Bicara Islam Nusantara akhir-akhir ini menjadi diskursus yang cukup serius di tanah air, padahal pembahasan ini telah menjadi tema pada Muktamar ke-33 NU, di Jombang 2015 lalu.Â
Penulis sendiri begitu sering menjumpai cemoohan maupun sebaliknya yang memberikan argument secara elegan dan pantas di berbagai macam ruang dan waktu. Pembicaraaan itu timbul mulai dari group-group whatsapp, group facebook, artikel dan opini di media massa maupun diksusi melalui pengajian dan seminar ilmiah.
Pembicaraan ini menurut penulis suatu pencapaian yang cukup fantastis, mengingat daya kritis alias nalar ijtihad kita menjadi seolah yang tumpul belakangan ini, Penulis sangat menghormati sikap kritis baik yang pro maupun kontra tentunya, tetapi lagi-lagi imajinasi, referensi dan sikap untuk tidak jujur itu terkadang telah melemahkan diri kita sendiri dalam berdiskusi sehingga yang timbul dari persoalan ini adalah sikaf panatisme yang berlebihan dan penolakan yang terkesan nyinyir. Pada akhirnya sangat sedikit pembahasan ini menjadi sesuatu hal yang lebih menarik karena muatan ego dalam kepala kita masing-masing.
Membicarakan Islam Nusantara sejatinya harus berangkat dari sebuah defenisi, Persoalan sekarang ini banyak yang tidak berangkat dari sebuah defenisi, yaitu tentang apa (ontologi), bagaimana (epistimologi) dan nilai yang terkandang seperti apa (aksiologi),  akhirnya  defenisikan melalui versi sendiri, fatwakan sendiri dan hebohnya juga sendiri.Â
Padahal jelas seperti ungkapan Ketua Umum PBNU, Â Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj bahwa gagasan Islam Nusantara itu adalah tentang ke Khas-an Islam dengan nilai-nilai budaya lokal yang di Indonesia, Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Justru sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya tradisi dan budaya yang ada secara bertahap, dalam konteks ushul fiqh demikian disebut :
"Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh Wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah"
(Memelihara budaya-budaya tradisional yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang lebih baik)
Berangkat dari sebuah defenisi, penulis lebih sepakat untuk mengutip atas apa yang disampaikan oleh Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, yang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek Malang dan Dosen Bahasa Arab UIN Maliki Malang, KH. Marzuki Mustamar, menurut beliau Islam Nusantara adalah "Targib Idhofah bi Ma'na Fi" yaitu, Islam Yaman, maksudnya adalah Islam yang ada yang ada di Yaman, Islam Mesir adalah Islam yang ada di Mesir, Islam Nusantara yaitu Islam yang ada di Nusantara.Â
Rukun Islamnya sama, Rukun Imannya sama, cara shalat dan puasanya juga sama, hanya beda tempat saja, tidak ada yang ditambah dan dikurangi, kalaupun kemudian ada perbedaan lebih kepada persoalan madzhabnya saja atau disebut furu' (cabang).
Kembali menurut beliau, dalam ajaran Islam, bahwa orang memeluk agama Islam tidak berarti harus menanggalkan kebangsaannya. Berarti zaman nabi orang yang memeluk Islam tetap diperbolehkan menyebutkan kebangsaannya, makanya Salman masuk Islam menjadi Salman Al Farisi, artinya Salman berkebangsaan Farsi, Suhaib Al Rumi, Suhaib dari Rum, Bilal bin Rabah Al Habsyi, maksudnya adalah Bilal yang berkebangsaan Habsy. Al Qursi berarti berkebangsaan Qurais, Attamimi berarti dari suku Tamim, artinya ia Islam dan ia tetap melekatkan ciri dan identitas msing-masing.
Bicara Islam Nusantara bukan masalah mana lebih pantas antara Islam Arab dan Islam Indonesia. Bukan bermaksud inferiornya Arab dan superioritasnya Indonesia. Karena dari tema muktamar ini begitu banyak orang yang kemudian membuat semacam justifikasi nyinyir yang tidak relevan dengan pembahsan Islam Nusantara. Sampai-sampai ada yang menyebutkan Islam Nusantara Nabinya siapa ?Â