Mohon tunggu...
PUZAN BUARDI
PUZAN BUARDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN SGD BANDUNG

PROLETARIAT

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Sosiologis Politik Tan Malaka dan Kritik Terhadap Implementasi Trias Politica di Indonesia

15 Desember 2024   03:42 Diperbarui: 15 Desember 2024   03:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ABSTRAK

Studi ini membahas tentang Pemikiran Politik Tan Malaka Terkait Kemerdekaan dan Konsep Negara Indonesia. Pemikiran Tan Malaka muncul melalui berbagai karyanya yang mencerminkan karakter dan perspektif hidupnya, serta ideologinya. Keunikan dalam pemikiran Tan Malaka terlihat dalam karyanya. Fokus utama dari pemikiran dan perjuangan Tan Malaka adalah untuk membebaskan bangsanya dan merombak keseluruhan struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Penelitian ini termasuk dalam kategori studi pustaka. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, yang berarti penulis mengumpulkan buku, dokumen, artikel, naskah, dan sejenisnya. Pendekatan yang digunakan adalah studi tekstual, studi konteks, dan studi sejarah. Analisis data dilakukan melalui heuristik, kritik, interpretasi, dan penyajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tan Malaka berperan penting dalam politik perjuangan negara Indonesia. Terdapat banyak karya yang dihasilkan oleh Tan Malaka, salah satunya adalah Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika yang dianggap sebagai salah satu karya terbaik dan paling berpengaruh. Dasar pemikiran Madilog adalah kondisi mental masyarakat Indonesia yang umumnya telah terbiasa dengan sistem perbudakan. Setelah lebih dari 3,5 abad berada di bawah kolonialisme, Indonesia secara perlahan kehilangan mental kemerdekaannya, di samping dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran mistis dan tidak rasional.

Kata kunci: Politik, Trias Politica, Komunisme, Imperialis, Sosialisme, Kapitalisme.

ABSTRACT

This study discusses Tan Malaka's political thoughts regarding independence and the concept of the Indonesian state. Tan Malaka's thoughts emerge through his various works which reflect his character and perspective on life, as well as his ideology. The uniqueness of Tan Malaka's thinking can be seen in his work. The main focus of Tan Malaka's thoughts and struggle was to liberate his nation and overhaul the entire economic, political, social and cultural structure. This research is included in the literature study category. The data collection technique used in this research is library research, which means the author collects books, documents, articles, manuscripts, and the like. The approaches used are textual studies, context studies, and historical studies. Data analysis is carried out through heuristics, criticism, interpretation and presentation. The research results show that Tan Malaka played an important role in the political struggle of the Indonesian state. There are many works produced by Tan Malaka, one of which is Madilog: Materialism, Dialectics and Logic which is considered one of the best and most influential works. The basis of Madilog's thinking is the mental condition of Indonesian people who are generally accustomed to the slavery system. After more than 3.5 centuries under colonialism, Indonesia is slowly losing its independent mentality, as well as being influenced by mystical and irrational thoughts.

Key words: Politics, Trias Politica, Communism, Imperialism, Socialism, Capitalism.

 

PENDAHULUAN

Sudah beratus-ratus tahun, Indonesia telah menjadi sasaran penjajahan dan eksploitasi oleh pihak asing. Sejak masa Portugis hingga Jepang, telah dilakukan banyak aksi perlawanan untuk menyingkirkan penjajahan dan terbebas dari kolonialisme. Perjuangan tersebut meliputi berbagai bentuk perlawanan, seperti perjuangan fisik, budaya, politik, dan juga pemikiran yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Perlawanan ini akhirnya membawa Indonesia menuju kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 (Dedi, 2018). Kebebasan yang dinikmati oleh bangsa Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari usaha dan pengorbanan berbagai pahlawan yang memberikan ide-ide maupun pemikiran politik mereka, serta partisipasi rakyat yang bersama-sama berjuang untuk menyatukan bangsa. Hal ini memungkinkan kita untuk merasakan kemerdekaan seperti yang ada sekarang (Ponirin & Silaban, n.d.). Seperti dinyatakan oleh (Aslamah, 2011), meskipun banyak pahlawan yang berjuang, tidak sedikit nama pahlawan yang terlupakan. Ini bukan karena disengaja dilupakan, tetapi memang ada yang dihapus dari ingatan pada masa itu karena status mereka sebagai pahlawan nasional masih dipertanyakan.

Salah satu tokoh pahlawan yang masih menjadi bahan diskusi dan penelitian oleh para sejarawan adalah Tan Malaka, yang dikenal sebagai pahlawan yang kontroversial. Tan Malaka adalah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaannya seringkali diselimuti misteri, karena dia sering melakukan penyamaran yang membuat orang bertanya tentang perannya dalam Pergerakan Nasional dan dalam ranah politik (PRATAMA, 2019). Tan Malaka juga memiliki peran signifikan dalam merumuskan ide-ide kemerdekaan Indonesia. Namun, kehadirannya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, Tan Malaka dianggap sebagai pahlawan sejati, tetapi di sisi lain dihargai sebagai seorang Komunis (PKI) yang ingin mendirikan negara Komunis di Indonesia. Pemikiran Tan Malaka mencakup beberapa aspek, seperti Filsafat Politik, Filsafat Manusia, dan Filsafat Sejarah. Khususnya, ide-ide Tan Malaka menganalisis konsep negara dan sistem ekonomi yang ideal bagi Indonesia. Padahal, pemikirannya tentang negara yang berdaulat dalam ranah politik dan ekonomi merupakan salah satu usaha Tan Malaka untuk membangun Indonesia (Permata, 2011). Tan Malaka memiliki perspektif unik tentang bentuk negara dan sistem ekonomi yang adil, yang berbeda dengan pandangan tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya seperti Soekarno, Moh. Hatta, dan Sutan Sjahrir. Perbedaan pandangan ini membuat Tan Malaka tampak bertentangan dengan kebijakan pemerintah di awal kemerdekaan. Dalam analisisnya tentang perkembangan masyarakat Indonesia, Tan Malaka membagi evolusi masyarakat menjadi tiga fase. Fase pertama adalah fase Indonesia asli. Fase kedua adalah fase Hindu-Belanda, yang dianggap sebagai masa kegelapan, dan fase ketiga adalah fase Indonesia Merdeka serta Sosialis (Alamudi, 2023).

Tan Malaka memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di hadapan polisi Inggris, Murphy, di Hongkong pada tahun 1932, Tan Malaka menulis dalam bukunya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara: Ingatlah bahwa suara saya dari alam kubur akan lebih menggemakan daripada di bumi ini. Pernyataan tersebut seolah memberikan gambaran yang kuat. Setelah runtuhnya Orde Baru, kita menemukan banyak karya Tan Malaka. Ada banyak buku yang dianggap kontroversial dan dilarang. Salah satu karya terkenalnya adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Aksi Massa, Naar de Republik (Menuju Republik Indonesia), serta tulisan lainnya yang mencerminkan semangat muda dan kemerdekaan secara penuh (Adi Setiawan, 2017).

Salah satu ide menarik untuk diperbincangkan kembali adalah pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam Madilog: Materialisme Dialektika Logika. Madilog merupakan karya pemikiran yang mencerminkan konsep Tan Malaka yang kaya dengan ide modernis dalam kerangka Marxisme, terlihat dari sudut pandangnya yang kontemporer sebagai seorang Minangkabau. Meskipun ideologinya berakar pada paham modern, hal inilah yang memberikan daya tarik pada pemikirannya karena ia adalah seorang Minangkabau yang mengusung gagasan modern sekaligus nasionalis (Kusumo, 2010).

Karya seorang intelektual tersirat dalam Madilog, di mana pemikiran Tan Malaka berkontribusi pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks ini, Tan Malaka menunjukkan bahwa dirinya bukanlah seorang intelektual yang hanya mencari solusi berdasarkan teori di dalam kenyamanan ruang kerja yang megah. Identitas budaya Minangkabau tergambar dalam cara pikirnya yang selalu mempertimbangkan proses sesuai dengan tempat dan sesuai dengan logika. Hal ini membawanya untuk menemukan kesamaan budaya dalam cara berpikir meski pada bidang yang berbeda (Hutabarat, 2010).

 

METODE PENELITIAN

   Penelitian yang berfokus pada kajian literatur adalah analisis terhadap berbagai informasi konseptual serta data kualitatif dan kuantitatif yang terdapat dalam artikel ilmiah yang telah dipublikasikan sebelumnya. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah studi literatur yang berfungsi sebagai panduan untuk menganalisis suatu permasalahan penelitian (tinjauan penelitian) (Mulyadi, 2012). Dalam kajian literatur ini, digunakan jurnal internasional dan nasional yang sudah diringkas dan dianalisis. Penelitian kajian literatur ini berlangsung dari September sampai Mei 2023. Tipe penelitian ini adalah studi literatur. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur, yang berarti penulis mengumpulkan buku, dokumen, artikel, naskah, dan sejenisnya. Dengan pendekatan: studi tekstual, studi konteks, dan studi sejarah.

PEMBAHASAN

  • Konsep Negara, Hakikat Negara, Tujuan Negara Dan Upaya Tan Malaka Dalam Merealisasikannya Menurut Idealnya Serta Kritikannya  Terhadap Trias Politika Montesquieu

Pemikiran dan usaha yang dilakukan oleh Tan Malaka terfokus pada satu tujuan utama. Yaitu bagaimana melepaskan bangsanya sambil melakukan perubahan total terhadap seluruh sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Jauh sebelum Soekarno menerbitkan "Indonesia Menggugat" pada tahun 1932 yang mengungkapkan makna penting kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atau Mohammad Hatta yang mengarah ke kemerdekaan Indonesia pada tahun 1930. Sementara itu, Tan Malaka menulis pamflet berjudul "Naar de Republik Indonesia" yang merupakan pandangan pertama menuju kemerdekaan Indonesia yang dirilis di Kowloon, China, pada April 1925, saat ia berada dalam pengasingan. Dalam pamflet tersebut, semua gagasan, program, dan konsep mengenai negara Indonesia dituangkannya (Zulhelmi, 2015).

Keinginannya yang kuat untuk berkontribusi dalam gerakan kemerdekaan membawanya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia yang didirikan di luar Uni Soviet pada masa itu. Tan Malaka, sebagaimana diuraikan oleh Alfian (1981: 157), adalah seorang intelektual dari Minangkabau yang menerima visi dan idealisme adat serta filsafat hidup masyarakat Minangkabau. Cara berpikir yang diperkenalkannya selaras dengan visi rantau: tesis-antitesis-sintesis. Dalam konteks ini, Tan Malaka berperan sebagai antitesis yang berkonflik dengan tesis. Dari sini lahir sintesis yang menjadi hasil pemikiran atau idealisme baru yang mendorong setiap orang untuk melakukan perubahan dan memperbaiki nasib mereka. Tan Malaka telah memeriksa gambaran tentang negara ideal. Dalam karyanya, "Naar de Republik" (Menuju Republik Indonesia), ia adalah pelopor pemikiran Indonesia. Ia berjuang tanpa kenal lelah melawan kolonialisme. Sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam pengasingan dan pengusiran. Tidak dapat disangkal bahwa Tan Malaka adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pemikirannya sendiri. Selain itu, ia juga memperluas cara berpikir dalam bukunya "Madilog" (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Dalam "Madilog", Malaka (2017: 123) mengajak pembaca untuk menggunakan pemikiran "rasional" karena pengetahuan dan cara berpikir seperti itu merupakan puncak peradaban manusia dan langkah awal menuju masa depan. "Madilog" adalah suatu pendekatan baru yang bisa digunakan untuk melawan cara berpikir lama yang sangat dipengaruhi oleh dunia mistis, yang membuat orang menyerah pada alam.

Tan Malaka mengungkapkan bahwa negara sosialis muncul akibat adanya konflik kelas. Pertentangan ini terjadi sebagai akibat dari pertikaian antar kelas. Konflik ini timbul seiring dengan perkembangan suatu negara yang dipengaruhi oleh hukum dialektika, yaitu tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis yang dimaksud Tan Malaka adalah masyarakat yang dibentuk atas dasar kepemilikan bersama terhadap alat dan hasil produksi. Antitesisnya adalah masyarakat kapitalis yang mulai terfragmentasi karena kepemilikan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Syntesisnya, ia merujuk kepada masyarakat di seluruh dunia yang berjuang untuk menuju masyarakat komunis modern.

Dengan kata lain, negara Indonesia lahir dari hasil revolusi nasional yang mengusir penjajahan ekonomi dan politik oleh negara asing yang berkuasa di Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu, revolusi nasional menjadi penting untuk membentuk sebuah sistem kehidupan yang bebas dari penindasan dan mendukung keadilan, serta pengaturan atas kepemilikan alat produksi; rencana pembangunan nasional perlu disusun agar imperialisme tidak muncul kembali, meskipun hanya dalam bentuk penguasaan ekonomi.

Republik menurut Tan Malaka berarti semua keputusan ada di tangan rakyat, bahkan jika itu adalah keputusan terakhir. Suara rakyat mencerminkan sejauh mana kemerdekaan masyarakat dalam suatu negara. Ketika membahas bentuk negara yang merdeka, Tan Malaka menyatakan bahwa ada beberapa jenis republik. Tidak semua yang berstatus republik memberikan semua hak kepada semua golongan. Dengan demikian, terdapat berbagai jenis negara yang berbentuk republik. Misalnya, ada republik aristokratik yang dikuasai oleh kaum bangsawan seperti Republik Sparta di masa lalu, republik plutokratis yang dikuasai oleh orang kaya, dan republik demokratis, di mana rakyat memiliki kekuasaan. Di dalam republik demokratis, rakyat memiliki kendali penuh. Inilah sebenarnya karakter negara modern yang signifikan saat ini. Di sini, rakyat yang berdaulat menentukan mana yang dianggap baik atau buruk dalam undang-undang, yang mencakup pemilihan dan pengunduran presiden, para menteri, dan wakil dewan negara. Dalam pandangan Tan Malaka, di sinilah hak-hak fundamental hampir semua lapisan masyarakat dilindungi.

Pada dasarnya, gagasan dan perjuangan Tan Malaka berfokus pada bagaimana membebaskan bangsanya dan melakukan perubahan total terhadap seluruh sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Sebelum Sukarno menulis "Indonesia Menggugat" pada tahun 1932 yang menjelaskan pentingnya kemerdekaan bagi Indonesia, atau Hatta dengan "Menuju Indonesia Merdeka" pada tahun 1930, Tan Malaka telah menerbitkan pamflet yang berjudul "Naar de Republik Indonesia" sebagai rencana untuk mencapai kemerdekaan Indonesia yang pertama kali terbit di Kowloon, Cina, pada bulan April 1925 saat ia berada dalam pengasingan. Semua pemikiran, program, dan konsep mengenai negara Indonesia sudah diuraikannya di dalam pamflet tersebut. Keinginannya untuk terlibat dalam gerakan kemerdekaan membawanya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia yang didirikan di luar Uni Soviet. Semangat dan komitmennya yang tinggi dalam gerakan tersebut tetap kuat. Setelah bergabung dengan PKI, ia merencanakan berbagai bentuk pendidikan untuk anggota PKI agar dapat menyusun sistem kursus kader, mengajarkan ajaran komunis, keterampilan berbicara, jurnalistik, dan cara mengorganisir rakyat.

Agar perjuangannya untuk kemerdekaan lebih efektif, Tan Malaka mulai memikirkan alat politik sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Pada tahun 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Thailand. Partai ini menolak untuk berkoordinasi dengan Komintern. Bersama Soebakat dan Djamaluddin Tamin, PARI menyatakan bahwa mereka independen dari Komintern dan PKI. Upaya PARI didasarkan pada pamflet "Naar de Republik Indonesia" sebagai gerakan bawah tanah yang bertujuan memimpin revolusi Indonesia menggantikan peran PKI. Namun, setelah dua tokoh kepercayaan Tan Malaka tertangkap, PARI sebagai gerakan kiri di Indonesia tidak berkembang dengan baik.  Tan Malaka menjelaskan rencana merdeka 100 persennya secara lebih mendalam dalam sebuah brosur yang ia tulis di Surabaya. Brosur tersebut berjudul "Politik" dan diikuti dengan tulisan "Rencana Ekonomi" dan "Moeslihat". Ketiga brosur ini saling terkait satu sama lain. Ia memulai penjelasan gagasan merdeka 100 persen dengan perumpamaan burung gelatik. Burung gelatik tampak lemah dan selalu terancam oleh musuh. Di cabang rendah, ia harus waspada terhadap kucing, sementara di cabang tinggi, ia harus waspada terhadap elang. Ia hidup dalam ketakutan dan merasa terancam. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari segala teror dan rasa takut.

Dalam bukunya "Dari Penjara ke Penjara", ia menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi negara merdeka harus jelas. Ilmu kenegaraan resmi mendefinisikan negara merdeka hanya dengan tiga syarat: wilayah, penduduk, dan pemerintah. Tan Malaka merasa perlu adanya perbaikan dan penambahan karena negara modern tidak dapat hidup dengan aman hanya berdasarkan tiga syarat tersebut. Setidaknya, ada tiga syarat tambahan yang harus diperhatikan: industrialisasi, pasokan bahan mentah, dan lokasi yang strategis.

Sementara itu, saat kita meneliti tulisan Tan Malaka dalam bukunya "naar de republik" yang terbit pada tahun 1925, ia menegaskan bahwa ia sebenarnya memikirkan gagasan republik, tetapi tidak setuju dengan sistem parlemen atau trias politika. Ia berpendapat bahwa negara yang mengikuti prinsip trias politika dalam sistem parlementer adalah tindakan yang bodoh dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Ini terutama berlaku dalam konteks negara merdeka yang masih dalam tahap awal, di mana pemisahan antara lembaga kekuasaan akan menciptakan perbedaan dalam pemahaman atas kenyataan, sehingga dapat menyebabkan konflik antara hukum dan keadaan yang sesungguhnya. Menurut Tan Malaka, sebuah negara harus beroperasi secara efisien dan efektif. Ini berarti demokrasi parlementer bukanlah satu-satunya model demokrasi perwakilan atau metode dalam pengelolaan negara.

Konsep republik menurut Tan Malaka tidak sesuai dengan trias politika yang dijelaskan oleh Montesquieu, melainkan adalah negara yang dikelola oleh sebuah organisasi tunggal seperti yang telah dicontohkan sebelumnya. Tampak jelas bahwa Tan Malaka skeptis terhadap parlemen; ia berpendapat bahwa pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif hanya akan merusak negara. Pemisahan antara mereka yang merumuskan undang-undang dan yang menerapkan aturan menyebabkan adanya ketidakselarasan antara hukum dan praktik nyata.

Pembagian kekuasaan yang meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif (parlemen) hanya akan menimbulkan kerusakan. Para pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah mereka yang berhadapan langsung dengan masalah yang ada. Eksekutif sering kali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya ketika peraturan ditetapkan oleh orang-orang yang hanya mengamati isu dari jarak jauh (parlemen). Dalam sistem demokrasi parlementer, ritual pemilu biasanya terjadi setiap 4, 5, atau 6 tahun sekali. Dalam rentang waktu yang panjang ini, mereka telah membentuk kelompok terpisah yang menjauh dari masyarakat. Mereka telah membentuk kelas yang jauh lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya, sementara kebutuhan dan pikiran rakyat terus berubah. Karena para anggota parlemen tidak lagi berinteraksi dengan masyarakat, mereka seharusnya tidak lagi dianggap sebagai wakil rakyat.

Tan Malaka menegaskan bahwa keberadaan parlemen dalam republik tidaklah diperlukan, yang berarti bahwa suatu negara Indonesia di masa depan tidak akan memerlukan lembaga legislatif. Karena pandangan ini, Tan Malaka sangat menentang maklumat yang dikeluarkan oleh wakil presiden nomor x pada tahun 1945 mengenai pembentukan partai-partai politik. Menurutnya, partai-partai pada akhirnya hanya akan berujung di parlemen dan bersatu dengan pemerintahan (eksekutif). Di dalam pandangan Tan Malaka, suatu negara harus dikelola oleh satu organisasi tunggal. Dalam struktur organisasi tersebut, kewenangan dibagi menjadi pelaksana, pengawas, dan badan peradilan.

  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Tan Malaka; Tentang Kemerdekaan Indonesia Dan Pengaruh Marxisme 

Dalam buku karya Zulhasril Natsir yang berjudul "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," diulas tentang keterkaitan antara revolusi Tan Malaka dengan faktor sosial budaya Minangkabau serta gerakan kiri yang menolak penjajahan. Buku ini berupaya meneliti elemen-elemen egaliter dalam masyarakat Minangkabau yang muncul dari tokoh-tokoh daerah tersebut yang terlibat dalam gerakan kiri. Ideologi Tan Malaka diyakini merupakan refleksi dari budaya dan sejarah yang dilalui, dengan pengaruh gagasan seperti marxisme yang dia pelajari sepanjang perjuangannya di Eropa, Asia, dan di tanah kelahirannya.

Anak laki-laki Minang biasa diajarkan ilmu bela diri dan juga diwajibkan untuk belajar agama setiap hari. Sebagai anak dari keluarga yang sangat religius, Tan Malaka tentu saja memiliki pemahaman yang mendalam tentang keyakinannya. Bahkan dijelaskan dalam buku "Islam dalam Tinjauan Madilog" (1951), saat masih kecil, Tan Malaka sudah dapat memahami tafsir Al-Quran dan diakui sebagai guru muda. Dari pemahaman tentang Islam tersebut, terlihat adanya kesamaan dengan perjuangan sosialisme yang ia lakukan. Keyakinan Islam yang kuat dalam dirinya menjadikan dirinya dicap sebagai Trotskyis, yang dianggap telah berikrar untuk keluar dari komunisme. Sejak lahir, Tan Malaka sudah mengalami hidup dalam keadaan terjajah, ia diperkirakan lahir pada 1894 dan telah memasuki pendidikan dasar pada tahun 1903. Di sisi lain, pada tahun 1899, ide yang digagas oleh Conrad Theodore van Deventer telah mempengaruhi Indonesia melalui artikel yang diterbitkan di media "De Gids" yang berjudul "Een Eereschuld" (utang kehormatan) pada tahun yang sama (Suhartono, 1994:16).  Bisa dikatakan bahwa Tan Malaka adalah contoh nyata dari dampak politik etis yang sedang berlangsung di Indonesia pada waktu itu. Setelah menempuh pendidikan di Belanda, pada tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia dengan bekal pengetahuan yang diperolehnya. Sekolah pertama yang ia tempati adalah sebagai guru untuk anak-anak di perkebunan di Sumatera Timur. Di sinilah para kapitalis menguasai dan mengeksploitasi tanah, serta memperlakukan buruh pribumi dengan cara yang sangat kejam.

Dengan perlahan, Tan Malaka mulai terlibat dalam gerakan politik yang membawanya pada pilihan untuk tunduk atau melawan. Ia harus memilih antara tetap sebagai guru dengan imbalan tinggi dari kerja keras rakyatnya atau meninggalkan semua kenyamanan untuk berjuang melawan praktik yang tidak adil. Memutuskan untuk melangkah ke pusat gerakan di Jawa, Tan Malaka datang dengan semangat yang membara. Di sana ia bertemu dengan para aktivis dan bergabung dengan Serikat Dagang Islam (SDI) serta menjadi ketua Partai Komunis Indonesia menggantikan Semaun. Organisasi ini menjadi alat politik dan langkah awal perlawanan Tan Malaka, yang kemudian membawanya untuk mendirikan Partai Republik Indonesia dan Partai Murba, meskipun tidak bertahan lama. Ketika memasuki arena perjuangan yang berbahaya, ia dengan penuh kesadaran siap untuk menghadapi gerakan rakyat yang nyata dan melawan kolonialisme serta imperialisme secara langsung.

Faktor yang mempengaruhi pemikiran tan malaka tentang kemerdekaan Indonesia dikutip dalam karya Zulhasril Natsir yang berjudul "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," dibahas hubungan antara revolusi Tan Malaka dan berbagai aspek sosial serta budaya Minangkabau, terutama gerakan kiri yang menentang penjajahan. Buku ini berusaha menjelaskan unsur-unsur egalitarian Minangkabau yang muncul dari figur-figur berpengaruh di daerah tersebut. Sejak awal kehidupan, Tan Malaka hidup dalam situasi penindasan. Di Minangkabau, selain mendapatkan pelajaran bela diri silat, anak laki-laki juga diwajibkan untuk mengaji setiap hari. Sebagai anak yang lahir dari keluarga bergama Islam, ia tentunya mengetahui ajaran yang dianutnya. Bahkan, dalam buku "Islam dalam Tujuan Madilog" yang diterbitkan pada tahun 1951, dijelaskan bahwa saat masih kecil Tan Malaka sudah mengerti tafsir Al-Qur'an dan diakui sebagai seorang guru muda. Pemahaman Islam yang kuat dalam dirinya membuatnya dipanggil sebagai Trotskyis, yang dianggap keluar dari ideologi komunis (Islam, 2016).

Dapat dipahami bahwa Tan Malaka adalah salah satu dampak dari politik etis yang sedang berkembang di Indonesia pada masa itu. Setelah menjalani pendidikan di Belanda, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1919 dengan membawa pengetahuan yang didapatkan di sana. Ia kemudian terlibat dalam gerakan politik. Tan Malaka memiliki dua pilihan, yaitu menyerah atau melawan. Ia bisa memilih untuk tetap sebagai guru dengan gaji yang tinggi, menikmati kehidupan nyaman, atau meninggalkan semua fasilitas itu untuk melawan ketidakadilan. Dalam perjuangannya, Tan Malaka tidak hanya berpikir tentang kemenangan, tetapi juga mempertimbangkan tujuan setelah meraih kemenangan tersebut. Di sinilah terletak keunggulan Tan Malaka; selain menjadi ahli strategi perang, dia juga seorang filsuf yang mengembangkan filsafat revolusioner yang menjadi landasan perjuangannya. Muhtar Said mengutip pernyataan Tan Malaka dalam karyanya yang bertajuk "Manifesto Jakarta" (1945), "Jangan biarkan modal asing mengganggu perkembangan perusahaan Indonesia. Ini pasti akan terjadi jika modal asing diizinkan untuk menyewa tanah dan menguasai sumber daya Indonesia" (Purwaningsih, 2019).

Konsep berpikir Tan Malaka terkait dengan sistem negara yang ada dalam visinya adalah menempatkan negara sebagai entitas dengan kekuasaan total yang mampu mengawasi hingga ke lapisan terbawah. Selain itu, Tan Malaka melihat komunisme bukan sebagai sebuah sistem nilai yang terikat pada dogma, tetapi sebagai pendekatan dan strategi untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia. Ia menafsirkan komunisme sebagai alat untuk mengusir penjajah dari Indonesia, terbukti dari komitmen internasional yang mendorong perpaduan antara pan-Islamisme dan komunisme demi menghapuskan feodalisme dan imperialisme.

Namun, untuk mengatur Indonesia, revolusi nasional saja tidak memadai. Diperlukan juga revolusi sosial untuk membangun suatu sistem kehidupan yang bebas dari penindasan dan berpihak pada keadilan. Pemikiran ini kemudian menjadi landasan bagi Tan Malaka, yang menjadikannya seorang perancang negara dengan cita-cita kesejahteraan rakyat Indonesia di bawah prinsip sosialisme dan keadilan. Salah satu faktor yang membentuk karakter politik Tan Malaka adalah budaya Minangkabau. Selain itu, aspek religius juga memainkan peran penting, sehingga memberikan pengaruh besar terhadap cara berpikirnya.

Dan juga karena masa mudanya, Tan Malaka pernah beberapa kali menginjakan kakinya ke wilayah barat, sehingga ada peran pengaruh marxisme dalam setiap konsep berfikirnya. PKI merupakan partai marxis yang paling besar dan signifikan di Indonesia. Sejarah partai ini banyak dipenuhi oleh berbagai tantangan yang muncul, terutama karena adanya perbedaan antara ideologi marxis yang diwakili oleh komintern dan kenyataan yang ada di Indonesia. Tantangan ini muncul dari perbedaan yang sangat mendasar, tidak hanya terkait perkembangan pki, tetapi juga berkaitan dengan peran asli marxis dalam arus utama nasionalisme di Indonesia.

Dengan penjelasan tersebut, penulis ingin menghubungkan dengan cara berpikir tan malaka. Tidak dapat disangkal bahwa pemikiran revolusioner tan malaka sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme. Ia juga terlibat dalam pki dan bahkan menjabat sebagai ketuanya, serta menjadi perwakilan komintern untuk Asia di Moskow. Hal ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tan malaka adalah seorang marxis menurut pandangan penulis.

Sementara itu, teori revolusioner yang dipelajari tan malaka berasal dari revolusi Perancis. Filsafat materialisme dialektika dan historis yang diajukan oleh karl marx, berusaha dikembangkan tan malaka dalam konteks yang berbeda, yaitu dengan memperhatikan situasi dan kondisi Indonesia yang sedang dijajah pada waktu itu. Marxisme adalah sistem pemikiran yang muncul dari pandangan karl marx. Menurut lenin, marxisme adalah seni yang melanjutkan dan menyempurnakan tiga aliran ideologi utama di abad ke-19, yang masing-masing dipresentasikan oleh tiga negara maju dalam sejarah umat manusia, yaitu filsafat klasik Jerman, ekonomi politik klasik Inggris, dan sosialis Perancis, yang semuanya dipadukan dengan ajaran revolusi Perancis.

KESIMPULAN

Pemikiran dan perjuangan Tan Malaka fokus pada upaya memerdekakan bangsa Indonesia sambil melakukan transformasi menyeluruh terhadap sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tan Malaka, yang memberikan kontribusi signifikan sebelum tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta, menerbitkan pamflet "Naar de Republik Indonesia" pada tahun 1925 yang berisi gagasan dan konsep menuju kemerdekaan. Setelah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia, ia berusaha untuk meningkatkan pendidikan anggota partai tersebut dan mendirikan Partai Republik Indonesia untuk menggantikan PKI. Tan Malaka mengusulkan bahwa negara merdeka harus mencakup industrialisasi dan kekuatan ekonomi untuk mencegah imperialisme. Dalam diskusi tentang republik, ia menolak sistem parlemen yang dianggap merugikan dan menyarankan agar negara dikelola oleh satu organisasi tunggal dengan pembagian tugas yang jelas. Melalui berbagai karyanya, Tan Malaka menekankan pentingnya hak-hak rakyat dan perwakilan oposisi yang terpisah dari masyarakat, sehingga pemikiran dan perjuangannya tetap relevan dalam konteks modern.

Buku karya Zulhasril Natsir, "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," membahas keterkaitan revolusi Tan Malaka dengan sosio-kultural Minangkabau serta gerakan kiri yang menolak penjajahan. Tan Malaka, yang lahir di lingkungan terjajah, menunjukkan pemahaman mendalam tentang agama Islam dan nilai-nilai egaliter yang berpengaruh dalam gerakan politiknya. Setelah belajar di Belanda, ia kembali ke Indonesia dan mulai merangkul aktivitas politik, menghadapi pilihan sulit antara kenyamanan sebagai guru atau berjuang melawan ketidakadilan. Ia berperan aktif dalam organisasi politik, menjadi ketua Partai Komunis Indonesia, dan mendirikan Partai Republik Indonesia dan Partai Murba. Pemikiran Tan Malaka terinspirasi oleh marxisme dan memperjuangkan revolusi sosial dan nasional untuk menciptakan sistem yang adil. Ia memandang komunisme sebagai alat melawan penjajahan dan berkomitmen terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia melalui prinsip sosialisme. Budaya Minangkabau dan religiusitasnya memberi pengaruh besar dalam visi dan strategi perjuangannya.

Dan juga, dalil daripada Tan Malaka Mengkritiki daripada konsep trias politica Montesquieu adalah ada peluang masuknya kaum pemodal ke wilayah kekuasaan, baik it uke Lembaga Eksekutif, Lembaga Legislatif dan Lembaga Yudikatif. Pada akhirnya, demokrasi yang awalnya tujuanya untuk kemaslahatan rakyat bias menjadi hanya dirasakan segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu. Tan Malaka menekankan bahwasanya negara ini tidak perlu parlemen, negara ini cukup diisi oleh satu partai/organisasi sebagai penguasa/pemerintah dan satu partai/organisasi sebagai oposisi. Dan juga agar partai/organisasi tersebut terhindar dari orang-orang yang tidak berkompeten, system recruitmentnya adalah dengan kaderisasi yang ketat. Maka terciptalah demokrasi yang ideal menurut Tan Malaka yaitu Kesejahteraan Rakyat.

Adi Setiawan, A. (2017). Analisis Wacana Pemikiran Politik Tan Malaka Pada Buku Aksi Massa Karya Tan Malaka. Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Alamudi, I. A. (2023). Resistensi Ideologi Sosialisme Terhadap Ideologi Kapitalisme (Membumikan Kembali Pemikiran Tan Malaka Dalam Sejarah Indonesia). Lani: Jurnal Kajian Ilmu Sejarah Dan Budaya, 4(1), 64--74.

Aslamah, S. (2011). Geneologi Pemikiran Politik Tan Malaka. Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Budiardjo, M. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.

Dedi, A. (2018). Pemikiran Politik Soekarno, Bung Hatta, Dan Tan Malaka Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 4(4), 527--532.

Hutabarat, M. V. (2010). Pemikiran Politik Tan Malaka Tentang Konsep Kemerdekaan Indonesia. Universitas Sumatera Utara.

Islam, M. F. (2016). Pemikiran Politik (Madilog) Tan Malaka Menuju Kemerdekaan Indonesia. El-Banat, 6(2), 34--42.

Kusumo, H. (2010). Rasionalitas Tan Malaka Dalam Madilog Sebagai Gerak Sejarah. Skripsi Fakultas Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma ....

Permata, H. (2011). Filsafat Dan Konsep Negara Marxisme. Jurnal Filsafat, 21(3), 200--223.

Ponirin, P., & Silaban, A. P. (N.D.). Pemikiran Politik Tan Malaka Tentang Konsep Negara Indonesia. Puteri Hijau: Jurnal Pendidikan Sejarah, 4(1), 58--69.

Pratama, A. S. (2019). Pemikiran Politik Ekonomi Tan Malaka Dan Relevansinya Di Indonesia. Uin Raden Intan Lampung.

Purwaningsih, R. (2019). Pemikiran Tan Malaka Tentang Strategi Kemerdekaan Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Siyasah Dan Ham Pbb (Ham Universal). Uin Raden Intan Lampung.

Zulhelmi, Z. (2015). Konsep Sosial Politik Tan Malaka Dan Relevansinya Bagi Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 16(2), 20--37.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun