Mohon tunggu...
QayyumNaya
QayyumNaya Mohon Tunggu... Penulis - Hanya Penulis

Hanya Penulis biasa yang suka menulis. Hobi membaca dan menulis. Dan biasa saja dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dramatis

30 Juni 2023   05:44 Diperbarui: 30 Juni 2023   07:19 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi. Aku yang sebenarnya bersalah karena tidak bisa menjaga keamanan hubungan yang baru saja dimulai ini.

Rai, dan beberapa orang yang tadi berdiri di depan pintu kamar ternyata pergi bukan untuk meninggalkan kami yang masih berada didalam kamar tapi justru mereka menyusun rencana yang memilukan bagi kami berdua.

Karena sudah malam ditambah lagi dengan suara petir yang menyambar-nyambar dilangit sana, hujan deras yang mendinginkan tubuh menjadi mencekam karena aku tidak bisa memeluk wanita yang dengan genggaman tangannya tidak pernah lepas dari tubuh kecilku ini.

Terasa seperti orang yang mengintip di jendela yang memantau keadaan dalam kamar. Aku yang tidak tenang, berdiri untuk memastikan apakah ada yang mengintip atau hanya aku yang salah mendengar.

Sementara acara tahlilan malam ini hanya diadakan seadanya saja. Hujan menjadi alasan utama hingga sedikit orang yang hadir.

Ketika aku mendekati jendela kamar dan aku membukanya, tidak ada orang yang nampak, yang ada hanyalah perasaan takut yang ada dalam benak pikiranku.

Ini sudah agak jauh malam, selimut indah semestinya melengkapi ketiadaan semangat energi yang ada pada diri kami masing-masing.

Tapi sekali lagi, aku masih mendengar seperti memang ada orang.

Untuk kedua kalinya aku berdiri pergi melihat keadaan diluar jendela kamar. Dari dalam kamar terpercik masuk cahaya guntur yang merobek jantung, merobek gawang lawan jenis yang paling indah bahkan disaat itu pula, Alin menarik tanganku untuk tidak melepaskan diri dari keanggotaan resmi dalam kamar ini.

Tapi kukatakan padanya bahwa kita sedang tidak aman. Ini bukan hanya ada yang aku dengar diluar jendela kamar hingga membuat ku harus berdiri untuk melihatnya tapi perasaan yang sama seperti mereka yang ada diluar melihat kedalam ini adalah sebuah informasi pada perasaan ku bahwa kita memang sedang dalam pengawasan.

"Alin, biarkan aku pergi melihat nya sebelum mereka melakukan hal yang tidak pernah kita inginkan. Klimaks indah yang bisa saja membuat kita lupa metode keselamatan jiwa, jangan sampai menyebabkan kecantikan, eksotisme pulau harapan masa depan kita berdua menjadi salah, salah membawa kita untuk berlabuh sepenuhnya dalam pantai pengantin masa depan"_

"Tidakkah kamu merasakan suara ngos-ngosan diluar sana yang sedang beradu menahan dingin karena siraman air hujan sementara kita disini membuat kolam dan mengisi air hujan yang begitu bersih." Katanya padaku.

Hanya kedipan mata dari Alin yang mempesona tidak terlukiskan. Alin seperti membuka suatu sistem pendidikan yang mungkin akan dia ajarkan kepadaku hingga saat ini, aku tidak bisa menolak sistem itu.

Kuajak diriku untuk menyelesaikan misi karakter yang penuh tantangan serius ini. Aku mencoba menjelaskan dengan cukup bijaksana kepada wanita yang sangat penting dalam hidupku saat ini.

"Alin, dengarlah hujan deras yang sedang bernyanyi diatas atap rumah ini dan dengarlah percikan-percikan guntur yang memancarkan cahaya bahagianya, aku tidak ingin satu juta kebahagiaan malam ini berkurang walau sedikit tapi bisakah kamu membantuku untuk melihat keadaan luar jendela. Benar-benar, aku tidak nyaman dalam genggaman seperti ini apabila ada hal yang aku pikirkan."

"Mengapa kamu perduli dengan kehadiran mereka, Syarif ?. Ini momen berharga yang tidak biasa dalam hubungan kita, ini istimewa, Syarif. Bahkan hujan deras beserta guntur kilat nya malam ini menambah keceriaan yang mestinya kita lebih memilih berdiam diri dengan penampilan yang serba sempurna, tetaplah pandangi aku, kamu akan melihat bahwa sejuta kebahagiaan itu akan kamu lihat. Jangan sebentar-sebentar arah matamu berpaling dariku. Aku disini, disini juga memandangi kelopak mata yang kendur itu seharusnya terbuka mengeluarkan pantulan yang tidak bisa aku tahan."

"Bagaimana bisa menimbulkan pantulan pandangan jika aku tidak tenang, Alin. Setiap kali aku melihat kearahnmu maka setiap itu juga mata ini justru belok kearah jendela kamar yang disana mereka menyaksikan gulatan kegilaan kata yang tepat bagi kita. Hingga sekiranya mereka menahan napasnya maka terputuslah satu juta kebahagiaan malam ini''_

"Jika kebahagiaan malam ini terputus maka biarlah hujan membekas diatas atap dan biarkan yang ada di tanah malam ini menggenangi kaki mereka yang ada dibawah jendela kamar ini, Alin."

Kami berdua melupakan siapa yang sedang bisik-bisik berbicara diluar jendela kamar ini. Sehingga beberapa saat kemudian, kamipun yang masih dalam balutan warna samarnya lampu, dikejutkan dengan teriakan yang menggila.

Bukan dari arah jendela melainkan dari arah pintu kamar. Mereka yang tadi diluar jendela kamar karena tidak tahan melihat indahnya cinta, akhirnya menggendor-gendor pintu layaknya ingin menangkap angin hangat yang berhembus yang telah kami rasakan berdua.

"Hee... Kalian yang berada dalam kamar, buka pintunya atau kami buka paksa ?."

"Alin, suara itu aku tahu ?. Dia pasti Rai, dia memang tidak senang dari tadi. Dia pasti menghasut beberapa orang untuk mengambil sebuah tindakan yang tidak pantas itu''_

"Bagaimana menurutmu ?. Apakah aku harus membuka pintu sekarang ?." Tanyaku pada Alin.

"Aku hanya merasa khawatir jika kita dipisahkan oleh mereka. Aku hanya takut, kalau cintaku tidak akan bersemi seperti malam ini, aku hanya takut, kita tidak akan bersemangat mendesain obyek wisata yang menarik malam ini, tidak ada lagi kunjungan hati jika kamu membuka pintunya sekarang, Syarif''_

"Lagian, kita ini bukan penjahat, kita hanya penjaga hati dari rumah cinta romantis yang baru kita lakukan. Tapi jika memang itu perlu kamu buka maka bukalah seperti saat kamu membuka akses menuju rimba raya yang menakjubkan ku. Bukalah, Syarif ?."

Setelah mendapatkan respon darinya, dengan perasaan yang wao, aku membuka pintu kamar. Mereka langsung masuk kedalam kamar dan menyeret jiwa hatiku yang masih berada diatas tempat tidurnya. Menyaksikan itu, aku hanya bisa bilang, "lepaskan dia !. Alin, tidak bersalah !. Aku yang bersalah !."

Suara bentakan keras yang terucap dari laki-laki pengecut yang tidak memiliki hati nurani bergemuruh bersamaan dengan sekian orang yang telah berada didalam kamar.

"Kamu adalah laki-laki perusak lingkungan sosial. Atas nama cintamu sampai kamu berdua-duaan dengan wanita yang hanya karena wajahnya mirip Lina, kamu menemaninya dalam rutinitas yang tidak biasa kami lihat."

Teringat ucapan Alin padaku tadi sore bahwa "gendonglah aku dihadapan mereka. Agar mereka tahu bahwa cinta itu bukan suatu impian yang tidak terwujud tapi cinta adalah segalanya dalam hidup."

Hanya air mata yang keluar. Kami dibuat seperti bukan manusia. Kami diperlakukan jauh dari sewajarnya.

''Tapi tunggulah !.'' Kataku dalam hati.

Setelah semuanya selesai melampiaskan kekesalannya pada kami berdua, aku dan Alin, tetap bersama. Kami memikirkan langkah selanjutnya adalah memulai satu kalimat yang sama yaitu dalam genggaman tangannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun