Mohon tunggu...
Maria Qibtiyya
Maria Qibtiyya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

an undergraduate tourism student | everyday citizen

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Seputar Nol Sekian Kilometer: Memandang Lekat Konstelasi Seni dan Budaya Kota Istimewa

25 Juni 2023   08:00 Diperbarui: 25 Juni 2023   08:09 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasren dan Patung Loro Blonyo (dokumentasi pribadi)

Kali ini, pada 9 – 19 Juni 2023, pameran dengan tajuk “(Se)tempat” dipersembahkan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Saya mendatangi pameran ini pada hari ketujuh penampilannya. Para seniman memberi persembahan karya mereka sebagai ajang untuk menyuarakan dan mengisahkan isu lokalitas yang dikemas dalam sebuah pameran seni. Beruntung sekali, pada kunjungan saya terdapat agenda program publik “Artist Talk 3” bersama beberapa seniman dan kurator.

Potret Beberapa Karya Pameran (Se)tempat (dokumentasi pribadi)
Potret Beberapa Karya Pameran (Se)tempat (dokumentasi pribadi)

(Se)tempat memamerkan karya mulai dari permasalahan ekologi dan lingkungan yang dirangkai melalui instalasi kinetika, dokumentasi video jejak intervensi manusia dengan alam, ruang bagi perempuan, makna keluarga, dan masih banyak kekayaan ekspresi lainnya. 

Salah satu karya favorit yang membuat saya terpana akan maknanya adalah “Talawang Diri” oleh seniman Zakaria dan kurator Juwita Wardah. “Talawang” memiliki arti tameng dari Kalimantan Barat terkhusus Suku Dayak. Sedangkan kata “Diri” merupakan sebuah refleksi personal. Sang kurator, Juwita Wardah, menyuarakan makna yang terkandung dalam karya Zakaria ini pada sesi “Artist Talk”.

Artist Talk Seniman (kiri) dan Kurator (kanan) Talawang Diri (dokumentasi pribadi)
Artist Talk Seniman (kiri) dan Kurator (kanan) Talawang Diri (dokumentasi pribadi)

“Karya ini ngga hanya membicarakan tentang perang dan atribut tameng Suku Dayak, tetapi juga melebarkan lagi kepada fungsi bertahan diri. Sebenarnya kita bertahan dari apa dan apa yang sedang kita lawan. Penting untuk berpijak pada apa yang kita punya sebagai pegangan menghadapi hal-hal baru dari luar, selayaknya tameng.”

Sebagai pengunjung yang awam dengan seni dan segala ornamen indahnya, perbolehkan saya mempunyai interpretasi yang serupa. Dengan mengikhtisarkan berbagai “peperangan” yang dihadapi Suku Dayak, tameng hakikatnya diciptakan untuk merespon bahkan membentengi segala tantangan. Begitu pula diri kita sebagai manusia yang sama-sama sedang menjalani kehidupan. Bahwa setiap dari kita dilahirkan dengan “tameng”-nya untuk senantiasa dipelihara dan dirawat agar tidak mudah lucut dari genggaman, digunakan sebagaimana mestinya untuk melindungi dan bertahan diri.

Dari catatan perjalanan ini, saya menyaksikan konstelasi budaya dan seni di Kota Jogja, mulai dari museum yang mengabadikan objek dan kenangan masa lalu hingga pameran kontemporer yang mengekspresikan kisah dan isu terkini. Dari sini, peradaban seni dan budaya mampu bertahan dan maju beriringan, tidak melupakan yang tua dan memupuk subur suara muda-muda.

Setelah mengambil banyak makna dan cerita, perjalanan kali ini saya sudahi dengan obrolan singkat bersama kang parkir.

“Besok bulan Agustus tanggal 20 kesini lagi, Mbak. Ada acara lagi. Pasar Kangen namanya. Pasar kangen biasanya setiap tahun ada, tapi kalau saya ngga ada yang ngangenin, hehe.”

Saya ikut terkikih dan menimpali (dalam hati), “Sama, Pak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun