Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Manusia "Toxic" Ada?

21 Juli 2020   11:12 Diperbarui: 22 Juli 2020   20:47 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah toxic dapat kita lihat semakin sering digunakan oleh warganet dan orang-orang yang kita temui di dunia nyata. Istilah yang awalnya identik dengan kandungan kimia yang berbahaya dan mematikan ini berkembang maknanya. Kita tidak lagi memahami toxic hanya sebagai kandungan kimia yang berbahaya, melainkan kata tersebut juga digunakan untuk mendeksripsikan seseorang atau perilakunya.

Hasil penelusuran kata toxic people yang dilansir oleh Google Trends menunjukkan bahwa pencarian dengan kata kunci tersebut meningkat setiap tahunnya. Lima trends pencarian teratas berisi pernyataan dan pernyataan yang mengarah kepada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan toxic people.

Mari kita lihat jawaban yang muncul dari pencarian tersebut.  Ini hasil teratas yang saya dapatkan: 

Pernah dengar yang namanya toxic people? (dok. pribadi)
Pernah dengar yang namanya toxic people? (dok. pribadi)
Secara harfiah, manusia tidak bisa beracun. Meskipun demikian, apakah istilah racun atau toxic bisa atau tepat digunakan untuk menggambarkan seseorang atau perilakunya? 

Secara umum, istilah toxic ada, digunakan, dan bahkan dikaitkan dengan psikologi. Istilah toxic psychology sendiri dibahas dalam Newnes (2011).  Ia menulis bahwa psikologi sekarang adalah new alchemy yang dapat merubah timah menjadi emas sehingga ia mengkaji psikologi sebagai substansi yang rentan. Maksudnya adalah psikologi dapat menyembuhkan gangguan mental namun dalam prosesnya dapat mempengaruhi mental secara positif dan negatif. Secara khusus, ia menyorot psikiater dan psikolog klinis. Toxic yang ia maksud disini adalah sifat racun dari obat yang diresepkan kepada pasien. Hal ini disebabkan oleh pasien dalam terapi dan pengobatan klinis pada umumnya diberikan obat-obatan yang peredarannya terbatas. 

Secara spesifik, istilah toxic people juga ada dan digunakan dalam jurnal ilmiah. Templer (2018) menjelaskan toxic people dalam konteks pekerjaan dan bagaimana karyawan bisa toxic dalam lingkungan pekerjaannya. Toxic employees yang dirujuk oleh Templer berasal dari jurnal Jonason, dkk (2012). Jonason, dkk. menyebutkan bahwa dewasa ini toxic people semakin banyak dikaji. Istilah toxic yang ia gunakan dirujuk dari Ames (2009). Ames menggunakan kata toxic sebagai semacam jenis trait yang dapat dimiliki pemimpin/leaders yang pad akhirnya membicarakan toxic leadership. Toxic leadership sendiri banyak dijelaskan oleh berbagai jurnal ilmiah dan buku.

Rekam jejak penggunaan frase toxic people dalam buku sangat mudah dicari. Terdapat banyak sekali buku yang menggunakan istilah ini. Pada tahun 1995, Lillian Glass, Ph.D. (seorang ahli komunikasi interpersonal dan bahasa tubuh, komentator media, konsultan hukum, dan pengarang buku self-help), sudah menggunakan istilah toxic people sebagai judul bukunya. Buku tersebut berjudul "Toxic People: 10 Ways of Dealing with People Who Make You Feel Miserable".

Selain itu, Marsha Petrie Sue, seorang penulis; public speaker; dan motivator, juga menggunakan istilah toxic people dalam salah satu bukunya.  Sue (2007) membahas toxic people sebagai sesuatu yang dapat (dan harus) dinetralisir. Sampai sekarang, ada banyak sekali buku yang membahas toxic people dari pengarang dengan berbagai latar belakang.

Jauh lebih banyak dari buku, internet juga menyajikan artikel mengenai toxic people dengan penulis dari berbagai latar belakang juga. George S. Everly, Jr. PhD, ABPP, FACLP dalam Psychology Today secara spesifik memberi tips mengenali dan menghindari toxic people. Toxic people yang ia maksuda adalah para narsistik, frenemies, dan pengeluh kronis yang dapat mengakibatkan bencana interpersonal.

Praktisi psikologi Catherine Aponte, Psy.D. dalam artikelnya di Psychology Today menjelaskan bahwa manusia tidak toxic, namun perilaku beberapa orang memang buruk. Aponte menyarankan untuk menghindari penggunaan kata toxic. Ketika ada seseorang yang berperilaku tidak baik, Aponte menyarankan agar kita melakukan 3 hal berikut:

1. Tanyakan pada diri sendiri: Bagaimana saya bereaksi terhadap perilaku yang tidak baik?
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu penilaian atau judgement yang bijaksana. Penilaian yang bijak ini harus didasarkan pada konsep dasar bahwa orang lain dapat mengatur-atur kita tanpa melukai kita. Perasaan terluka atau menjadi korban dapat membuat kita sulit melihat kondisi yang terjadi secara objektif.

2. Deskripsikan : Apa yang membuat saya tidak nyaman?
 Seperti yang kita semua ketahui, tidak semua hal membuat kita senang atau nyaman. Ketika seseorang membuat kita merasa tidak baik-baik saja, coba deskripsikan apa yang membuat kita tidak nyaman. Alih-alih menyebut orang tersebut toxic, coba dijelaskan lebih lanjut kenapa kita menyebutnya "toxic"? Perilaku apa? Sifat apa? Kejadian apa?

3. Temukan cara untuk merespon hal tersebut dengan efektif dan wajar.

4. Kurangi/hentikan labelling dengan kata toxic.

Demikian berbagai hal mengenai toxic people yang menjadi referensi saya. Barangkali ada referensi lainnya, sila ditulis di kolom komentar. Referensi-referensi inilah yang mendasari pertanyaan saya akan keberadaan dan penggunaan kata toxic people. 

Kembali pada judul artikel ini, kalau saya diajukan pertanyaan, "apakah toxic people itu ada?", maka jawaban saya adalah:

Ada atau tidak, istilah itu membantu kita menjelaskan bagian kecil dari orang lain. Bukan orang yang dideskripsikan sebagai toxic people, tapi orang-orang yang menggunakan istilah toxic people dalam kasusnya sendiri. Ketika A mengatakan bahwa B adalah toxic people, sulit bagi kita untuk menilai apakah B orang yang tidak baik.

Pertama, B  bukan zat kimia. B adalah orang yang pada umumnya tidak bisa toxic secara harfiah. Kedua, kata toxic tidak menjelaskan apa yang membuat B "berbahaya". Kalaupun B memang melakukan sesuatu yang tidak baik, penggunaan kata seperti abusive secara fisik dan/atau tukang mengeluh dan/atau over-protective dan/atau manipulatif dan lain sebagainya akan jauh lebih baik digunakan.

Frase toxic people bagi saya tidak menjelaskan B atau individu yang disebut toxic. Meksipun begitu, penggunaan frase toxic people menjelaskan seseorang lainnya. Istilah ini menjelaskan keadaan A. Ketika A menggunakan istilah ini, dapat diartikan bahwa A memposisikan dirinya sebagai korban.

Jika A adalah diri kita, mari kita tanyakan pada diri kita, "Kenapa saya menggunakan kata toxic? Apa yang sebenarnya toxic? Apakah saya memang victim atau hanya merasa sebagai victim?". Jika A adalah seseorang yang kita kenal, kita harus memahami bahwa A sedang tidak cukup baik-baik saja sampai tidak sadar/sadar memposisikan dirinya sebagai korban.

Kita dapat mengenalinya dengan menggali apa perilaku B yang membuat A menganggap B toxic. Misalnya manipulatif, maka kita lihat lagi, manipulatif yang bagaimana? Manipulatif dengan tujuan apa? Apakah B sadar atau tidak ketika memanipulasi A? Apakah B justru sengaja memanipulasi A? Apakah A dirugikan dan jika iya separah apa? Apakah A benar-benar "korban"?

Perlu diingat, kadang-kadang kita hanya merasa sebagai korban, tapi ada juga saat di mana kita sebenarnya adalah korban. Jika ada kesulitan mengenali dan/atau menghadapi kondisi ini, gunakan bantuan profesional. Psikolog sudah banyak tersebar di puskesmas-puskesmas dengan biaya terjangkau dan ada banyak platform konsultasi psikologi dengan psikolog/psikiater secara daring/online yang relatif mudah.

Pada akhirnya, istilah toxic people ada karena memang kita merasa istilah tersebut pas atau cocok untuk mendesksipsikan seseorang. Dalam berkomunikasi kita memang cenderung memilih kata yang kita rasa tepat dan/atau dipahami oleh lawan bicara atau audiens kita.

Tidak ada yang salah jika ada yang menggunakan istilah itu. Namun, bagi saya pribadi, kalau kita memahami dinamika penggunaan kata toxic dan bisa menjadi orang yang lebih mengontrol ucapan dan tindakan kita, kenapa tidak dicoba? (oni)

-

-

-

Referensi:

Ames, D., "Pushing up to a Point: Assertiveness and Effectiveness in Leadership and Interpersonal Dynamics", dalam Research in Organizational Behaviour, 29, Pp. 111-133. doi: 10.1016/j.riob.2009.06.010. 2009. 29. 111-133.

Aponte, Catherine (17 April 2019). "People Are Not Toxic, but They Do Behave Badly", dalam Psychology Today, diakses dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/marriage-equals/201904/people-are-not-toxic-they-do-behave-badly.

Everly, Goerge S. (3 November 2019). "Toxic People: How to Recognize and Avoid Them", dalam Psychology Today, diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/blog/when-disaster-strikes-inside-disaster-psychology/201911/toxic-people-how-recognize-and-avoid.

Glass. L., Toxic People: 10 Ways of Dealing with People Who Make Your Life Miserable, (New York: Simon & Schuster, 1995).

Toxic people. (n.d.), dalam Google Trends, diakses melalui https://trends.google.co.id/trends/explore?date=today%205-y&q=toxic%20people , 21 Juli 2020.

Toxic people adalah. (n.d)., dalam Google Search, diakses melalui https://trends.google.co.id/trends/explore?date=today%205-y&q=toxic%20people, 21 Juli 2020.

Jonason, P. K., et. al., "The Dark Triad at Work: How Toxic Employees Get Their Way", dalam Personality and Individual Differences, 52, Pp. 449-453. doi: 10.1016/j.paid.2011.11.008. 2012. 52. 449-553.

Lillian Glass. (n.d.). Wikipedia, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Lillian_Glass.

Marsha Petrie Sue. (n.d.). Wikipedia, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Marsha_Petrie_Sue.

Newnes, C., "Toxic Psychology", dalam Rapley, M., et. al., (eds.), De-Medicalizing Misery: Psychiatry, Psychology, and the Human Condition,  (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2011).

Sue, M. P., Toxic People: Decontaminate Difficult People at Work Without Using Weapons or Duct Tape, (New Jersey: John Wiley & Sons, 2007).

Templer, K. J., "Dark Personality, Job Performance Ratings, and The Role of Political Skill: An Indication of Why Toxic People May Get Ahead at Work", dalam Personality and Individual Differences, 142, Pp. 209-214. doi: 10.1016/j/paid.2017.11.030. 2018. 124. 209-214.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun