Politik Non-Hijau Greenpeace Indonesia melakukan pembacaan awal komitmen partai politik peserta pemilu yang kami ikuti melalui media internal partai politik yang terbuka untuk umum. Menurut penelitian kami, partai-partai dengan suara terbanyak di Parlemen saat ini memiliki komitmen lingkungan dalam dokumen organisasinya. Sebaliknya, dalam praktik politik, dokumen organisasi tidak menjadi acuan bingkai mereka, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Kewajiban ini akhirnya hanya menjadi "pemanis" dan pelengkap. Â
Pengamatan ini terkonfirmasi ketika kita melihat gerak partai politik mengembangkan kebijakan yang justru memperparah krisis iklim dan melanggengkan ketimpangan ekonomi, seperti UU Cipta Kerja, serta munculnya solusi palsu dalam pasal-pasal Energi Baru dan Terbarukan.
Bagi partai politik dan kandidat yang memperjuangkan isu lingkungan dan perubahan iklim pada Pemilu 2024, hal ini mungkin tidak akan mempengaruhi kelayakan atau bahkan kemenangan mereka. Oleh karena itu, mengangkat isu ini dianggap tidak penting dan menjadi ide atau agenda perjuangan ketika mereka berkuasa. Para kandidat selalu berdebat dan membandingkan isu lingkungan dengan isu ekonomi yang dianggap lebih penting. Efek dari krisis iklim telah memukul masyarakat dengan keras. Krisis air, krisis pangan bahkan kemiskinan semakin meresahkan masyarakat, dan bukan berarti akan menjadi masalah besar bagi pemilih.
Jika saja parpol dan calegnya membaca tren atau trend pemilu pemuda, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemuda atau pemilih muda sangat concern terhadap isu lingkungan dan krisis iklim. Sudah ada kesadaran politik di kalangan anak muda bahwa tidak mungkin pertumbuhan ekonomi dan masa depan anak muda menjadi lebih baik ketika mereka hidup di tengah ancaman krisis iklim yang merusak masa depan mereka. Â
Sayangnya, elit politik masih melihat anak muda hanya sebagai angka dan objek politik terkait pemilu. Mereka bersaing untuk mendapatkan suara pemilih muda dan tampaknya berkomitmen untuk masa depan kaum muda padahal yang terjadi justru sebaliknya. tokenisme!
Selain masalah memahami dan mengetahui partai politik dan kandidat yang mampu menghadapi masalah struktural lingkungan, belenggu oligarki yang semakin kuat yang memerintah Indonesia, merupakan faktor penting lain yang mempengaruhi pemilu hanya menjadikan demokrasi sebagai siklus kehidupan. mengubah. untuk elit yang kuat. menyusup ke sistem pemilu hari ini.
Pemilu sebenarnya adalah cara untuk mempertahankan kekuasaan oligarki. Dengan kekuatannya, institusi politik menjadi mesin yang mempercepat kerusakan lingkungan dan krisis iklim dengan berbagai produk politik. Biaya politik yang sangat tinggi menjadi salah satu penyebab terjadinya perbudakan politik, dimana sumber daya alam digadaikan untuk membiayai biaya politik yang sangat mahal, sehingga membahayakan masa depan kelestarian lingkungan.
Profesor Vedi Hadiz telah lama mengingatkan kita bahwa oligarki yang disuapi dan didukung oleh sistem politik otoriter membuktikan bahwa demokrasi memang bisa berkembang seiring. Oligarki beradaptasi dengan sistem politik yang demokratis. Pasca reformasi yang berujung pada demokratisasi, lembaga-lembaga demokrasi dijajah oleh kepentingan-kepentingan oligarkis. Mereka dengan cepat membangun kembali dan mengkonsolidasikan kekuatan mereka, dan kemudian para oligarki memerintah sistem demokrasi yang bertahan hingga hari ini, kecuali sistem ekonomi. Kemauan politik yang kuat diperlukan untuk mengembangkan kebijakan yang dapat mengatasi krisis lingkungan. Ini hanya bisa terjadi jika ada partai politik yang menerapkan kebijakan lingkungan. Â
Kelestarian lingkungan merupakan isu global yang tidak dapat disangkal pentingnya. Meningkatnya bencana alam, pemanasan global, krisis air minum, menipisnya sumber daya energi, dll merupakan masalah lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Mari kita ambil energi sebagai contoh. Data Stanford MAHB (kumpuran.com, 16 Juli 2021) menunjukkan cadangan minyak dunia hanya bertahan hingga 2052, cadangan gas dunia hingga 2060, dan cadangan batubara dunia hingga 2090. Artinya, kurang dari 70 tahun dunia akan mengalami krisis energi yang jelas akan berujung pada runtuhnya kehidupan manusia. Bayangkan sebuah skenario di mana kita hidup tanpa minyak sebagai bahan bakar transportasi, tanpa gas untuk memasak dan tanpa batu bara untuk pembangkit listrik. Tentu gambaran yang mengerikan!