Mohon tunggu...
si qoqon
si qoqon Mohon Tunggu... -

pengembara yang tak bisa berhenti belajar. pernah tinggal di jabodetabek dan dipanggil si qoqon. masa itu banyak mengenal berbagai manusia dari seluruh indonesia. masa kini sesekali bercuit di @siqoqon :)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kesenjangan Ekonomi, ke Mana Kita Mesti Berikiblat?

17 Februari 2019   06:41 Diperbarui: 17 Februari 2019   15:02 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Maulana Mahardika | Dok. Kompas

Pada Jumat kemarin dalam pidatonya di Semarang, capres Prabowo Subianto menyatakan bahwa jika Indonesia makmur maka tidak ada radikalisme. Dalam pidato tersebut, dia sebutkan ketimpangan sosial Amerika Serikat (AS) dan Perancis yang cukup baik dibandingkan Indonesia. Terlepas dari benar tidaknya kedua pernyataan itu, penulis bermaksud terlebih dahulu membuat beberapa klarifikasi. 

Pertama, sepertinya yang dimaksud Prabowo dengan kemakmuran dan ketimpangan sosial adalah kesenjangan ekonomi. Jika itu benar, mari kita bergembira! Hal ini menunjukkan bahwa kedua capres kita untuk pemilu bulan April besok memperjuangkan hal yang sama. 

Perlu diketahui, capres Joko Widodo yang saat ini merupakan petahana sudah melakukan usaha menurunkan kesenjangan ekonomi dibanding kemakmuran belaka. Usahanya ini dikritik oleh editor Forbes (majalah ekonomi dan bisnis dari AS), bahwa Jokowi melakukan "error". Tulisan editor Forbes ini sempat dijadikan bahan mengkritik Jokowi oleh kubu oposisi yang berbasis agama.

Kepada kedua kubu pendukung capres, penulis bermaksud mengajak lebih lanjut membahas kenapa lebih baik memperkecil kesenjangan ekonomi (inequality) daripada memperbesar kekayaan (wealth) belaka, berlawanan dengan usul Forbes. Kasarnya, lebih baik kita punya uang sedikit tapi dibagi rata daripada uang banyak tapi cuma dimiliki oleh orang-orang terkaya.

Forbes yang berpikir kapitalis ala AS memang merepresentasikan apa yang selama ini sudah terjadi di AS. Kesenjangan ekonomi AS lebih tinggi daripada Indonesia! Dalam pidatonya, Prabowo meminta hadirin untuk memverifikasi datanya. Baik, kita bantu verifikasi. Angka 32 yang disebut oleh Prabowo adalah salah. Sepertinya itu angka tahun 1970-an, sedangkan sekarang angka indeks kesenjangan ekonomi (GINI Index) untuk AS sudah mencapai 41,5.

Sumber: FRED Economic Research | fred.stlouisfed.org
Sumber: FRED Economic Research | fred.stlouisfed.org
Data Perancis yang disebutkan oleh Prabowo juga salah. Mungkin yang dimaksud bukan GINI index? Karena kalau menurut Bank Dunia, GINI Index Perancis berkisar di angka 32 bukan 20. Untuk konfirmasinya, sila lihat kompilasi data berbagai negara yang dibuat oleh para penulis Wikipedia. Di situ disebutkan bahwa GINI Index Indonesia tahun 2013 mencapai 39,5. Hampir sama dengan AS!

Walaupun demikian, Indonesia sebetulnya pernah jauh lebih baik dari sekarang. Jika tabel di atas menunjukkan bahwa GINI Index AS dalam 20 tahun terakhir berputar di sekitar angka 40, maka tabel di bawah menunjukkan GINI Index Indonesia yang lebih banyak di bawah angka 40. Beberapa tahun terakhir ini sudah menurun, karena kenaikan drastis justru terjadi di tahun 2001-2011.

Sumber: theconversation.com
Sumber: theconversation.com
Menurut The Conversation yang mengkompilasi data di atas, banyak negara di dunia ini mengalami kenaikan kesenjangan ekonomi jika dibandingkan dekade 1990-an. Indonesia juga tidak buruk-buruk amat dibandingkan negara-negara tetangga, kecuali Australia. 

Selain itu, masih banyak negara di dunia ini yang jelas lebih pantas dijadikan kiblat penurunan kesenjangan ekonomi dibandingkan AS. Richard Wilkinson, seorang peneliti dari Inggris, telah berpuluh tahun meneliti efek kesenjangan ekonomi pada masyarakat. Dalam presentasi TED-nya tahun 2011, dia beberkan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi berbanding lurus dengan masalah-masalah masyarakat. 

Masalah-masalah ini meliputi berbagai bidang mulai dari kesehatan, tingkat melek huruf, sampai kriminalitas. Di negara yang kesenjangannya ekonominya tinggi seperti AS, tingkat kepenuhan penjara cukup tinggi. Di negara yang kesenjangan ekonominya relatif rendah seperti Belanda, beberapa penjara bahkan ditutup karena kosong.

Sumber: Presentasi TED Richard Wilkinson tahun 2011
Sumber: Presentasi TED Richard Wilkinson tahun 2011
Dari sini kita bisa tarik hubungan antara hasil penelitian Wilkinson dengan pernyataan Prabowo bahwa penurunan kesenjangan ekonomi bisa menurunkan radikalisme. Radikalisme terjadi karena ketidakpuasan akan hidup yang bisa berujung pada tindak kekerasan.

Menurut Harja Saputra anggota pansus RUU Terorisme, faktor kemiskinan dan kebodohan merupakan salah satu penyebab terorisme, tapi itu hanya faktor eksternal. Pada kenyataannya banyak orang kaya dan pintar terlibat dalam aksi kekerasan berbasis radikalisme agama. Faktor yang perlu kita waspadai adalah yang internal, yaitu ideologi agama dan kesehatan mental. 

Untuk faktor ideologi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bekerja sama dengan pesantren-pesantren. Untuk faktor kesehatan mental, mungkin kita bisa melirik kembali pada AS. Sebuah program bernama Becoming A Man telah berhasil mengurangi jumlah remaja yang melakukan tindak kekerasan. Program ini mengajak remaja-remaja pria untuk belajar mengolah emosi. Pada kenyataannya, tindak kriminalitas sering terjadi hanya karena ketidakstabilan emosi sehingga bereaksi berlebihan terhadap provokasi.

Terlepas dari hubungan antara kesenjangan ekonomi dengan radikalisme, mari fokus pada penurunan kesenjangan ekonomi itu sendiri. Apalagi nanti malam kita akan menonton debat capres edisi ekonomi! Mari berkiblat pada negara-negara yang lebih patut dijadikan kiblat, tapi jangan juga kita berkiblat buta dengan melupakan kepribadian bangsa. 

Wilkinson menyebutkan bahwa penemuan dia tidak terbatas oleh budaya. Tanda panah dalam grafik di atas dia maksudkan untuk negara Jepang dan Swedia, yang begitu berbeda secara budaya, namun sama-sama menikmati efek sosial dari kesenjangan ekonomi yang rendah. Jepang menggunakan peraturan ketenagakerjaan dengan UMR tinggi dan batas gaji maksimal, sedangkan Swedia menggunakan peraturan pajak progresif yang sangat besar bagi yang bergaji tinggi.

Masih banyak yang bisa kita bahas seputar kesenjangan ekonomi, perolehan kekayaan, industrialisasi, dan hubungannya dengan budaya kita. Kita sambung di tulisan lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun