Namun dari pada itu amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya kepada setiap desa sebagai bentuk pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan jumlah anggaran sebesar Rp 20,76 triliun.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Dana Desa Tahun Anggaran 2018 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 ditetapkan sebesar Rp60.000.000.000.000,00 (enam puluh triliun rupiah). Maka terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.07/2017 Tentang Perubahan Rincian Dana Desa Menurut Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2018.
Setiap tahun Pemerintah Pusat telah menganggarkan Dana Desa yang cukup besar untuk diberikan kepada Desa. Pada tahun 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta. Pada tahun 2016, Dana Desa meningkat menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp628 juta dan di tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 Triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 800 juta.
Angka tersebut cukup pantastis tentunya mengingat ketimpangan antara pusat dan daerah yang begitu menganga selama ini apalagi kondisi keuangan daerah yang kerap tidak sampai menyentuh desa tetapi lebih kepada belanja pegawai dan hal formalistik lainnya. Anggaran yang langsung dikelola oleh desa itu tentunya diharapkan dapat memperbaiki kehidupan masyarakat baik dari infrastruktur untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan  pemberdayaan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Sejak saat itu hingar bingar politik desa dan tumbuhnya demokrasi di pedesaan semakin tumbuh, tentu kita berharap bukan untuk menjadi raja kecil di daerah tetapi lebih fokus kepada pembangunan nasional yang merata dan berkeadilan. Joko Widodo sendiri, Presiden RI telah mengingatkan "Kita memiliki 74 ribu desa di Negara ini . Sampai tahun 2017, ada 900 yang mempunyai masalah, jadi hati-hati. Kepala desanya ditangkap karena menyelewengkan dana desa, lanjut Jokowi".
Intervensi Kepala Daerah
Dilihat dari persoalan kepala desa, mulai dari perselisihan pemilihan kepala desa hingga euforia yang bersifat demokratis ini maka penulis melihat dari tiga aspek yang setidaknya dianggap relevan untuk diketengahkan.
Pertama adalah keinginan yang kuat dari kandidiat ataupun kepala desa dalam hal pengelolaan dana desa, kedua hidupnya dinamika politik sebagai jalan untuk memuluskan karir agar tetap terpilih menjadi kepala daerah berupa bupati/wali kota sementara yang ketiga adalah keinginan dan dorongan yang kuat dari masyarakat untuk mencalonkan seseorang sebagai tokoh yang dipandang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan desa.
Penulis tidak ingin melebar terhadap persoalan dana desa yang menjadi incaran penegak hukum saat ini dimana ada 900 orang yang bermasalah seperti kata Jokowi, tetapi penulis melihat tentang bagaimana seorang kepala daerah berusaha mencoba menghambat mulusnya karir seseorang dalam tatanan kepemimpinan desa.
Acap kali Kita mendengar bahwa kepala desa diberhentikan secara sepihak oleh kepala daerah dengan diterbitkannya surat keputusan dari seorang bupati, hal lain yang penulis dengar adalah dipersulitnya persoalan birokrasi untuk memperkecil gerak kepala desa termasuk soal gaji dan dana desa, semata-mata karena persoalan yang tidak clear dari Pemerintah daerah. Hal ini hemat penulis tentu ada kaitannya dengan hasrat politis untuk menempatkan orang-orang tertentu yang berafiliasi politik dengan pejabat setempat demi untuk memuluskan langkah-langkah politiknya.
Padahal sebenarnya sudah jelas bahwa Pemilihan kepala desa dinyatakan sah jika kita mengacu pada Pasal 37 ayat (6) UU Desa yang berbunyi: