"Bagaimana menurutmu ?. Apakah aku harus membuka pintu sekarang ?." Tanyaku pada Alin.
"Aku hanya merasa khawatir jika kita dipisahkan oleh mereka. Aku hanya takut, kalau cintaku tidak akan bersemi seperti malam ini, aku hanya takut, kita tidak akan bersemangat mendesain obyek wisata yang menarik malam ini, tidak ada lagi kunjungan hati jika kamu membuka pintunya sekarang, Syarif''_
"Lagian, kita ini bukan penjahat, kita hanya penjaga hati dari rumah cinta romantis yang baru kita lakukan. Tapi jika memang itu perlu kamu buka maka bukalah seperti saat kamu membuka akses menuju rimba raya yang menakjubkan ku. Bukalah, Syarif ?."
Setelah mendapatkan respon darinya, dengan perasaan yang wao, aku membuka pintu kamar. Mereka langsung masuk kedalam kamar dan menyeret jiwa hatiku yang masih berada diatas tempat tidurnya. Menyaksikan itu, aku hanya bisa bilang, "lepaskan dia !. Alin, tidak bersalah !. Aku yang bersalah !."
Suara bentakan keras yang terucap dari laki-laki pengecut yang tidak memiliki hati nurani bergemuruh bersamaan dengan sekian orang yang telah berada didalam kamar.
"Kamu adalah laki-laki perusak lingkungan sosial. Atas nama cintamu sampai kamu berdua-duaan dengan wanita yang hanya karena wajahnya mirip Lina, kamu menemaninya dalam rutinitas yang tidak biasa kami lihat."
Teringat ucapan Alin padaku tadi sore bahwa "gendonglah aku dihadapan mereka. Agar mereka tahu bahwa cinta itu bukan suatu impian yang tidak terwujud tapi cinta adalah segalanya dalam hidup."
Hanya air mata yang keluar. Kami dibuat seperti bukan manusia. Kami diperlakukan jauh dari sewajarnya.
''Tapi tunggulah !.'' Kataku dalam hati.
Setelah semuanya selesai melampiaskan kekesalannya pada kami berdua, aku dan Alin, tetap bersama. Kami memikirkan langkah selanjutnya adalah memulai satu kalimat yang sama yaitu dalam genggaman tangannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H