Mohon tunggu...
Maria Qibtiyya
Maria Qibtiyya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

an undergraduate tourism student | everyday citizen

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Seputar Nol Sekian Kilometer: Memandang Lekat Konstelasi Seni dan Budaya Kota Istimewa

25 Juni 2023   08:00 Diperbarui: 25 Juni 2023   08:09 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasren dan Patung Loro Blonyo (dokumentasi pribadi)

 

 

Di antara garis imajiner Yogyakarta, ringkasnya di sela-sela Tugu Pal Putih – Keraton Yogyakarta, terdapat sebuah titik mula penanda geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyhur dikenal Titik Nol Kilometer. Lokasi yang berada di kawasan persimpangan Gondomanan ini kerap ramai oleh wisatawan yang datang mendamba Kota Budaya. Di sekitarnya, tersebar destinasi-destinasi wisata lain yang kental dengan nilai dan kultur Jogja. Museum Sonobudaya dan Taman Budaya Yogyakarta. Kedua legenda ini menjadi panggung utama dalam catatan perjalanan mahasiswa Pariwisata ini yang ternyata kuliahnya nggak sering jalan-jalan juga.

Medium Pengabadian

 

Pintu Masuk Museum Sonobudoyo (dipotret saat malam hari)
Pintu Masuk Museum Sonobudoyo (dipotret saat malam hari)

Kamis, 15 Juni 2023 kemarin, setelah hampir menempuh tiga tahun berlabel mahasiswa Jogja, akhirnya saya merencanakan perjalanan mengunjungi Museum Sonobudoyo yang berada di selatan Titik Nol Kilometer, di balik Bank BNI Trikora, berseberangan dengan Alun-Alun Utara. Setelah memarkir motor dengan mengikuti arahan pak satpam untuk lurus lalu ambil kanan, saya berjalan ke area depan membeli dua tiket. Satu untuk adik saya.

Pertama kali memasuki museum tertua di Yogyakarta, kami disambut oleh ruangan pendopo, lengkap dengan seperangkat gamelan yang menambah lekat nuansa Jawa. Petugas memberi instruksi terkait aturan mengunjungi Museum Sonobudoyo.

Pendopo Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)
Pendopo Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)

Selama kunjungan wisatawan tidak diperkenankan makan, minum, ataupun merokok di dalam ruang pameran. Wisatawan boleh mengabadikan gambar tetapi dilarang menghidupkan flash atau lampu kilat.  

Begitu melangkah ke dalam ruang pameran, wisatawan diperkenalkan dengan koleksi warisan budaya Yogyakarta seperti patung Loro Blonyo, pasren atau dipan yang kerap dijumpai di rumah-rumah tradisional Jawa, dan simbol kerajaan. Tidak hanya itu, selama menyusuri bilik-bilik museum, kami mendatangi berbagai koleksi mulai dari ruangan pra sejarah, peninggalan Islam, batik, wayang kulit, wayang golek, hingga koleksi topeng.

Pasren dan Patung Loro Blonyo (dokumentasi pribadi)
Pasren dan Patung Loro Blonyo (dokumentasi pribadi)

Potret Ruang Pameran Batik Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)
Potret Ruang Pameran Batik Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)

Uniknya, selain menjadi media pengabadian benda-benda bersejarah dan destinasi wisata budaya, Museum Sonobudoyo juga dapat menjadi lokasi pemotretan seperti foto pre-wedding yang kebetulan bertepatan dengan kunjungan kami kemarin. 

 

Sesi Pemotretan di Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)
Sesi Pemotretan di Museum Sonobudoyo (dokumentasi pribadi)

Keluar dari pintu kaca otomatis, berpindahlah kami menuju Gedung Pamer Baru yang terletak di belakang gedung utama yang memiliki aturan lebih ketat. Rupanya, ini karena objek atau diorama yang ada, dipamerkan secara lebih terbuka. Tidak dilindungi di dalam lemari kaca.  

Di bagian gedung pameran baru, pengunjung dilarang melintasi marka hitam yang menjadi pembatas masing-masing koleksi. Petugas mengatakan bahwa alarm akan berbunyi jika batas garis hitam dilewati. Sebagaimana aturan dibuat untuk menjaga ketertiban, saya tidak cukup nakal untuk membuktikannya, hehe. 

Instalasi Pameran Topeng di Gedung Baru yang Dilengkapi Sensor (dokumentasi pribadi)
Instalasi Pameran Topeng di Gedung Baru yang Dilengkapi Sensor (dokumentasi pribadi)

Dari berbagai koleksi objek museum yang dipamerkan, bagian favorit saya adalah visualisasi pementasan wayang menggunakan video mapping yang berada di Gedung Pamer Baru. Ini menunjukkan bahwa meskipun museum menyimpan benda-benda sejarah yang berbau lawas, museum berusaha mengimplementasikan penggunaan teknologi digital untuk merangkul perkembangan zaman dan mempersembahkan sebuah pameran dan pertunjukkan yang lebih interaktif dan aktual.

 

Potret Pameran Video Mapping Pementasan Wayang (dokumentasi pribadi)
Potret Pameran Video Mapping Pementasan Wayang (dokumentasi pribadi)

Arena Pembaharuan

Mengantongi rasa puas setelah jalan-jalan melihat koleksinya Sonobudoyo, saya melanjutkan lakon menjadi turis lokal yang menggemari pameran dan galeri. Panggung kedua adalah Taman Budaya Yogyakarta. Lokasinya masih berada di sekitar Titik Nol Kilometer, kurang lebih 850 meter dari Museum Sonobudoyo.

Sebagai lembaga pelestarian, pembinaan, dan pengembangan seni dan budaya, salah satu fungsi Taman Budaya Yogyakarta adalah sebagai ruang, laboratorium, dan etalase perhelatan seni budaya, oleh komunitas ataupun masyarakat secara luas.  

Kali ini, pada 9 – 19 Juni 2023, pameran dengan tajuk “(Se)tempat” dipersembahkan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Saya mendatangi pameran ini pada hari ketujuh penampilannya. Para seniman memberi persembahan karya mereka sebagai ajang untuk menyuarakan dan mengisahkan isu lokalitas yang dikemas dalam sebuah pameran seni. Beruntung sekali, pada kunjungan saya terdapat agenda program publik “Artist Talk 3” bersama beberapa seniman dan kurator.

Potret Beberapa Karya Pameran (Se)tempat (dokumentasi pribadi)
Potret Beberapa Karya Pameran (Se)tempat (dokumentasi pribadi)

(Se)tempat memamerkan karya mulai dari permasalahan ekologi dan lingkungan yang dirangkai melalui instalasi kinetika, dokumentasi video jejak intervensi manusia dengan alam, ruang bagi perempuan, makna keluarga, dan masih banyak kekayaan ekspresi lainnya. 

Salah satu karya favorit yang membuat saya terpana akan maknanya adalah “Talawang Diri” oleh seniman Zakaria dan kurator Juwita Wardah. “Talawang” memiliki arti tameng dari Kalimantan Barat terkhusus Suku Dayak. Sedangkan kata “Diri” merupakan sebuah refleksi personal. Sang kurator, Juwita Wardah, menyuarakan makna yang terkandung dalam karya Zakaria ini pada sesi “Artist Talk”.

Artist Talk Seniman (kiri) dan Kurator (kanan) Talawang Diri (dokumentasi pribadi)
Artist Talk Seniman (kiri) dan Kurator (kanan) Talawang Diri (dokumentasi pribadi)

“Karya ini ngga hanya membicarakan tentang perang dan atribut tameng Suku Dayak, tetapi juga melebarkan lagi kepada fungsi bertahan diri. Sebenarnya kita bertahan dari apa dan apa yang sedang kita lawan. Penting untuk berpijak pada apa yang kita punya sebagai pegangan menghadapi hal-hal baru dari luar, selayaknya tameng.”

Sebagai pengunjung yang awam dengan seni dan segala ornamen indahnya, perbolehkan saya mempunyai interpretasi yang serupa. Dengan mengikhtisarkan berbagai “peperangan” yang dihadapi Suku Dayak, tameng hakikatnya diciptakan untuk merespon bahkan membentengi segala tantangan. Begitu pula diri kita sebagai manusia yang sama-sama sedang menjalani kehidupan. Bahwa setiap dari kita dilahirkan dengan “tameng”-nya untuk senantiasa dipelihara dan dirawat agar tidak mudah lucut dari genggaman, digunakan sebagaimana mestinya untuk melindungi dan bertahan diri.

Dari catatan perjalanan ini, saya menyaksikan konstelasi budaya dan seni di Kota Jogja, mulai dari museum yang mengabadikan objek dan kenangan masa lalu hingga pameran kontemporer yang mengekspresikan kisah dan isu terkini. Dari sini, peradaban seni dan budaya mampu bertahan dan maju beriringan, tidak melupakan yang tua dan memupuk subur suara muda-muda.

Setelah mengambil banyak makna dan cerita, perjalanan kali ini saya sudahi dengan obrolan singkat bersama kang parkir.

“Besok bulan Agustus tanggal 20 kesini lagi, Mbak. Ada acara lagi. Pasar Kangen namanya. Pasar kangen biasanya setiap tahun ada, tapi kalau saya ngga ada yang ngangenin, hehe.”

Saya ikut terkikih dan menimpali (dalam hati), “Sama, Pak.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun