tersadar dari lamunannya,

”Loh.......apa yang ku lakukan, aku hanya ingin bilang ajak bicara secara baik-baik Bu Aya, nCi Cak dan Bi Awak, adakan sidang di bantaran sungai, biar kami para tupai dan penghuni lain siap menjadi pengawal keadilannya.”

”Baik lah tupai, kau mengingatkanku pada masa laluku, aku ingin tetap sebagai diriku sebagai manusia, yang di takdirkan oleh Tuhan sebagai pemimpin di muka bumi ini” sahut peternak.

”Wahai para Bu Aya, para Bi Awak, para nCi Cak dan para penghuni bantaran sungai yang lain, dengarkan lah bahwa kasus hilangnya ternakku sebanyak enam puluh tujuh ekor akan diteruskan di pengadilan bantaran sungai kalidunie besok saat matahari mulai meninggi” teriak peternak kepada para penghuni bantaran sungai.

Bu Aya tersenyum, nCi Cak juga turut senang, sementara itu Bi Awak juga tersenyum, walau sedikit kecut ”tunggu siapa terdakwa nya hai peternak” sahut Bi Awak. Peternak pun tersenyum, walau gigi sudah tak seputih seperti dulu lagi, ia pun menjawabnya ”biarkan hal itu ditentukan hari besok oleh si bijak Bu Rung hantu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun