Konten sejenis ini disebut juga dengan Poverty Porn. Istilah ini merujuk pada adanya konten yang berisi eksploitasi kemiskinan untuk mendatangkan penonton dengan memancing empati. Dilansir dari CXO Media, istilah poverty porn disini digunakan karena adanya kesamaan dengan pornografi itu sendiri.Â
Dalam konten pornografi, yang dijual adalah imajinasi tentang seks. Dan dalam poverty porn, imajinasi tentang kemiskinan inilah yang dijual. Kemiskinan akan dipotret sedemikian rupa, dibumbui dengan foto yang menyedihkan, narasi yang mengharu biru, backsound yang mendukung.Â
Para pembuat konten, organisasi, atau berbagai pihak sering menjual potret kemiskinan ini sebagai sarana penarik penonton. Misalnya nih, saat ada acara ajang lomba penyanyi dangdut, ada salah satu peserta yang dikisahkan memiliki masa kecil yang kurang beruntung dan 'jungkir-balik' berusaha untuk sampai ikut ajang menyanyi tersebut.Â
Atau salah satu acara bagi-bagi duit kepada orang miskin dengan berbagai tantangan di belakangnya. Karena kisah-kisah inilah, ego dan empati penonton terpuaskan hingga rating acara naik secara signifikan.
Namun, apa yang menjadi masalah?
Masalah Etika
Dalam konten poverty porn, eksploitasi kemiskinan ini biasanya dilakukan tanpa ada usaha menjaga privasi. Misalnya nih, ada video YouTube berisi seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada tukang becak yang sedang mangkal.Â
Konten-konten sejenis ini biasanya merekam menggunakan kamera tersembunyi. Tentunya, tanpa ada persetujuan pihak yang direkam. Alhasil, banyak orang-orang yang dianggap kurang beruntung ini wajahnya 'nampang' dimana-mana, bahkan menjadi tumbnail video.Â
Padahal, yang mereka tau, mereka hanya diberikan sejumlah uang dan berterimakasih atas bantuan tersebut, tanpa mengetahui kondisi mereka dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendapatkan views dan empati.
Bayangkan, potret mereka menjadi jejak digital yang sangat sulit dihapus. Bahkan, jejak digital ini bisa membayangi hingga anak cucu mereka nanti.Â
Melekatnya Stereotip
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stereotip berarti berbentuk tetap atau berbentuk klise. Barker (2004) mendefinisikan stereotip sebagai representasi terang- terangan namun sederhana yang mereduksi orang menjadi serangkaian ciri karakter yang dibesar-besarkan, dan biasanya bersifat negatif. Atau sederhananya, stereotip adalah pandangan tetap terhadap suatu kelompok atau golongan.
Stereotip kemiskinan tentang suatu golongan bisa dibentuk dan melekat dengan sempurna dengan sarana konten poverty porn. Misalnya, karena adanya bencana kekeringan dan kelaparan di Afrika, potret orang-orang yang menderita kelaparan 'dijual' sebagai embel-embel pendukung agar banyak orang yang berdonasi.Â