Mohon tunggu...
QayyumNaya
QayyumNaya Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Penulis

Hanya Penulis biasa yang suka menulis. Hobi membaca dan menulis. Dan biasa saja dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menusuk Hati

4 Juli 2023   17:03 Diperbarui: 4 Juli 2023   17:19 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana bisa masa laluku bisa mengacaukan keadaan harmonis yang baru saja dimulai ini. Aku tidak pernah mengira jika Alin akan marah sehebat ini hingga sampai hati, aku yang dibuat keok dengan caranya bertingkah.


Ibuku yang menyaksikan kejadian ini, yang baru saja dilihatnya didepan matanya, langsung merespon dengan sangat pedih padaku sampai aku tidak bisa menjawab setiap perkataan yang ibu bahasakan padaku.


Aku hanya bisa diam, aku hanya bisa pasrah, mencoba untuk menjadi seorang anak kecil yang selalu patuh kepada orang tua walau kenyataan ini memahitkan perasaanku.


"Kalau bukan karena kamu yang bawa kesini, ibu mana mungkin mau menerima dia dirumah ini."

Demikian ibu mengatakan itu padaku. Tidak lama kemudian, aku pun bangkit dari tempatku duduk. Rencana ku pergi menemui Alin yang mungkin didalam kamar, ia sedang menangis.


Kulupakan yang ibu katakan padaku, mencoba memahami setiap kondisi tidaklah seperti apa yang aku harapkan. Sementara ayah, biasa saja menyikapi keadaan ini, seakan tidak ada yang terjadi.


Akupun mengetuk pintu kamar. Namun belum ada balasan dari Alin, kupanggil dari luar dengan panggilan yang sebelumnya tidak pernah aku kenalkan padanya.


"Sayang, bisakah pintunya dibuka."
Masih belum ada respon. Lalu aku mencoba untuk membuka pintu kamar untuk memastikan apakah ia memang masih marah atau hanya bersenda gurau dengan menggunakan asap berwarna yang tidak biasa dalam hubungan yang baru saja dimulai ini.


"Alin...!" Panggilku sambil tersenyum membuka pintu kamar.


Di sana dia masih belum melihat kearah ku. Alin masih berbaring sambil memeluk bantal guling sementara foto pernikahan ku dengan mantan istriku diletakan di bagian belakang nya.

Kupaksakan diriku, kakiku melangkah maju menemuinya untuk menghiburnya agar dia paham bahwa setiap orang memiliki masa kekelaman dalam hidupnya. Setiap orang berbeda mengalami masa lalunya, ada sejarah-sejarah pahit yang setiap orang rasakan. Bahkan ada hal-hal yang tidak biasa terjadi sampai menitipkan pesan yang sulit untuk dibuang.


Kuingin menjelaskan padanya jika aku tidak pernah berpikir masa kelam itu terjadi padaku namun aku pun tidak bisa menghindari setiap kali kenyataan yang terjadi pada diriku, kehidupan ku adalah milikku tapi kehendak yang pernah aku lalui bukanlah aku yang mengaturnya.


Mungkin kehendak itu adalah suatu bentuk proses sikap alami yang tumbuh di sekitar lingkungan hidup ku yang selama ini, aku hanya tersenyum menjalaninya sebab dahulu, aku tidak pernah tahu akhirnya akan seperti ini, akhirnya akan bertemu denganmu.


Kucoba menepikan diriku bersamanya, kucoba menemani dirinya diatas tempat tidur. Dia berbaring sementara aku duduk dibelakang nya untuk mendapatkan cinta, aku mengajaknya berbicara tentang beberapa hal yang harus ia ketahui.

Telapak tanganku yang maju mundur ketika hendak memegang punggungnya, membuat ku sulit bernafas. Ada detakan jantung yang serba rumit bercampur menjadi satu bagian tubuh yang tidak biasa aku rasakan. Tapi ini bukan tentang perasaan yang sedang ingin bercinta, bukan tentang pengetahuan yang kemudian bisa aku tangani, bukan hanya sekedar ingin melihat wajah cantiknya yang sedang berubah tadi tapi tentunya tentang kebahagiaan, mengembalikan senyumnya yang hilang setelah melihat foto pernikahan ku.

Aku paham bahwa amarah yang membesar dalam dadanya sebenarnya adalah suatu sikap yang seharusnya. Sebab aku tidak mengatakan padanya bahwa aku sudah pernah menikah. Dia menerima cintaku karena suatu alasan logis yang pantas dicerna. Sepenuhnya, dia tahu aku masih sendiri, aku masih belum menikah, aku masih anak muda yang seimbang baginya.


Ketidak-inginannya setelah dia tahu aku sudah pernah menikah adalah bahwa aku dimatanya merupakan seorang duda. Mungkin itu yang membuatnya marah sehebat ini.


Kucoba mengulanginya lagi, aku kembali mencoba memegang punggungnya sambil merayunya dengan berbagai cara cinta yang kuharapkan, dia bisa merespon ku.


"Alin, jangan kau hempaskan aku dengan sikap seperti ini. Biarkan aku mencintaimu lagi tanpa harus menodai kepercayaanmu padaku. Sesalah itulah diriku padamu hingga karena kebenaran masa laluku bisa merontokkan kekuatan perasaan yang paling indah untukku."


Tanpa melihatku, seperti orang asing yang masuk kedalam rumah dan menjadi tidak menarik ketika sedang berada pada posisi yang tidak tepat. Aku pun seperti itu, seakan diriku, cintaku, yang ada dalam dirinya, sedang dia usahakan untuk mengeluarkan nya dari jarak yang paling dekat, aku menjadi tidak penting baginya untuk saat ini.


Tanpa menoleh kebelakang, Alin menjawabku dengan cara yang paling indah walau sakit bagiku, kutelan tanpa dia tahu.


"Syarif, aku marah padamu. Marah karena kamu tidak jujur. Setahuku, kamu hanya mencintai satu wanita tapi ternyata aku adalah wanita ke-tiga yang mungkin akan kamu sakiti lagi. Bukan soal kamu sudah pernah menikah dengan siapa dan seperti apa wanita cantik yang pernah menjadi istrimu itu tapi mengetahui bahwa mereka pergi dari hidupmu, aku jadi teringat dengan nasibku, gimana selanjutnya jika aku sudah menikah dengan mu. Pasti hidupku akan berakhir sama dengan wanita yang kamu tinggalkan.''

"Alin, percaya lah padaku bahwa mereka berbeda denganmu. Aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama kepada wanita yang aku cintai. Mantan istriku adalah wanita yang cantik tapi dia adalah kesukaan orang tuaku saat kau mencintai Lina, orang tuaku hadir dengan menawarkan wanita cantik untuk aku nikahi. Sebagai anak, aku patuh kepada keinginan orang tuaku namun setelah kedewasaan pola pikirku, aku kembali berpikir bahwa kesalahan dengan memilih wanita lain yang tidak aku cintai pasti akan membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupanku sampai aku memutuskan untuk pergi meninggalkan nya. Jika karena hal itu, kamu marah padaku maka aku bersyukur padamu sebab marahmu adalah bukti cintamu yang bertambah padaku."


"Sampai kapan kamu akan tetap menggoda ku, Syarif."


"Sampai kamu mengembalikan kebiasaan tadi malam terasa lebih segar disiang hari baru aku berhenti membuatmu tersenyum lagi."


"Sudahlah Syarif, jangan buat aku tersenyum dengan amarah yang masih muda ini. Biarkan aku sendiri dulu didalam kamar ya. Tinggalkan aku dulu, Syarif !."

Terpaksa aku harus keluar dari dalam kamar tapi kuyakinkan dirinya kalau aku akan datang lagi dengan cara yang paling ia sukai.
   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun