Mohon tunggu...
Qalbi
Qalbi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa universitas pamulang

Fakultas hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam di Indonesia

15 Desember 2023   18:15 Diperbarui: 15 Desember 2023   18:15 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di susun oleh 

Qalbi

Nim 221010202015

Nadia ghea syalyshshysha

Nim : 221010201823

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum pidana Islam di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat dalam sistem hukum nasional. Hukum pidana Islam di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Pada tingkat nasional, hukum pidana Islam di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku secara umum di seluruh wilayah Indonesia. KUHP mengatur tentang tindak pidana yang melanggar hukum pidana Islam, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, dan perzinahan.

Selain itu, di beberapa provinsi di Indonesia, terdapat juga peraturan daerah yang mengatur tentang hukum pidana Islam. Misalnya, di Provinsi Aceh, diberlakukan Syariat Islam yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana Islam secara lebih khusus.

Hukum pidana Islam di Indonesia juga mengakui adanya hukuman tambahan berdasarkan hukum Islam, seperti hukuman cambuk, hukuman rajam, dan hukuman potong tangan. Namun, penerapan hukuman-hukuman tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan prosedur yang diatur dalam hukum pidana Islam.

Penerapan hukum pidana Islam di Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas, dan perlindungan hak asasi manusia. Hukum pidana Islam di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Pancasila dan UUD 1945.

Penting untuk dicatat bahwa hukum pidana Islam di Indonesia tidak berlaku secara universal di seluruh wilayah Indonesia. Hukum pidana Islam hanya berlaku di daerah-daerah yang telah menetapkan peraturan daerah yang mengatur tentang hukum pidana Islam.

Demikianlah pendahuluan singkat mengenai hukum pidana Islam di Indonesia. Penting untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari sumber-sumber yang terpercaya dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Hukum Islam  

Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih jinayah terdiri dari dua kata. Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti dan paham. Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul 

Wahab Khallaf adalah Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum- hukum syara yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. 

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Abd al Qodir Audah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Secara umum, pengertian jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu tindakan yang dilarang oleh syara (Al Quran dan Hadis) karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan dan akal (intelegensia). Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan- perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. 

Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam 

 Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil alQuran dan Hadis. Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. 

Abdul Wahhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya Ilmu Ushul al-Fiqh  

. Memelihara agama (hifzh al-din) 

. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs) 

. Memelihara akal (hifzh al-aql) 

. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl) 

. Memelihara harta (hifzh al-mal) 

Peluang dan Tantangan Hukum Pidana Islam di Indonesia  

Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ada beberapa hal yang membuat hukum pidana Islam semakin penting (urgent) untuk dipelajari; Pertama, kepentingan akademis. Kedua, kepentingan praktis. Ketiga, meningkatnya aspirasi di daerah terhadap hukum Islam. Keempat, pentingnya mencari konsepkonsep hukum baru.  

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang.13 Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan Undang-undang No. 1 tahun 1946. 

Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan Nederlansch-Indie atau 

Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan "Indonesie" atau "Indonesche", yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI (1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam 

ayat (2) kitab hukum itu diterjemahkan menjadi Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958. Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis.15 Ketiadaan HPI secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih). Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para penegak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut. Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular, sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut .  

BAB III

KESIMPULAN 

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana Islam telah, sedang dan tampaknya akan terus menjadi bahan kajian dalam studi hukum/ criminal justice baik di Indonesia maupun di negaranegara lain. Untuk menghindari kesalahfahaman dan pandangan negatif yang sempit sebaiknya para mahasiswa, akademisi, dan praktisi hukum dapat mengkaji Hukum Pidana Islam dari berbagai aspeknya. Alotnya pembahasan materi RUU KUHP nasional kita merupakan satu bukti bahwa tidak semua masyarakat kita sepakat 

untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum 

pidana Islam, termasuk umat Islam sendiri. Berbagai alasan dan argumen mereka kemukakan untuk menghalangi pemberlakuan HPI ini. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa alasan atau argumen yang dikemukakan pihak yang tidak menyetujui pemberlakuan HPI di negara kita adalah karena tidak memahami secara benar akan esensi dan hakikat HPI. Penulis berkeyakinan, jika mereka ini faham dan tahu betul akan hakikat HPI, pastilah RUU KUHP tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahasnya. Namun, jika kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka kondisi seperti ini harus menjadikan perhatian kita. Kita selalu berharap, semoga dalam waktu yang tidak lama upaya umat Islam untuk memiliki HPI yang bersifat nasional dapat terwujud di negara Pancasila yang mayoritas penduduknya umat Islam. 

     

        DAFTAR PUSTAKA  

Abdillah, Junaedi. (2017). Gagasan Reaktualisasi Teori Pidana 

Islam dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum di Indonesia, Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol.10 No.1 Mei 63-95.   

Abdul Gani, Abdullah. (2001). "Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional", Jakarta: Pustaka Firdaus.  

Abdillah, Masykuri. "Posisi Hukum Pidana Islam dalam Konteks Politik Hukum dan Perundangan Indonesia", makalah seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan, dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 22-23 Juni 1999.  

Al-Zuhayl, Wahbah. (1989). al-Fiqh al-Islm wa' Adillatuh, Damsyik: Dr al-Fikr.  

Arifin, Bustanul. (2001). "Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah", Jakarta: Pustaka Firdaus.  

Audah, Abdul Qadir. tt, At Tasyri Al JinaI Al Islami, Beirut:Dar Al-Kitab Al-Araby.  

_______________. (1987). Criminal Law of Islam, Karachi: International Publisher.  

Al-Syathibi , Al-Imam al-Hafizh al-Mujahid Abi Ishaq Ibrahim ibn Musa alGharnathi . t.t. al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dr al-Fikr. 

Bakri, Asafri Jaya. (1996). Konsep Maqashid Syariah menurut AlSyatibi. Jakarta: Rajawali Pers.  

Djazuli, A. (2000). Fiqih Jinayah upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.  

Djamil, Fathurrahman. (1997). Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Jakarta: Logos.  

Faisal. (2012). Menimbang Wacana Formalisasi Hukum Pidana Islam di Indonesia, Jurnal Ahkam, Vol. XII No 1 Januari 37-50.  

Khalf, Abd al-Wahhb. (1980). Ilm Ushl al-Fiqh, Kairo: Dr al- Kuwaitiyyah.  

M. Sularno. (2012). Membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia, Jurnal Al-Mawarid, Vol XXI Februari 21-31.  

Praja, Juhaya S. (1991). Filsafat Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.  

Santoso, Topo. Hukum Pidana Islam dalam Studi Hukum, Makalah disampaikan dalam Seminar Perkembangan dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, diselenggarakan oleh LKIHI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 7 Desember 2006. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun