Kuingin menjelaskan padanya jika aku tidak pernah berpikir masa kelam itu terjadi padaku namun aku pun tidak bisa menghindari setiap kali kenyataan yang terjadi pada diriku, kehidupan ku adalah milikku tapi kehendak yang pernah aku lalui bukanlah aku yang mengaturnya.
Mungkin kehendak itu adalah suatu bentuk proses sikap alami yang tumbuh di sekitar lingkungan hidup ku yang selama ini, aku hanya tersenyum menjalaninya sebab dahulu, aku tidak pernah tahu akhirnya akan seperti ini, akhirnya akan bertemu denganmu.
Kucoba menepikan diriku bersamanya, kucoba menemani dirinya diatas tempat tidur. Dia berbaring sementara aku duduk dibelakang nya untuk mendapatkan cinta, aku mengajaknya berbicara tentang beberapa hal yang harus ia ketahui.
Telapak tanganku yang maju mundur ketika hendak memegang punggungnya, membuat ku sulit bernafas. Ada detakan jantung yang serba rumit bercampur menjadi satu bagian tubuh yang tidak biasa aku rasakan. Tapi ini bukan tentang perasaan yang sedang ingin bercinta, bukan tentang pengetahuan yang kemudian bisa aku tangani, bukan hanya sekedar ingin melihat wajah cantiknya yang sedang berubah tadi tapi tentunya tentang kebahagiaan, mengembalikan senyumnya yang hilang setelah melihat foto pernikahan ku.
Aku paham bahwa amarah yang membesar dalam dadanya sebenarnya adalah suatu sikap yang seharusnya. Sebab aku tidak mengatakan padanya bahwa aku sudah pernah menikah. Dia menerima cintaku karena suatu alasan logis yang pantas dicerna. Sepenuhnya, dia tahu aku masih sendiri, aku masih belum menikah, aku masih anak muda yang seimbang baginya.
Ketidak-inginannya setelah dia tahu aku sudah pernah menikah adalah bahwa aku dimatanya merupakan seorang duda. Mungkin itu yang membuatnya marah sehebat ini.
Kucoba mengulanginya lagi, aku kembali mencoba memegang punggungnya sambil merayunya dengan berbagai cara cinta yang kuharapkan, dia bisa merespon ku.
"Alin, jangan kau hempaskan aku dengan sikap seperti ini. Biarkan aku mencintaimu lagi tanpa harus menodai kepercayaanmu padaku. Sesalah itulah diriku padamu hingga karena kebenaran masa laluku bisa merontokkan kekuatan perasaan yang paling indah untukku."
Tanpa melihatku, seperti orang asing yang masuk kedalam rumah dan menjadi tidak menarik ketika sedang berada pada posisi yang tidak tepat. Aku pun seperti itu, seakan diriku, cintaku, yang ada dalam dirinya, sedang dia usahakan untuk mengeluarkan nya dari jarak yang paling dekat, aku menjadi tidak penting baginya untuk saat ini.
Tanpa menoleh kebelakang, Alin menjawabku dengan cara yang paling indah walau sakit bagiku, kutelan tanpa dia tahu.
"Syarif, aku marah padamu. Marah karena kamu tidak jujur. Setahuku, kamu hanya mencintai satu wanita tapi ternyata aku adalah wanita ke-tiga yang mungkin akan kamu sakiti lagi. Bukan soal kamu sudah pernah menikah dengan siapa dan seperti apa wanita cantik yang pernah menjadi istrimu itu tapi mengetahui bahwa mereka pergi dari hidupmu, aku jadi teringat dengan nasibku, gimana selanjutnya jika aku sudah menikah dengan mu. Pasti hidupku akan berakhir sama dengan wanita yang kamu tinggalkan.''