Pada Jumat kemarin dalam pidatonya di Semarang, capres Prabowo Subianto menyatakan bahwa jika Indonesia makmur maka tidak ada radikalisme. Dalam pidato tersebut, dia sebutkan ketimpangan sosial Amerika Serikat (AS) dan Perancis yang cukup baik dibandingkan Indonesia. Terlepas dari benar tidaknya kedua pernyataan itu, penulis bermaksud terlebih dahulu membuat beberapa klarifikasi.Â
Pertama, sepertinya yang dimaksud Prabowo dengan kemakmuran dan ketimpangan sosial adalah kesenjangan ekonomi. Jika itu benar, mari kita bergembira! Hal ini menunjukkan bahwa kedua capres kita untuk pemilu bulan April besok memperjuangkan hal yang sama.Â
Perlu diketahui, capres Joko Widodo yang saat ini merupakan petahana sudah melakukan usaha menurunkan kesenjangan ekonomi dibanding kemakmuran belaka. Usahanya ini dikritik oleh editor Forbes (majalah ekonomi dan bisnis dari AS), bahwa Jokowi melakukan "error". Tulisan editor Forbes ini sempat dijadikan bahan mengkritik Jokowi oleh kubu oposisi yang berbasis agama.
Kepada kedua kubu pendukung capres, penulis bermaksud mengajak lebih lanjut membahas kenapa lebih baik memperkecil kesenjangan ekonomi (inequality) daripada memperbesar kekayaan (wealth) belaka, berlawanan dengan usul Forbes. Kasarnya, lebih baik kita punya uang sedikit tapi dibagi rata daripada uang banyak tapi cuma dimiliki oleh orang-orang terkaya.
Forbes yang berpikir kapitalis ala AS memang merepresentasikan apa yang selama ini sudah terjadi di AS. Kesenjangan ekonomi AS lebih tinggi daripada Indonesia! Dalam pidatonya, Prabowo meminta hadirin untuk memverifikasi datanya. Baik, kita bantu verifikasi. Angka 32 yang disebut oleh Prabowo adalah salah. Sepertinya itu angka tahun 1970-an, sedangkan sekarang angka indeks kesenjangan ekonomi (GINI Index) untuk AS sudah mencapai 41,5.
Walaupun demikian, Indonesia sebetulnya pernah jauh lebih baik dari sekarang. Jika tabel di atas menunjukkan bahwa GINI Index AS dalam 20 tahun terakhir berputar di sekitar angka 40, maka tabel di bawah menunjukkan GINI Index Indonesia yang lebih banyak di bawah angka 40. Beberapa tahun terakhir ini sudah menurun, karena kenaikan drastis justru terjadi di tahun 2001-2011.
Selain itu, masih banyak negara di dunia ini yang jelas lebih pantas dijadikan kiblat penurunan kesenjangan ekonomi dibandingkan AS. Richard Wilkinson, seorang peneliti dari Inggris, telah berpuluh tahun meneliti efek kesenjangan ekonomi pada masyarakat. Dalam presentasi TED-nya tahun 2011, dia beberkan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi berbanding lurus dengan masalah-masalah masyarakat.Â
Masalah-masalah ini meliputi berbagai bidang mulai dari kesehatan, tingkat melek huruf, sampai kriminalitas. Di negara yang kesenjangannya ekonominya tinggi seperti AS, tingkat kepenuhan penjara cukup tinggi. Di negara yang kesenjangan ekonominya relatif rendah seperti Belanda, beberapa penjara bahkan ditutup karena kosong.
Menurut Harja Saputra anggota pansus RUU Terorisme, faktor kemiskinan dan kebodohan merupakan salah satu penyebab terorisme, tapi itu hanya faktor eksternal. Pada kenyataannya banyak orang kaya dan pintar terlibat dalam aksi kekerasan berbasis radikalisme agama. Faktor yang perlu kita waspadai adalah yang internal, yaitu ideologi agama dan kesehatan mental.Â
Untuk faktor ideologi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bekerja sama dengan pesantren-pesantren. Untuk faktor kesehatan mental, mungkin kita bisa melirik kembali pada AS. Sebuah program bernama Becoming A Man telah berhasil mengurangi jumlah remaja yang melakukan tindak kekerasan. Program ini mengajak remaja-remaja pria untuk belajar mengolah emosi. Pada kenyataannya, tindak kriminalitas sering terjadi hanya karena ketidakstabilan emosi sehingga bereaksi berlebihan terhadap provokasi.
Terlepas dari hubungan antara kesenjangan ekonomi dengan radikalisme, mari fokus pada penurunan kesenjangan ekonomi itu sendiri. Apalagi nanti malam kita akan menonton debat capres edisi ekonomi! Mari berkiblat pada negara-negara yang lebih patut dijadikan kiblat, tapi jangan juga kita berkiblat buta dengan melupakan kepribadian bangsa.Â
Wilkinson menyebutkan bahwa penemuan dia tidak terbatas oleh budaya. Tanda panah dalam grafik di atas dia maksudkan untuk negara Jepang dan Swedia, yang begitu berbeda secara budaya, namun sama-sama menikmati efek sosial dari kesenjangan ekonomi yang rendah. Jepang menggunakan peraturan ketenagakerjaan dengan UMR tinggi dan batas gaji maksimal, sedangkan Swedia menggunakan peraturan pajak progresif yang sangat besar bagi yang bergaji tinggi.
Masih banyak yang bisa kita bahas seputar kesenjangan ekonomi, perolehan kekayaan, industrialisasi, dan hubungannya dengan budaya kita. Kita sambung di tulisan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H