Mohon tunggu...
Athifatul Khusniyyati Qonitah
Athifatul Khusniyyati Qonitah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mengulik Keseharian Canda dan Rindu dalam Kaleng Merah Khong Guan Joko Pinurbo

31 Desember 2023   17:16 Diperbarui: 7 Januari 2024   00:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyair Joko Pinurbo. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Ketika mendengar 'kaleng merah', hal apa yang pertama kali terlintas dalam benak anda? Hal apa yang citranya akan langsung muncul dalam pemikiran anda? 

Ya, tentunya ialah kaleng merah yang selalu mendiami meja-meja ruang tamu ketika musim lebaran tiba, tak lain dan tak bukan, adalah kaleng Khong Guan yang penuh akan jajanan kue kering dan wafer yang tersembunyi di kedalaman jenis-jenis kue kering lainnya. 

Begitu cerdiknya Jokpin dalam menempatkan imaji sebuah hal yang familiar dalam suasana tertentu yang hendak ia hadirkan dalam sajak-sajaknya.

Joko Pinurbo dengan gaya khasnya mengulik hal-hal yang sekilas nampak sederhana, biasa, menjadi puisi yang humor, yang tanpa kata-kata yang cukup, kita akan langsung setuju. 

Kumpulan puisi ini tampaknya dibuat dalam kurun waktu yang cukup berdekatan, yaitu sejak 2017-2019. 

Ada empat pembagian bab dalam buku antologi puisi ini, Jokpin memberi istilah kaleng kesatu sampai kaleng keempat dimana masing-masing bagiannya punya cerita unik. 

Misalnya, pada kaleng pertama, mengisahkan keseharian seseorang, permasalahan yang tampaknya begitu dekat dengan keseharian kita setiap hari. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada kutipan puisi berikut;

Menunggu Kamar Kosong di Rumah Sakit

Menunggu
itu
sakit.
Sakit itu rumit.

(2018)

Singkat, amat singkat. Tapi disinilah pembaca dapat melihat kecerdasan Jokpin. Kisahnya pada peristiwa seperti dompet, rumah sakit, ponsel, wawancara kerja sebetulnya kisah yang tragis, miris, seperti dalam puisi "Menunggu Kamar Kosong di Rumah Sakit".

Ini berkisah tentang untuk mendapat kamar dan perawatan rumah sakit saja membutuhkan alur dan persyaratan yang rumit,  tapi ia mampu melampaui kesedihan, ketidakberuntungan, kesialan, menjadi kisah berbentuk saja yang jujur apa adanya, hingga menertawakannya. 

Canda, dalam kata lain, humor, berasal dari bahasa Yunani pada ilmu kedokteran yang bermakna cairan. Dulu dipercaya bahwa kepribadian manusia bergatung pada cairan (humor) yang dominan dimilikinya. 

Ada 4 humor dalam tubuh manusia: kuning, hitam, merah, dan putih. Jika seseorang memiliki humor kuning lebih banyak dia akan cenderung bersifat koleris, hitam melankolik, merah sanguinis, dan putih flegmatis. Cairan tersebut ternyata hanya mitos dan menjadi sebuah lelucon (humor) (Pradopo, 2018).

Sebenarnya puisi tentang Khong Guan ini adalah tragedi, bagaimana orang-orang memperlakukan kaleng Khong Guan pada umumnya di masyarakat. 

Namun ketika disampaikan ke publik, pembaca merasa bahwa ini adalah semacam candaan, komedi. Membuat kita tersenyum simpul melihat tragedi yang terjadi yang disampaikan Joko Pinurbo. 

Hal ini sejalan dengan humor dalam pandangan shakespeare yaitu, "Yang pertama terjadi adalah tragedi, yang kedua adalah komedi."

Di sisi lain, gambar anggota keluarga yang ada di depan kaleng Khong Guan jadi ikon tertentu. Gambarnya adalah keluarga yang tengah menikmati jamuan biskuit-biskuit yang ada dalam kaleng  khong guan. 

Ada ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Lalu kemudian muncullah meme-meme yang lucu. Seolah-olah mereka tengah bercengkerama. 

Ada pula yang jeli melihat kekosongan pihak ayah. Kemudian seakan-akan mereka-reka di mana ayah mereka. Inilah yang kemudian diangkat sebagai humor parodi. 

Warganet mencoba memarodikan jika mereka berbicara dalam gambar-gambar meme yang beredar. Sepertinya, Jokpin tertarik untuk ikut memparodikan apa yang terjadi sesuai dengan pemikirannya.

Ada sebuah pandangan lazim dalam pembacaan sastra yang membedakan karya sastra dengan yang bukan sastra dari segi pemakaian bahasanya. 

Dengan kata lain, ada anggapan yang cukup banyak diikuti bahwa bahasa sastra berbeda dari bahasa bukan sastra. Anggapan ini agak tertantang ketika kita membaca beberapa puisi Jokpin dalam kumpulan ini. 

Kesan umum adalah puisi-puisi ini "ringan", menggunakan bahasa sehari-hari, dan karena itu berbeda dari karya sastra lazimnya. 

Patut kita selidiki, dari mana kesan "ringan" tersebut timbul. Sebab pertama adalah dari kesengajaan Jokpin menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita. 

Jokpin tidak mengharamkan kata-kata semacam "ngacung", "viral", "sampah digital", dan masih banyak lagi. Kehadiran berbagai kata yang tidak terasa asing dalam hidup sehari-hari ini mengurangi unsur defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah puisi.

Kadang-kadang istilah-istilah itu terasa berlebihan. Contohnya dapat dilihat pada istilah "mabuk puisi" dan "mata buku" tersebut. Kesan yang berlebihan ini malah mengurangi kesan sastra dari puisi ini. 

Seperti kita dipaksa untuk merasa curiga bahwa Jokpin tidak sedang menciptakan kesejukan tetapi lebih seperti sedang bermain-main dengan norma sastra. 

Selain itu, ada kecenderungan lain dalam pemilihan istilah-istilah dalam kumpulan puisi ini: Jokpin tampak tidak keberatan menggunakan kosakata dan istilah-istilah puitis yang sudah menjadi klise dalam puisi Indonesia. 

Contohnya, kata-kata "sembilu", "sudut kenangan", "nyeri", "sunyi", "ngilu". Dengan ini, kecenderungan ini juga ikut menciptakan kesan bermain-main dan santai dalam puisi-puisi Jokpin ini.

Ada satu lagi unsur yang menyumbang pada kesan "ringan" dan "main-main" puisi-puisi ini, yakni susunan kalimat. Jokpin seperti mengabaikan kelaziman berpuisi dengan menyusun kalimat dalam berbagai aturan yang ketat. Misalnya saja, salah satu puisi dari kaleng satu ini, yang malah seperti daftar kegiatah sehari-hari, alih-alih sajak puisi. Untuk jelasnya, mari kita lihat beberapa kutipan berikut:

Kesibukan di Pagi Hari

1. mengucap syukur kepada tidur
yang telah melagukan dengkur
dengan empat suara
2. mencium cermin
yang tak pernah malu
memamerkan wajah yang wagu
3. membuang dosa di kamar mandi
4. membantu hujan
menyirami tanam-tanaman
5. menemani kucing
memamah habis cuilan mimpiku
6. menghangatkan optimisme
yang hampir basi
7. menghirup kopi dan kamu
8. membantu negara: jres, dut
9. belajar menjadi tua dan tetap gila

(2018)

Jika kita telusuri, kemungkinan kesan ini timbul karena Jokpin memang meminjam struktur kalimat dalam percakapan sehari-hari untuk puisi-puisi tersebut. 

Jika saja susunan tertulis kalimat-kalimat di atas diurutkan secara menyamping seperti prosa, dan tidak dipatahkan demi membentuk baris-baris yang menjadi kelaziman puisi, maka kalimat-kalimat itu akan terbaca lancar sebagai sesuatu yang prosaik sekaligus terasa akrab kita jumpai dalam percakapan sehari-hari.

Seperti halnya gaya khas dalam puisi yang ditulis oleh Jokpin, penggambaran karakter di dalam buku ini juga sangat mendalam. Di dalam kaleng ketiga, terdapat gambar Minnah yang menggambarkannya sebagai seseorang yang sangat mencintai buku. 

Tidak seperti pada puisi Buku Hantu di kaleng pertama, yang mengkritik pemerintah yang masih terpengaruh propaganda Orde Baru dan saat ini gencar menyita buku-buku yang terkait dengan komunisme. 

Minnah muncul sebagai orang yang sangat mencintai buku dan akan menghabiskan sisa hidupnya dengan buku. Mungkin ada beberapa orang yang juga menyukai buku seperti saya, kita dapat melihat diri kita sendiri dalam karakter Minnah. Misalnya dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut;

Tangis Minnah

Guru Minnah heran melihat
ada yang janggal di wajah Minnah.

"Mengapa matamu sembab, Minnah?"
"Tadi ada yang numpang nangis
di mata saya, Guru.
"Siapa, Minnah?"
"Tokoh cerita yang saya baca, Guru."

Guru Minnah yang sabar dan lugu
hanya bisa diam termangu.

(2019)

Dari puisi diatas kita dapat melihat betapa Minnah adalah seorang gadis yang amat lugu. Saking besar rasa cinta dan ketertarikannya terhadap buku, ia terbawa arus emosi yang ia rasakan dari tokoh dalam buku yang sedang ia baca. 

Sekali lagi Jokpin merangkul keseharian kita di masa kini yang tentunya beberapa orang pasti merasa relevan, atau malah mungkin ada yang tersenyum sendiri, sangat mengerti dengan apa yang Minnah lakukan dalam puisi di atas. 

Pada awalnya penulis tidak mengerti mengapa kumpulan puisi Jokpin ini beliau beri judul  dengan "Perjamuan Khong Guan', namun, lantas, penulis menarik kesimpulan dari pembacaan kumpulan puisi ini secara keseluruhan. 

Perjamuan ini bukanlah hanya tentang sekaleng penuh kue kering yang ditunggu-tunggu ketika hari raya, yang kehadiran wafernya selalu dinanti, perjamuan sekaleng penuh puisi ini ingin membawa para pembacanya untuk menertawakan hidup yang penuh akan berbagai jenis masalah, seperti halnya kaleng Khong Guan dengan berbagai kue keringnya. 

Bukan hanya sekadar bergurau, dengan kebahasaan puisi-puisi dalam perjamuan ini yang dekat dengan tutur kata sehari-hari, pembaca juga sesekali akan menemukan rasa nostalgia dan rindu ketika membaca sajak yang menyentuh memori mereka dalam antologi puisi ini, seperti menemukan wafer dalam sekaleng kue kering Khong Guan.

Dalam pembacaan puisi dalam 'Perjamuan Khong Guan' ini, akan lebih baik jika pembaca menanamkan mindset untuk tidak perlu berpikir muluk-muluk, serta nikmati saja sajian puisi Jokpin dalam antologi puisi ini. 

Puisi-puisi Joko Pinurbo membutuhkan pikiran lapang dapat dipahami, bisa saja jika pembaca hanya ingin membaca secara sekilas, namun jika kondisi pikiran sedang ruwet, pesan-pesan dalam antologi 'Perjamuan Khong Guan' tidak akan tersampaikan secara keseluruhan, oleh karena itu dibutuhkan kondisi perasaan dan pikiran yang lapang. 

Pengalaman pembacaan tersebut juga menjadi hal yang penting bagi pembaca untuk memudahkan dalam melakukan pembacaan puisi-puisi dalam Perjamuan Khong Guan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun