Mohon tunggu...
QayyumNaya
QayyumNaya Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Penulis

Hanya Penulis biasa yang suka menulis. Hobi membaca dan menulis. Dan biasa saja dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terusiknya Kasih

9 Juli 2023   07:13 Diperbarui: 9 Juli 2023   07:20 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   Baru saja kebijakan hati tampak menerima kenyataan tentang aku. Sekarang aku disibukan oleh suatu kabar yang mengenakan telinga, ketika aku mendengar perbincangan hangat yang terjadi antara tetangga rumah dengan ibuku.


    Mereka sedang membicarakan sesuatu yang masih samar terdengar di telingaku. Namun, aku tahu dengan sesungguhnya, ada firasat yang sedang berbisik kepadaku bahwa titipan cinta yang saat ini bersamaku adalah alasan sesal mereka mempertanyakan siapa wanita yang aku bawa.


    Dari balik pintu, sayup-sayup suara ibuku membela diriku dan Alin. Sementara mereka yang masih berdiri didepan ibuku, maunya mengeluarkan wanita yang ada dalam hatiku untuk pergi meninggalkan rumah kami.


    Aku panas, amarah dalam dadaku seakan-akan menyuruhku untuk menabrak mereka yang terlalu perduli dengan kebahagiaan orang lain yang tiada lain adalah aku.


    Disini didalam rumah, dibalik jendela kamar ruangan tamu kupandangi wajah mereka satu persatu, aku ingin memastikan bahwa mereka memang tidak pernah mengenal cinta, tidak pernah mengenal seperti apa itu perasaan, seperti apa itu konstitusi moral dalam menghargai setiap perbedaan antara sosial.


    Jika saja bukan karena ibuku yang kupandang berada di antara mereka maka dari tadi, aku akan menyuruh mereka pergi dari depan rumahku.


    "Tidak ada saja pekerjaan, selalu mau mengganggu ketenangan hidup orang lain." Kulampiaskan kekesalan emosi pada tirai gorden yang menggantung di jendela.


    Hingga tanpa berpikir bahwa aku sudah merobek bawahan gorden yang baru saja dipasang oleh ibuku tadi pagi sesaat kami sampai dirumah ini.


    Dalam keadaan seperti itu, memuncaklah amarah yang ada dalam dadaku. Bagaimana tidak ?! Bahkan sebagian dari mereka, karena yang aku lihat berjumlah sekitar empat orang. Dua diantaranya mengait-ngaitkan dengan kehidupan masa laluku. Mereka beranggapan bahwa aku adalah satu dari sekian laki-laki yang dengan sengaja ingin merusak kehidupan wanita dikampung ini.


    Bayangkan coba, apa pantas jika bahasa-bahasa, kalimat-kalimat negatif seperti itu diucapkan dan ditujukan padaku. Mereka melabeliku sebagai laki-laki perusak masa depan wanita.


    Padahal mereka lupa bahkan aku tidak ingin kehidupan seperti dulu dimana aku harus berpura-pura untuk mencintai seorang wanita dengan segenap perhatianku kucurahkan padanya namun pada titik dimana akal telah berhenti untuk memikirkan cara-cara bijaksana dalam membahagiakan nya maka karakter cinta pun berubah menjadi suatu pola tingkah laku yang aku sendiri tidak berkehendak demikian.


    Dengan adanya Alin dirumah ini, mereka menilaiku sebagai seorang laki-laki bejat yang tidak mungkin mau bertanggungjawab terhadap perilakuan asmaraku padanya.


    Bukankah dulu aku sudah pernah memberi kebahagiaan kepada istriku ?. Bukankah aku sudah berlaku adil pada setiap tetesan air mata yang masih terasa ini. Jika aku mengatakan dihadapan mereka bahwa aku sering menangisi masalah yang dulu pernah menjadi tempat memanja, yang penuh semangat, penuh kasih, mereka pasti akan mengatakan bohong.


    Itu pasti !. Hanya ada satu alasan dari sekian banyaknya alasan yang bisa mereka katakan padaku, yaitu mereka tidak pernah melihat dimana air mata itu menetes, dimana aku saat begitu bersalahnya, dimana mereka melihatku ketika aku hendak jauh dari kampung ini.


    Hal itu yang pasti akan mereka katakan. Dari balik jendela tetap kupandangi wajah mereka, aku tidak melihat diwajah mereka ada semacam ketidak-sukaan yang bisa saja kujadikan dasar bahwa mereka memang marah. Tapi apa tujuan dari mereka mengatakan demikian pada ibuku bahwa aku adalah sekian dari laki-laki yang selalu suka memainkan perasaan wanita, diikat dengan tali pernikahan kemudian diputuskan seenak yang mereka bahasakan pada ibuku.


    Tidak lama kemudian, Alin keluar dari dalam kamar. Dia berdiri dibelakangku dan menyaksikan wajahku memerah bahkan aku sampai tidak sadar sejak kapan dia berada dibelakangku.


    Aku hanya merasakan ada rasa hangat, berasa dingin-dingin menempel di kulit lengan tanganku. Kulihat, aku menyaksikan lilitan tangan sedang berbicara, mungkin ini adalah suatu proses dimana cinta bisa meredahkan amarah ini.


    "Alin. Kamu disini dari tadi ya ?."


    "Tidak. Baru saja. Siapa yang ribut-ribut diluar. Suara mereka terdengar sampai dikamar."


    "Entahlah !. Hanya sebagian orang yang datang berbincang-bincang dengan ibuku. Tidak ada yang penting, Alin." Jawabku padanya.


    "Tapi aku mendengar mereka seperti serius, ada apa ? Suruh mereka masuk kedalam rumah, Syarif. Kenapa dibiarkan diluar bicara dari tadi ?.''


    "Bukan aku yang membiarkan mereka, Alin. Coba kamu dengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Mungkin dengan mendengarnya, kamu akan tahu apa yang sedang mereka bicarakan."


    Wajah cantik dengan rambut yang terurai membuatnya semakin menarik untuk selalu dilihat. Amarah yang membakar dadaku seketika redah hanya dengan melihat pemandangan indah wajahnya.


    Kali ini, bukan aku yang begitu marahnya. Tapi dia, dia seketika berubah, wajahnya yang tadi bak kelopak bunga yang terkena embun, layu, marah, emosi, menyatu menyelimuti area-area komersial yang aku sendiri agak susah untuk memahaminya.


    Baru selesai marahnya akibat benturan hati yang diakibatkan masa laluku, kini Alin harus menerima kenyataan bahwa keberadaan nya dirumah ini, disoroti oleh kejahilan beberapa orang yang ada diluar.


    Melihat keadaan yang sebenarnya terjadi, Alin balik melihat kearahku dengan berkata, "jadi kamu hanya diam saja melihat dan mendengar kata vitamin yang menusuk telinga seperti itu ?."


    Aku tidak bisa marah jika berada didepannya. Aku terpaku dengan cara merendam ratusan bahkan ribuan jiwaku dalam hatinya. "Alin, bukan demikian, aku marah tapi aku menghargai ibuku yang ada diantara mereka. Jika aku kesana lalu membalas perkataan-perkataan mereka, aku sama saja dengan mereka dalam keadaan seperti apa diriku mencintaimu, yang kuinginkan hanya kesabaran walau sebenarnya, aku marah lebih membara dari yang kamu rasakan, Alin.''


    "Kata-katamu membosankan, Syarif. Aku marah !. Kukira semua orang yang melakukan perilaku yang bisa saja meneteskan air mataku, kamu akan menghapus air mata itu dengan sangat mudah. Menjadikan aku adalah wanita yang paling bisa kamu jaga dari berbagai sengatan semut liar diluar sana, sesuatu yang mengancam hubungan kita maka wajib bagimu melindungiku dengan berbagai sikap, kasih, cinta dan tenagamu. Kalau seperti ini, jangan berharap, kamu akan begadang dengan ku untuk melihat cahaya rembulan diatas sana.''


    Huff... "Habis deh kalau begini." Gumam sendiri sambil mencerna makna rembulan berbahaya tanpanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun