Mohon tunggu...
Putri Azhari Ilhami
Putri Azhari Ilhami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Adalah seorang mahasiswa aktif yang menyukai Kpop dan kegiatan luar ruangan.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Dermaga dan Mbawana yang membawa ketenangan

29 Januari 2024   23:15 Diperbarui: 29 Januari 2024   23:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia

Tempat: Pantai Mbawana, Panenggo Ede, Kec. Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.

Karakter 1: Candra Cahari Nasution

Karakter 2: Dermaga

Karakter 3:  Nabastala Dion Nasution (Ayah Candra)

Karakter 4: Nimatika Arumelati (Ibu Candra)

Embusan angin menerpa wajah seorang perempuan dengan surai sebahu. Binar matanya kosong bak tak ada kehidupan— sampaikan raut nirbahagia. Cagak tanpa alas itu tapaki pasir halus berwarna putih, mematung menunggu entah apa yang berada di ujung samudera lepas.

Candra Cahari Nasution namanya, si anak tunggal keluarga Nasution yang kini menapaki usia 17 tahun. Ayahnya merupakan Nabastala Dion Nasution, pebisnis di bidang pariwisata dan ibunya adalah Nimatika Arumelati, seorang kepala koki yang handal.

Sudah sekitar dua jam ia berdiam diri di bibir Pantai Mbawana, membiarkan terpaan angin membawa jiwanya yang lepas entah kemana.

Dermaga: “Hey, sedang apa kamu melamun sendirian di sini?” 

Suara yang tiba-tiba terdengar buat Candra terkejut. Di sampingnya, ada seorang pemuda yang terlihat seumuran dengannya. Memakai baju biru, memiliki mata cantik berwarna cokelat dan rambut yang senada, menyapanya dengan suara lembut.

Candra: “Uh, eh? Siapa?”

Dahinya berkerut penuh tanda tanya. Sedangkan pemuda asing di hadapannya terkekeh sembari mengulurkan tangannya.

Dermaga: “Maaf sebelumnya, aku Dermaga. Aku melihatmu dari jauh lalu datang menghampiri karena penasaran.”

Sang puan menjawab uluran tangan itu dengan singkat.

Candra: “Ah aku Candra, hanya sedang berjalan-jalan karena suntuk.”

Bohong. Karena nyatanya, Candra sedang kabur.

Keluarga Nasution merupakan keluarga kaya raya yang memiliki bisnis pariwisata terbesar se-Indonedia. Mereka sedang melakukan proyek bisnis di sekitar pantai Mbawana. Ia terpaksa ikut dan bertingkah menjadi seorang puteri yang manis dan penurut. Padahal jauh di dalam hatinya, ia ingin bebas.

Dermaga: “Jadi, kenapa kamu terlihat sedih menatap lautan? Ada yang ingin kau sampaikan pada mereka?”

Candra sedikit terkejut, dalam hati berfikir mengapa pemuda itu bisa tahu isi pikirannya. Candra kemudian membiarkan tubuhnya duduk di atas pasir putih, tak pedulikan pakaiannya yang mungkin akan kotor karena pasir. Toh, ayahnya hanya akan memarahinya. Selalu seperti itu.

Namun entah bagaimana, sore itu Candra ingin mengungkapkan ceritanya. Perasaan berat karena terus memendam ceritanya seakan ingin ia luapkan begitu melihat pemuda bernama Dermaga dan Laut di hadapannya.

Candra: “Dermaga, kau tahu? Ternyata hidup mewah tidak semenyenangkan itu.”

Dermaga: “Kenapa kamu berpikir seperti itu? Berkenan untuk cerita? Aku bisa mendengarkan ceritamu di sini.”

Dermaga kemudian ikut duduk di samping sang puan sembari ikut menatap lautan biru di hadapannya.

Candra: “Karena nyatanya, aku ingin memiliki kehidupan biasa. Bebas melakukan apapun seperti burung-burung yang terbang bebas di atas sana.”

Sang gadis menatap nanar pada kumpulan burung yang tengah terbang bebas. Turut menghiasi langit jingga yang nampak cantik.

Candra: “Aku… Lelah bertingkah manis, menjadi boneka dari keluargaku yang selalu menganggapku barang yang tak boleh pecah. Karena nyatanya, aku hanyalah gadis biasa, Dermaga.”

Dengan pasti, Candra mulai menitikan air mata. Deruan ombak seakan membiarkan emosinya keluar saat itu juga. Ia sudah lelah menahan segalanya seorang diri. Dengan kehadiran Dermaga yang ingin mendengarkan kisahnya, Candra bisa mengungkapkan hal yang dipendamnya selama ini.

Candra: “Nilaiku harus sempurna, aku harus mengikuti berbagai jenis kursus dan harus mendapatkan poin bagus dimanapun aku berada. Lalu mereka menentangku untuk bermain dengan sembarang orang dan hanya memperbolehkanku bermain dengan keluarga kaya yang sangat tidak menyenangkan. Dermaga, aku hanya ingin menghabiskan waktuku seperti gadis-gadis lainnya.”

Air mata semakin mengalir dengan deras dari kedua kelopak matanya. Candra menutupi wajahnya sembari menangis tersedu. Dermaga dengan perlahan mulai menepuk bahu sang puan untuk menenangkannya. 

Dermaga: “Tak apa, wajar jika kamu merasa seperti itu… Apakah kamu pernah berbicara dengan ayahmu tentang hal ini?”

Candra menggeleng sebagai jawaban, kemudian mendongak untuk kembali menatap lautan lepas. Ia terlalu takut untuk memulai percakapan dengan ayahnya. Namun ia memang belum pernah jujur kepada kedua orang tuanya yang terlampau sibuk.

Candra: “Aku terlalu takut dan kedua orang tuaku sibuk. Kau tahu sendiri baik ayah maupun ibuku tak pernah memiliki waktu untuk berbicara denganku kecuali untuk urusan bisnis.”

Dermaga: “Tetapi bagaimanapun juga, kamu harus mencobanya, setidaknya sekali. Tak ada yang tahu, mungkin ayahmu bisa mendengarkanmu yang ingin berbicara jujur?”

Ucapan Dermaga, anehnya, ada benarnya. Membuat Candra mengangguk, mungkin ia memang harus mencobanya. Pemuda asing di sampingnya berhasil membawanya untuk keluar dari zona nyamannya dengan berusaha untuk berbicara dengan kedua orang tuanya.

Candra: “Baiklah mungkin akan kucoba malam ini…”

Dermaga: “Kalau begitu kau harus kembali, sudah hampir malam dan waktu makan malam sebentar lagi. Bicaralah dengan ayah dan ibumu malam ini, dengan lapang dada. Tenangkan dirimu.”

Dermaga tersenyum, Candra pun menatap langit yang kian menggelap kemudian ia kembali ke penginapan. Candra akan berbicara pada ayahnya malam ini. Namun sebelum Candra sempat mengucap terima kasih pada Dermaga, pemuda itu hilang entah kemana. Ah, mungkin ia sudah kembali ke rumahnya? Dan Candra tak ambil pusing.

——————

Malamnya setelah makan malam, Candra meminta kedua orang tuanya untuk mengobrol dengannya, dan untuk malam ini secara ajaib, kedua orang tuanya ingin mengobrol bersamanya.

Maka di sinilah ketiga orang tersebut berkumpul, di sebuah ruang keluarga yang cukup besar yang berada di penginapan.

Arumelati: “Jadi ada apa nak? Tumben sekali kamu meminta kami untuk mengobrol?”

Sang ibu membuka percakapan sembari menyesap teh panas di tangannya. Sedangkan sang ayah berdeham setuju dengan ucapan sang ibu. Candra menghela nafas berat, mengembuskannya perlahan sebelum memulai ucapannya.

Candra: “Ibu, ayah, Candra ingin mengeluarkan keluh kesah Candra yang selama ini selalu menuruti ucapan ibu dan ayah..”

Candra: “Candra… lelah jika dituntut ini itu oleh ayah dan ibu. Candra sudah lelah, Candra sudah tidak mau menjadi boneka ayah ibu yang selalu dituntut untuk sempurna. Candra ingin… menjadi seperti gadis lainnya yang menikmati masa muda mereka dengan bebas.”

Candra kembali utarakan hal terpendam. Ada jeda hening sesaat, kedua orang tuanya terdiam menatapnya dan Candra berpikir bahwa orang tuanya mungkin akan memarahinya kali ini, dan ia akan terus dituntut menjadi sempurna. Hingga Candra kembali menitikan air matanya.

Candra: “Candra minta maaf jika Candra terdengar lancang, namun Candra benar-benar sudah lelah dan menginginkan kebebasan. Candra  ingin bermain dengan teman-teman Candra tanpa ada paksaan dari ibu dan ayah tentang dengan siapa Candra harus bermain.”

Candra: “Candra juga… Ingin diperlakukan seperti anak sungguhan, bukan alat… Candra ingin menghabiskan waktu dengan ayah dan ibu.”

Candra terisak lagi, kali ini raut kedua orang tuanya melunak. Pada akhirnya kedua orang tuanya sadar bahwa anaknya menginginkan hal yang sederhana, namun mereka tidak menyadarinya.

Dion: “Maafkan ayah, nak… Sepertinya kami memang kurang peka dengan perasaanmu.”

Arumelati: “Ibu juga minta maaf karena ibu jarang mendengarkanmu cerita… Ibu akan berusaha membuatmu nyaman, nak.”

Candra terkejut mendengarnya. Ternyata jika ia berbicara jujur, kedua orang tuanya akan mendengarkannya. Senyuman pun terukir pada wajahnya, beserta tangis yang sedikit mereda.

Candra: “Benarkah…?”

Arumelati: “Benar nak, Maafkan ibu, ya?”

Dion: “Bagaimana jika sisa liburan ini kita habiskan bersama untuk membangun kembali keluarga ini?”

Senyuman Candra merekah mendengarnya. Kedua orang tuanya kemudian bangkit untuk memeluk anak semata wayangnya, dan Candra untuk pertama kalinya merasakan kebahagiaan yang selama ini tak pernah ia rasakan.

——————

Sisa hari mereka di Pantai Mbawana membawa kebahagiaan pada keluarga Nasution. Pemandangan indah dari samudera biru dan hamparan pasir putih nyatanya membuat mereka menjadi lebih dekat dan saling mengerti satu sama lain.

Ketika Candra akan pulang ke Jakarta, ia kembali ke pantai sebentar untuk mencari Dermaga yang membuatnya berani untuk mengungkapkan kejujuran kepada kedua orang tuanya.

Candra: “Dermaga!!”

Seru Candra dengan sumringah saat menemukan sosok pemuda yang ditemuinya tempo hari. Yang diserukan pun menjawab dengan lambaian tangan sembari berjalan mendekat. 

Dermaga: “Kau terlihat lebih bahagia sekarang. obrolanmu berjalan lancar?”

Sang adam bertanya sembari tersenyum. Nada lembutnya masih sama seperti beberapa hari yang lalu.

Candra: “Ya.. Terima kasih, ini semua berkat kamu”

Dermaga: “Tidak, kau pun berani mengutarakan perasaanmu pada kedua orang tuamu dengan jujur.”

Candra terkekeh riang.

Candra: “Aku akan pulang hari ini, tetapi aku akan kembali ke sini. Nanti, kita harus bertemu lagi, ya?”

Dermaga: “Datanglah, aku akan selalu ada di pantai ini.”

Candra: “Kau itu semacam penjaga pantai ya?? Aku selalu menemukanmu di sini hahaha.”

Candra melontarkan candaan, namun hanya dibalas senyuman oleh Dermaga.

Dermaga: “Ada betulnya, sedikit. Hahaha. Sampai jumpa di lain waktu Candra, hati-hati di jalan ya?”

Candra: “Oh, sebentar Dermaga, tolong simpan nomor— mu… Dermaga?”

Dermaga ucapkan salam perpisahan, kemudian Candra merogoh tasnya, berniat bertukar kontak dengan Dermaga untuk saling berhubungan namun Dermaga sudah tak ada di sana bersamaan dengan suara deburan ombak yang kencang di hadapan.

Candra mematung sesaat, kebingungan. Kemana lagi perginya pemuda itu? Namun seruan dari ayahnya yang menyuruh sang gadis untuk segera pulang buyarkan lamunannya. Hingga sebuah cangkang kerang berwarna biru— yang mirip dengan baju Dermaga, tiba-tiba berada di dekat kakinya.

Candra tersenyum, meraih cangkang kerang itu untuk ia bawa pulang. Mungkin saja, Dermaga memanglah penjaga laut ini. Tetapi apapun itu, ia berterima kasih kepada pemuda itu karena terlah membantunya untuk jujur dan lebih bersyukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun