Mohon tunggu...
Rahmat Kurnia  Lubis
Rahmat Kurnia Lubis Mohon Tunggu... Penjahit - Penggiat Filsafat

Santri Desa, Kaum Sarungan, Suka Membaca, Suka Menulis, Suka Berjalan, Suka Makan dan Semuanya Dilakukan Dengan Suka-Suka. Alumni UIN Sunan Kalijaga (Suka), Suka Filsafat dan Suka Indonesia Berbudaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intervensi Politis Kepala Daerah Terhadap Kepala Desa

16 Maret 2018   17:14 Diperbarui: 18 April 2018   00:42 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Epistemologi UU Desa

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat hukum dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara kesatuan yang berbentuk republik ini terbentuk. Sedangkan, secara etimologis, desa berasal dari bahasa Sangsekerta, Deca yang berarti tanah air, tanah asal kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau Village diartikan sebagai "a group of houses and shops in a country area, smaller than a town".

Konsepsi pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya termuat dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut:

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam undang-undang".

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi era SBY-Budiono pernah mengatakan seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah tertanggal 2 April 2012 sebagai berikut:

"Undang-Undang tentang desa bertujuan hendak mengangkat desa pada posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal lain adalah bahwa pengaturan desa akan menentukan format yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom up).

Ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (2)UUD NRI tahun 1945 tersebut kemudian direalisasikan dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Konsepsi pokok yang termuat dalam UU nomor  6 tahun 2014 tentang Desa dapat dilihat dalam konsiderannya bahwa desa memiliki hak yang bersifat tradisional serta siap dalam hal persaingan karena didorong dengan pengelolaan yang bersifat pemberdayaan terhadap masing-masing desa.

Gairah Demokrasi Desa

Perlu kita ketahui bahwa diputuskannya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan angin segar bagi para aparatur desa sekaligus penguatan secara yuridis dan formal, sebagai kekuatan hukum mengikat bagi pengelolaan desa sekaligus sebagai jembatan untuk penganggaran alokasi dana desa.

Masih segar dalam ingatan bahwa diberbagai tempat sepanjang rentang tahun sebelum di undangkannya peraturan desa ini, masyarakat hampir acuh terhadap kepemimpinan desa maka tidak jarang kita dengar bahwa kepala desa sudah belasan bahkan ada yang puluhan tahun menjabat sebagai seorang kepala desa.

Hal demikian seolah tidak menjadi problem bagi masyarakat bahkan sebahagian besar mungkin berpikir bahwa jabatan sebagai seorang kepala desa hanya menambah beban pikiran, waktu dan tenaga, karena itu posisi pemimpin desa lebih dipandang sebagai amal jariyah yang bersifat sosial terhadap masyarakat.

Namun dari pada itu amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya kepada setiap desa sebagai bentuk pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan jumlah anggaran sebesar Rp 20,76 triliun.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Dana Desa Tahun Anggaran 2018 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 ditetapkan sebesar Rp60.000.000.000.000,00 (enam puluh triliun rupiah). Maka terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.07/2017 Tentang Perubahan Rincian Dana Desa Menurut Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2018.

Setiap tahun Pemerintah Pusat telah menganggarkan Dana Desa yang cukup besar untuk diberikan kepada Desa. Pada tahun 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta. Pada tahun 2016, Dana Desa meningkat menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp628 juta dan di tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 Triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 800 juta.

Angka tersebut cukup pantastis tentunya mengingat ketimpangan antara pusat dan daerah yang begitu menganga selama ini apalagi kondisi keuangan daerah yang kerap tidak sampai menyentuh desa tetapi lebih kepada belanja pegawai dan hal formalistik lainnya. Anggaran yang langsung dikelola oleh desa itu tentunya diharapkan dapat memperbaiki kehidupan masyarakat baik dari infrastruktur untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan  pemberdayaan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Sejak saat itu hingar bingar politik desa dan tumbuhnya demokrasi di pedesaan semakin tumbuh, tentu kita berharap bukan untuk menjadi raja kecil di daerah tetapi lebih fokus kepada pembangunan nasional yang merata dan berkeadilan. Joko Widodo sendiri, Presiden RI telah mengingatkan "Kita memiliki 74 ribu desa di Negara ini . Sampai tahun 2017, ada 900 yang mempunyai masalah, jadi hati-hati. Kepala desanya ditangkap karena menyelewengkan dana desa, lanjut Jokowi".

Intervensi Kepala Daerah

Dilihat dari persoalan kepala desa, mulai dari perselisihan pemilihan kepala desa hingga euforia yang bersifat demokratis ini maka penulis melihat dari tiga aspek yang setidaknya dianggap relevan untuk diketengahkan.

Pertama adalah keinginan yang kuat dari kandidiat ataupun kepala desa dalam hal pengelolaan dana desa, kedua hidupnya dinamika politik sebagai jalan untuk memuluskan karir agar tetap terpilih menjadi kepala daerah berupa bupati/wali kota sementara yang ketiga adalah keinginan dan dorongan yang kuat dari masyarakat untuk mencalonkan seseorang sebagai tokoh yang dipandang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan desa.

Penulis tidak ingin melebar terhadap persoalan dana desa yang menjadi incaran penegak hukum saat ini dimana ada 900 orang yang bermasalah seperti kata Jokowi, tetapi penulis melihat tentang bagaimana seorang kepala daerah berusaha mencoba menghambat mulusnya karir seseorang dalam tatanan kepemimpinan desa.

Acap kali Kita mendengar bahwa kepala desa diberhentikan secara sepihak oleh kepala daerah dengan diterbitkannya surat keputusan dari seorang bupati, hal lain yang penulis dengar adalah dipersulitnya persoalan birokrasi untuk memperkecil gerak kepala desa termasuk soal gaji dan dana desa, semata-mata karena persoalan yang tidak clear dari Pemerintah daerah. Hal ini hemat penulis tentu ada kaitannya dengan hasrat politis untuk menempatkan orang-orang tertentu yang berafiliasi politik dengan pejabat setempat demi untuk memuluskan langkah-langkah politiknya.

Padahal sebenarnya sudah jelas bahwa Pemilihan kepala desa dinyatakan sah jika kita mengacu pada Pasal 37 ayat (6) UU Desa yang berbunyi:

(1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara   terbanyak.

(2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.

(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari  setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.

(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.

(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Bahkan jika ingin melihat siapakah sebenarnya bakal calon yang mempunyai hak dan boleh berkompetisi dalam hal pemilihan kepala desa bisa dilihat melalui Pasal 33 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Jadi tidak ada alas an yang mengada-ada atau mengadakan yang tidak ada untuk mempersulit seorang calon kepala desa untuk dipilih secara demokratis.

Paling anehnya adalah ketika para bakal calon kepala desa telah dipilih secara subjektif oleh panitia yang ditunjuk oleh stakeholder setempat agar mendapatkan ticket dalam proses pemilihan kepala desa dimana ada banyak bakal calon kepala desa yang hanya dimenangkan hanya lewat "kode" dan "bisikan" yang ini sesungguhnya sangat menyalahi aturan berdemokrasi dan konstitusi. 

Bagaimana tidak? Para sarjana terpelajar, sehat secara jasmani dan rohani dikalahkan oleh orang yang hanya berpendidikan SMP, ada lagi kandidat yang tidak memenuhi syarat dengan catatan kesehatan fisik, bakkan ada yang tidak mengikuti test seperti ketentuan yang disampaikan panitia melalui kesbangpol tapi kenyataan diluar dugaan, justeru mereka yang tidak sesuai "standar" menurut kategori inilah yang telah lulus mengalahkan para calon yang dianggap lebih layak oleh mayoritas masyarakat setempat. Demikian ini tentu cukup naif, membuat masyarakat seperti beberapa desa di hampir tiap kecamatan di kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara yang bakal melakukan pilkades gusar dibuatnya.

Mestinya para pejabat daerah harus lebih arif untuk menyelesaikan persoalan bakal calon kepala desa apalagi menetapkan keputusan yang diharapkan tidak merugikan banyak pihak termasuk warga yang telah mencalonkan sepenuhnya seorang kandidat yang dianggap mampu mengurai persoalan desa. 

UU Desa  memang hanya mengatur secara singkat  tentang pemilihan Kepala Desa sehingga mekanisme pemilihannya diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana, yakni dalam Permendagri Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa yang sebahagian pejabat daerah telah menuangkan gagasan tersebut juga melalui putusan peraturan daerah.

Akhirnya marilah kita membangun bangsa dengan memperhatikan nilai tidak hanya mengedepankan ego karena bila tidak kedepan masa depan demokrasi Indonesia akan terancam, satu sama lain termasuk pemangku kebijakan dan legislator akan menjadi hilang wibawanya ditengah 262 jutaan masyarakat Indonesia, saat itu Indonesia hanya dalam sejarah saja.  

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun