2. Deskripsikan : Apa yang membuat saya tidak nyaman?
 Seperti yang kita semua ketahui, tidak semua hal membuat kita senang atau nyaman. Ketika seseorang membuat kita merasa tidak baik-baik saja, coba deskripsikan apa yang membuat kita tidak nyaman. Alih-alih menyebut orang tersebut toxic, coba dijelaskan lebih lanjut kenapa kita menyebutnya "toxic"? Perilaku apa? Sifat apa? Kejadian apa?
3. Temukan cara untuk merespon hal tersebut dengan efektif dan wajar.
4. Kurangi/hentikan labelling dengan kata toxic.
Demikian berbagai hal mengenai toxic people yang menjadi referensi saya. Barangkali ada referensi lainnya, sila ditulis di kolom komentar. Referensi-referensi inilah yang mendasari pertanyaan saya akan keberadaan dan penggunaan kata toxic people.Â
Kembali pada judul artikel ini, kalau saya diajukan pertanyaan, "apakah toxic people itu ada?", maka jawaban saya adalah:
Ada atau tidak, istilah itu membantu kita menjelaskan bagian kecil dari orang lain. Bukan orang yang dideskripsikan sebagai toxic people, tapi orang-orang yang menggunakan istilah toxic people dalam kasusnya sendiri. Ketika A mengatakan bahwa B adalah toxic people, sulit bagi kita untuk menilai apakah B orang yang tidak baik.
Pertama, B  bukan zat kimia. B adalah orang yang pada umumnya tidak bisa toxic secara harfiah. Kedua, kata toxic tidak menjelaskan apa yang membuat B "berbahaya". Kalaupun B memang melakukan sesuatu yang tidak baik, penggunaan kata seperti abusive secara fisik dan/atau tukang mengeluh dan/atau over-protective dan/atau manipulatif dan lain sebagainya akan jauh lebih baik digunakan.
Frase toxic people bagi saya tidak menjelaskan B atau individu yang disebut toxic. Meksipun begitu, penggunaan frase toxic people menjelaskan seseorang lainnya. Istilah ini menjelaskan keadaan A. Ketika A menggunakan istilah ini, dapat diartikan bahwa A memposisikan dirinya sebagai korban.
Jika A adalah diri kita, mari kita tanyakan pada diri kita, "Kenapa saya menggunakan kata toxic? Apa yang sebenarnya toxic? Apakah saya memang victim atau hanya merasa sebagai victim?". Jika A adalah seseorang yang kita kenal, kita harus memahami bahwa A sedang tidak cukup baik-baik saja sampai tidak sadar/sadar memposisikan dirinya sebagai korban.
Kita dapat mengenalinya dengan menggali apa perilaku B yang membuat A menganggap B toxic. Misalnya manipulatif, maka kita lihat lagi, manipulatif yang bagaimana? Manipulatif dengan tujuan apa? Apakah B sadar atau tidak ketika memanipulasi A? Apakah B justru sengaja memanipulasi A? Apakah A dirugikan dan jika iya separah apa? Apakah A benar-benar "korban"?
Perlu diingat, kadang-kadang kita hanya merasa sebagai korban, tapi ada juga saat di mana kita sebenarnya adalah korban. Jika ada kesulitan mengenali dan/atau menghadapi kondisi ini, gunakan bantuan profesional. Psikolog sudah banyak tersebar di puskesmas-puskesmas dengan biaya terjangkau dan ada banyak platform konsultasi psikologi dengan psikolog/psikiater secara daring/online yang relatif mudah.