Uniknya, selain menjadi media pengabadian benda-benda bersejarah dan destinasi wisata budaya, Museum Sonobudoyo juga dapat menjadi lokasi pemotretan seperti foto pre-wedding yang kebetulan bertepatan dengan kunjungan kami kemarin.Â
Â
Keluar dari pintu kaca otomatis, berpindahlah kami menuju Gedung Pamer Baru yang terletak di belakang gedung utama yang memiliki aturan lebih ketat. Rupanya, ini karena objek atau diorama yang ada, dipamerkan secara lebih terbuka. Tidak dilindungi di dalam lemari kaca. Â
Di bagian gedung pameran baru, pengunjung dilarang melintasi marka hitam yang menjadi pembatas masing-masing koleksi. Petugas mengatakan bahwa alarm akan berbunyi jika batas garis hitam dilewati. Sebagaimana aturan dibuat untuk menjaga ketertiban, saya tidak cukup nakal untuk membuktikannya, hehe.Â
Dari berbagai koleksi objek museum yang dipamerkan, bagian favorit saya adalah visualisasi pementasan wayang menggunakan video mapping yang berada di Gedung Pamer Baru. Ini menunjukkan bahwa meskipun museum menyimpan benda-benda sejarah yang berbau lawas, museum berusaha mengimplementasikan penggunaan teknologi digital untuk merangkul perkembangan zaman dan mempersembahkan sebuah pameran dan pertunjukkan yang lebih interaktif dan aktual.
Â
Arena Pembaharuan
Mengantongi rasa puas setelah jalan-jalan melihat koleksinya Sonobudoyo, saya melanjutkan lakon menjadi turis lokal yang menggemari pameran dan galeri. Panggung kedua adalah Taman Budaya Yogyakarta. Lokasinya masih berada di sekitar Titik Nol Kilometer, kurang lebih 850 meter dari Museum Sonobudoyo.
Sebagai lembaga pelestarian, pembinaan, dan pengembangan seni dan budaya, salah satu fungsi Taman Budaya Yogyakarta adalah sebagai ruang, laboratorium, dan etalase perhelatan seni budaya, oleh komunitas ataupun masyarakat secara luas. Â