Mohon tunggu...
Qoniatul Izza
Qoniatul Izza Mohon Tunggu... Lainnya - Mari menulis.

Sedang belajar dan akan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kembali

26 Maret 2021   12:01 Diperbarui: 26 Maret 2021   14:04 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lorong-lorong kelas sudah terlihat sepi. Lagi-lagi Kinan turun lebih dahulu meninggalkanku dengan sengaja. Sepertinya ibu pengawas ruang belum ada niatan unuk mengakhiri perakapan kami sedangkan Kinan dan yang lain memilih meninggalkan kelas lebih dulu. 

Sepuluh menit berlalu, aku beranjak kembali ke bangku, membereskan buku-buku yang kupinjam dari perpus fakultas dan memasukkannya sebagian ke dalam tas, sebagiannya lagi ku tenteng dengan tangan kiri sementara tangan kananku sibuk menghubungi seseorang.

"Apa? Kamu dimana, Nan? Aku sendirian ini!" Semprotku begitu Kinan mengangkat teleponku. Yang ku cerocosi hanya tertawa terbahak-bahak dengan suara bising di sekitarnya.

"Aku di kantin bawah, Han. Kamu nyusul saja ya. Sudah ku pesankan jamur krispi kesukaanmu. Jangan lama-lama. Byeee."

Tut.

Sambungan telepon diputuskan sepihak olehnya. Aku mendengus kesal. Kantin bawah letaknya cukup jauh dari gedung ini sedangkan aku juga perlu mengunci kelas dan mengembalikannya pada resepsionis fakultas. 

Memang ya, Kinan benar-benar mengerjaiku. Tahu saja ia kalau aku suka tidak percaya diri untuk berjalan sendirian menuju kantin bawah yang sialnya arah kantin bawah juga harus melewati perpustakaan universitas yang cukup ramai di jam-jam ini.

Tanpa berpikir panjang, segera ku sambar kunci yang terletak di meja ruang pengawas dan beranjak keluar.

Huft.

Panasnya kota ini memang juara. Berasal dari kampung halaman dengan suasana yang cukup sejuk membuat kota dengan cuaca terik hingga 36 ini memaksaku harus selalu berkutat dengan sunscreen demi menyelamatkan wajah dari rasa panas setengah terbakar ini.

Baru sampai pada pijakan pertama, terdengar derap langkah yang begitu terburu-buru dari belakangku.

"Hanin."

Deg. Suara itu. Suara yang sudah begitu lama tak ku dengar. Suara yang tiap malam begitu keras ku hilangkan dalam ingatan. Suara berat milik seseorang yang tiba-tiba hilang tanpa aba-aba itu terdengar dengan jelas di telingaku. Lagi.

Aku masih berusaha mengangan-angan apa yang akan terjadi lagi setelah sekian lama kabarnya tak ku dengar sampai sini.

"Hanin. Ini saya."

Egoku kalah. Badanku dengan ringannya berbelok arah ke belakang. Tapi bukan ini yang aku harapkan, batinku memberontak.

Lihat? Setelah sepersekian detik kita saling menatap, tak ada yang memulai pembicaraan. Ku dengar napasnya begitu berat. Dan, astaga! Kemeja itu? Kemeja coklat dengan motif semi modern itu benar-benar terlihat pas di tubuhnya. Kemeja coklat yang sengaja ku berikan sebagai kado di hari wisudanya.

"Hanin. Bisa kita bicara?"

Aku tersadar dari lamunanku. Ku gelengkan kepalaku pelan.

"Maaf, Mas. Saya harus mengembalikan kunci ke kantor fakultas. Saya buru-buru. Permisi"

Aku segera mempercepat langkahku dan meninggalkannya sendirian. Moodku mendadak begitu buruk. Emosionalku meningkat begitu saja. Pada akhirnya ku akui bahwa ia masih menjadi satu-satunya pemilik. Bodoh.

***

"Mau mengembalikan kunci, Bu." Ujarku sembari menyerahkan satu pouch berisi kunci dan gembok ruangan. Ku ambil buku peminjaman dan ku bubuhkan tanda tanganku di sana sebagai tanda pengembalian.

"Selamat datang, Pak Aksa. Maaf baru sempat menyapa. Bagaimana hari pertama mengajar?"

"Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, Pak Tama. Mohon bimbingannya ya, Pak."

"Oh ya. Kok jadi ambil di sini, Pak Aksa? Ada apa gerangan sehingga seorang Aksa yang katanya sangat ingin tinggal di kota kelahirannya malah memutuskan untuk kembali lagi ke sini?"

"Hanin."

Aksa berjalan tenang sambil sesekali menanggapi candaan Tama, sahabat karibnya sejak masih di bangku kuliah yang ternyata juga menjadi salah satu pengajar di kampusnya. Sedang Hanin berdiri mematung di balik meja resepsionis tanpa Aksa tahu. Pertahananku runtuh begitu saja. Setelah dua setengah tahun lamanya, Aksa kembali menjadi pemenangnya.

- Menuliskan mimpi semalam adalah aku. Hihihi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun