Mohon tunggu...
Athifatul Khusniyyati Qonitah
Athifatul Khusniyyati Qonitah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mengulik Keseharian Canda dan Rindu dalam Kaleng Merah Khong Guan Joko Pinurbo

31 Desember 2023   17:16 Diperbarui: 7 Januari 2024   00:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyair Joko Pinurbo. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Patut kita selidiki, dari mana kesan "ringan" tersebut timbul. Sebab pertama adalah dari kesengajaan Jokpin menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita. 

Jokpin tidak mengharamkan kata-kata semacam "ngacung", "viral", "sampah digital", dan masih banyak lagi. Kehadiran berbagai kata yang tidak terasa asing dalam hidup sehari-hari ini mengurangi unsur defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah puisi.

Kadang-kadang istilah-istilah itu terasa berlebihan. Contohnya dapat dilihat pada istilah "mabuk puisi" dan "mata buku" tersebut. Kesan yang berlebihan ini malah mengurangi kesan sastra dari puisi ini. 

Seperti kita dipaksa untuk merasa curiga bahwa Jokpin tidak sedang menciptakan kesejukan tetapi lebih seperti sedang bermain-main dengan norma sastra. 

Selain itu, ada kecenderungan lain dalam pemilihan istilah-istilah dalam kumpulan puisi ini: Jokpin tampak tidak keberatan menggunakan kosakata dan istilah-istilah puitis yang sudah menjadi klise dalam puisi Indonesia. 

Contohnya, kata-kata "sembilu", "sudut kenangan", "nyeri", "sunyi", "ngilu". Dengan ini, kecenderungan ini juga ikut menciptakan kesan bermain-main dan santai dalam puisi-puisi Jokpin ini.

Ada satu lagi unsur yang menyumbang pada kesan "ringan" dan "main-main" puisi-puisi ini, yakni susunan kalimat. Jokpin seperti mengabaikan kelaziman berpuisi dengan menyusun kalimat dalam berbagai aturan yang ketat. Misalnya saja, salah satu puisi dari kaleng satu ini, yang malah seperti daftar kegiatah sehari-hari, alih-alih sajak puisi. Untuk jelasnya, mari kita lihat beberapa kutipan berikut:

Kesibukan di Pagi Hari

1. mengucap syukur kepada tidur
yang telah melagukan dengkur
dengan empat suara
2. mencium cermin
yang tak pernah malu
memamerkan wajah yang wagu
3. membuang dosa di kamar mandi
4. membantu hujan
menyirami tanam-tanaman
5. menemani kucing
memamah habis cuilan mimpiku
6. menghangatkan optimisme
yang hampir basi
7. menghirup kopi dan kamu
8. membantu negara: jres, dut
9. belajar menjadi tua dan tetap gila

(2018)

Jika kita telusuri, kemungkinan kesan ini timbul karena Jokpin memang meminjam struktur kalimat dalam percakapan sehari-hari untuk puisi-puisi tersebut. 

Jika saja susunan tertulis kalimat-kalimat di atas diurutkan secara menyamping seperti prosa, dan tidak dipatahkan demi membentuk baris-baris yang menjadi kelaziman puisi, maka kalimat-kalimat itu akan terbaca lancar sebagai sesuatu yang prosaik sekaligus terasa akrab kita jumpai dalam percakapan sehari-hari.

Seperti halnya gaya khas dalam puisi yang ditulis oleh Jokpin, penggambaran karakter di dalam buku ini juga sangat mendalam. Di dalam kaleng ketiga, terdapat gambar Minnah yang menggambarkannya sebagai seseorang yang sangat mencintai buku. 

Tidak seperti pada puisi Buku Hantu di kaleng pertama, yang mengkritik pemerintah yang masih terpengaruh propaganda Orde Baru dan saat ini gencar menyita buku-buku yang terkait dengan komunisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun