Mohon tunggu...
Rahmat Kurnia  Lubis
Rahmat Kurnia Lubis Mohon Tunggu... Penjahit - Penggiat Filsafat

Santri Desa, Kaum Sarungan, Suka Membaca, Suka Menulis, Suka Berjalan, Suka Makan dan Semuanya Dilakukan Dengan Suka-Suka. Alumni UIN Sunan Kalijaga (Suka), Suka Filsafat dan Suka Indonesia Berbudaya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Islam Nusantara, Perlukah?

23 Agustus 2018   19:22 Diperbarui: 23 Agustus 2018   19:39 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara Islam Nusantara akhir-akhir ini menjadi diskursus yang cukup serius di tanah air, padahal pembahasan ini telah menjadi tema pada Muktamar ke-33 NU, di Jombang 2015 lalu. 

Penulis sendiri begitu sering menjumpai cemoohan maupun sebaliknya yang memberikan argument secara elegan dan pantas di berbagai macam ruang dan waktu. Pembicaraaan itu timbul mulai dari group-group whatsapp, group facebook, artikel dan opini di media massa maupun diksusi melalui pengajian dan seminar ilmiah.

Pembicaraan ini menurut penulis suatu pencapaian yang cukup fantastis, mengingat daya kritis alias nalar ijtihad kita menjadi seolah yang tumpul belakangan ini, Penulis sangat menghormati sikap kritis baik yang pro maupun kontra tentunya, tetapi lagi-lagi imajinasi, referensi dan sikap untuk tidak jujur itu terkadang telah melemahkan diri kita sendiri dalam berdiskusi sehingga yang timbul dari persoalan ini adalah sikaf panatisme yang berlebihan dan penolakan yang terkesan nyinyir. Pada akhirnya sangat sedikit pembahasan ini menjadi sesuatu hal yang lebih menarik karena muatan ego dalam kepala kita masing-masing.

Membicarakan Islam Nusantara sejatinya harus berangkat dari sebuah defenisi, Persoalan sekarang ini banyak yang tidak berangkat dari sebuah defenisi, yaitu tentang apa (ontologi), bagaimana (epistimologi) dan nilai yang terkandang seperti apa (aksiologi),  akhirnya  defenisikan melalui versi sendiri, fatwakan sendiri dan hebohnya juga sendiri. 

Padahal jelas seperti ungkapan Ketua Umum PBNU,  Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj bahwa gagasan Islam Nusantara itu adalah tentang ke Khas-an Islam dengan nilai-nilai budaya lokal yang di Indonesia, Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Justru sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya tradisi dan budaya yang ada secara bertahap, dalam konteks ushul fiqh demikian disebut :

"Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah"

(Memelihara budaya-budaya tradisional yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang lebih baik)

Berangkat dari sebuah defenisi, penulis lebih sepakat untuk mengutip atas apa yang disampaikan oleh Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, yang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek Malang dan Dosen Bahasa Arab UIN Maliki Malang, KH. Marzuki Mustamar, menurut beliau Islam Nusantara adalah "Targib Idhofah bi Ma'na Fi" yaitu, Islam Yaman, maksudnya adalah Islam yang ada yang ada di Yaman, Islam Mesir adalah Islam yang ada di Mesir, Islam Nusantara yaitu Islam yang ada di Nusantara. 

Rukun Islamnya sama, Rukun Imannya sama, cara shalat dan puasanya juga sama, hanya beda tempat saja, tidak ada yang ditambah dan dikurangi, kalaupun kemudian ada perbedaan lebih kepada persoalan madzhabnya saja atau disebut furu' (cabang).

Kembali menurut beliau, dalam ajaran Islam, bahwa orang memeluk agama Islam tidak berarti harus menanggalkan kebangsaannya. Berarti zaman nabi orang yang memeluk Islam tetap diperbolehkan menyebutkan kebangsaannya, makanya Salman masuk Islam menjadi Salman Al Farisi, artinya Salman berkebangsaan Farsi, Suhaib Al Rumi, Suhaib dari Rum, Bilal bin Rabah Al Habsyi, maksudnya adalah Bilal yang berkebangsaan Habsy. Al Qursi berarti berkebangsaan Qurais, Attamimi berarti dari suku Tamim, artinya ia Islam dan ia tetap melekatkan ciri dan identitas msing-masing.

Bicara Islam Nusantara bukan masalah mana lebih pantas antara Islam Arab dan Islam Indonesia. Bukan bermaksud inferiornya Arab dan superioritasnya Indonesia. Karena dari tema muktamar ini begitu banyak orang yang kemudian membuat semacam justifikasi nyinyir yang tidak relevan dengan pembahsan Islam Nusantara. Sampai-sampai ada yang menyebutkan Islam Nusantara Nabinya siapa ? 

Islam Nusantara begitu meninggal dikafaninya pakai batik, menjawab Nukar dan Nakir pakai bahasa Jawa, hal demikian tentu pernyataan dan kesimpulan yang sangat keliru.

Apa yang disebut dengan Islam Nusantara sejatinya adalah upaya menghidupkan kembali pemahaman Islam dalam konteks ke-Indonesiaan yang telah Kiai Wahid lakukan, selanjutnya kembali di gagas ulang oleh KH Abdurrahman Wahid dengan ide pribumisasi Islam, kemudian diteruskan Ketum PBNU berikutnya, KH Hasyim Muzadi, dalam bentuk menolak gerakan Transnasional Islam. 

Dari sudut keilmuan, Islam Nusantara merupakan juga kelanjutan dari gagasan Prof. Hazairin akan Mazhab Nasional dan ide Fikih Indonesia dari Prof Hasbi As-Shiddieqy.

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj sendiri menyampaikan bahwa Islam Nusantara bukan madzhab dan bukan pula aliran, dia hanya tifologi alias karakter dimana budaya dan agama hidup di bumi nusantara,  sama halnya dengan Islam Berkemajuan yang didengungkan oleh Muhammadiyah. Islam terpadu biasanya disebutkan oleh kader-kader PKS di Indonesia.

Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir menyebutkan "...Apa yang disebut Islam Nusantara adalah menyelaraskan ide dan gagasan sesuai dengan budaya bangsa yang tidak boleh melampaui wilayah Syariat. 

Jadi sangat jelas bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan substansi Islam. Mungkin kita juga masih ingat dengan dakwah kulturalnya Sunan Kalijaga dalam melakukan Islamisasi di Pulau Jawa, jika saja Islamisasi dilakukan dengan penaklukan maka dia akan tinggal puing-puing saja, tidak lebih hanya semacam artepak, ritus sejarah yang menyakitkan bila dikenang. \

Tetapi Wali Songo menghidupkan nilai-nilai substansial Islam ditengah kehidupan bermasyarakat dengan tetap memelihara budaya-budaya yang sesuai dengan wilayah syariat, bahkan sangat menghormati kultur yang ada sampai dakwah dengan gamelan, nyanyian Ilir-Ilir, blankon menjadi pintu masuk Islam Nusantara.

Salah satu kejeniusan Nahdlatul Ulama dengan gagasan Islam Nusantara adalah mencoba membendung paham gerakan transnasional, Gerakan "Islam" import yang tidak cocok dengan budaya Indonesia dan telah bercampurnya dengan ideologi politik, nafsu kekuasaan seperti ISIS, Khawarij, dan Al Qaeda yang telah berusaha merusak sendi-sendi pemikiran anak muda di Indonesia. Islam Nusantara pada akhirnya adalah sekaligus antitesis terhadap liberalisme ala barat yang kebablasan, ideologi radikal yang berlebihan.  

Sampai saat ini penulis sebenarnya masih terus bertanya terhadap orang yang kontra terhadap Islam Nusantara, kenapa ketika Islam Nusantara di dengungkan oleh Nahdlatul Ulama begitu menjadi sorotan dan cibiran, sebaliknya Islam Berkemajuan, Islam Terpadu, Islam Progresif, Islam Yaman, Islam Syiria, Islam Mesir, Islam Sunni, Islam Syafii, Islam Hanafi, Islam Naqsyabandi tidak menjadi soal?  

Apakah kritik kita lebih kepada persoalan substansi, politik dan kebencian atau karena memang kita tidak paham sama sekali ?. Semoga bagi yang pro dan kontra tidak menjadikan kita lebih merasa paling Islam dari pada lainnya, tidak merasa kita paling surga dibanding lainnya. Karena bisa jadi karena persoalan "paling dan merasa" ini justeru pada akhirnya menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT.

Penulis adalah Konsultan Arab, Film Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, Sejarah dan Perlawanan Nahdlatul Ulama terhadap Kolonialisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun