Mohon tunggu...
PUZAN BUARDI
PUZAN BUARDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UIN SGD BANDUNG

PROLETARIAT

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Sosiologis Politik Tan Malaka dan Kritik Terhadap Implementasi Trias Politica di Indonesia

15 Desember 2024   03:42 Diperbarui: 15 Desember 2024   03:42 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada dasarnya, gagasan dan perjuangan Tan Malaka berfokus pada bagaimana membebaskan bangsanya dan melakukan perubahan total terhadap seluruh sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Sebelum Sukarno menulis "Indonesia Menggugat" pada tahun 1932 yang menjelaskan pentingnya kemerdekaan bagi Indonesia, atau Hatta dengan "Menuju Indonesia Merdeka" pada tahun 1930, Tan Malaka telah menerbitkan pamflet yang berjudul "Naar de Republik Indonesia" sebagai rencana untuk mencapai kemerdekaan Indonesia yang pertama kali terbit di Kowloon, Cina, pada bulan April 1925 saat ia berada dalam pengasingan. Semua pemikiran, program, dan konsep mengenai negara Indonesia sudah diuraikannya di dalam pamflet tersebut. Keinginannya untuk terlibat dalam gerakan kemerdekaan membawanya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia yang didirikan di luar Uni Soviet. Semangat dan komitmennya yang tinggi dalam gerakan tersebut tetap kuat. Setelah bergabung dengan PKI, ia merencanakan berbagai bentuk pendidikan untuk anggota PKI agar dapat menyusun sistem kursus kader, mengajarkan ajaran komunis, keterampilan berbicara, jurnalistik, dan cara mengorganisir rakyat.

Agar perjuangannya untuk kemerdekaan lebih efektif, Tan Malaka mulai memikirkan alat politik sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Pada tahun 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Thailand. Partai ini menolak untuk berkoordinasi dengan Komintern. Bersama Soebakat dan Djamaluddin Tamin, PARI menyatakan bahwa mereka independen dari Komintern dan PKI. Upaya PARI didasarkan pada pamflet "Naar de Republik Indonesia" sebagai gerakan bawah tanah yang bertujuan memimpin revolusi Indonesia menggantikan peran PKI. Namun, setelah dua tokoh kepercayaan Tan Malaka tertangkap, PARI sebagai gerakan kiri di Indonesia tidak berkembang dengan baik.  Tan Malaka menjelaskan rencana merdeka 100 persennya secara lebih mendalam dalam sebuah brosur yang ia tulis di Surabaya. Brosur tersebut berjudul "Politik" dan diikuti dengan tulisan "Rencana Ekonomi" dan "Moeslihat". Ketiga brosur ini saling terkait satu sama lain. Ia memulai penjelasan gagasan merdeka 100 persen dengan perumpamaan burung gelatik. Burung gelatik tampak lemah dan selalu terancam oleh musuh. Di cabang rendah, ia harus waspada terhadap kucing, sementara di cabang tinggi, ia harus waspada terhadap elang. Ia hidup dalam ketakutan dan merasa terancam. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari segala teror dan rasa takut.

Dalam bukunya "Dari Penjara ke Penjara", ia menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi negara merdeka harus jelas. Ilmu kenegaraan resmi mendefinisikan negara merdeka hanya dengan tiga syarat: wilayah, penduduk, dan pemerintah. Tan Malaka merasa perlu adanya perbaikan dan penambahan karena negara modern tidak dapat hidup dengan aman hanya berdasarkan tiga syarat tersebut. Setidaknya, ada tiga syarat tambahan yang harus diperhatikan: industrialisasi, pasokan bahan mentah, dan lokasi yang strategis.

Sementara itu, saat kita meneliti tulisan Tan Malaka dalam bukunya "naar de republik" yang terbit pada tahun 1925, ia menegaskan bahwa ia sebenarnya memikirkan gagasan republik, tetapi tidak setuju dengan sistem parlemen atau trias politika. Ia berpendapat bahwa negara yang mengikuti prinsip trias politika dalam sistem parlementer adalah tindakan yang bodoh dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Ini terutama berlaku dalam konteks negara merdeka yang masih dalam tahap awal, di mana pemisahan antara lembaga kekuasaan akan menciptakan perbedaan dalam pemahaman atas kenyataan, sehingga dapat menyebabkan konflik antara hukum dan keadaan yang sesungguhnya. Menurut Tan Malaka, sebuah negara harus beroperasi secara efisien dan efektif. Ini berarti demokrasi parlementer bukanlah satu-satunya model demokrasi perwakilan atau metode dalam pengelolaan negara.

Konsep republik menurut Tan Malaka tidak sesuai dengan trias politika yang dijelaskan oleh Montesquieu, melainkan adalah negara yang dikelola oleh sebuah organisasi tunggal seperti yang telah dicontohkan sebelumnya. Tampak jelas bahwa Tan Malaka skeptis terhadap parlemen; ia berpendapat bahwa pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif hanya akan merusak negara. Pemisahan antara mereka yang merumuskan undang-undang dan yang menerapkan aturan menyebabkan adanya ketidakselarasan antara hukum dan praktik nyata.

Pembagian kekuasaan yang meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif (parlemen) hanya akan menimbulkan kerusakan. Para pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah mereka yang berhadapan langsung dengan masalah yang ada. Eksekutif sering kali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya ketika peraturan ditetapkan oleh orang-orang yang hanya mengamati isu dari jarak jauh (parlemen). Dalam sistem demokrasi parlementer, ritual pemilu biasanya terjadi setiap 4, 5, atau 6 tahun sekali. Dalam rentang waktu yang panjang ini, mereka telah membentuk kelompok terpisah yang menjauh dari masyarakat. Mereka telah membentuk kelas yang jauh lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya, sementara kebutuhan dan pikiran rakyat terus berubah. Karena para anggota parlemen tidak lagi berinteraksi dengan masyarakat, mereka seharusnya tidak lagi dianggap sebagai wakil rakyat.

Tan Malaka menegaskan bahwa keberadaan parlemen dalam republik tidaklah diperlukan, yang berarti bahwa suatu negara Indonesia di masa depan tidak akan memerlukan lembaga legislatif. Karena pandangan ini, Tan Malaka sangat menentang maklumat yang dikeluarkan oleh wakil presiden nomor x pada tahun 1945 mengenai pembentukan partai-partai politik. Menurutnya, partai-partai pada akhirnya hanya akan berujung di parlemen dan bersatu dengan pemerintahan (eksekutif). Di dalam pandangan Tan Malaka, suatu negara harus dikelola oleh satu organisasi tunggal. Dalam struktur organisasi tersebut, kewenangan dibagi menjadi pelaksana, pengawas, dan badan peradilan.

  • Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Tan Malaka; Tentang Kemerdekaan Indonesia Dan Pengaruh Marxisme 

Dalam buku karya Zulhasril Natsir yang berjudul "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," diulas tentang keterkaitan antara revolusi Tan Malaka dengan faktor sosial budaya Minangkabau serta gerakan kiri yang menolak penjajahan. Buku ini berupaya meneliti elemen-elemen egaliter dalam masyarakat Minangkabau yang muncul dari tokoh-tokoh daerah tersebut yang terlibat dalam gerakan kiri. Ideologi Tan Malaka diyakini merupakan refleksi dari budaya dan sejarah yang dilalui, dengan pengaruh gagasan seperti marxisme yang dia pelajari sepanjang perjuangannya di Eropa, Asia, dan di tanah kelahirannya.

Anak laki-laki Minang biasa diajarkan ilmu bela diri dan juga diwajibkan untuk belajar agama setiap hari. Sebagai anak dari keluarga yang sangat religius, Tan Malaka tentu saja memiliki pemahaman yang mendalam tentang keyakinannya. Bahkan dijelaskan dalam buku "Islam dalam Tinjauan Madilog" (1951), saat masih kecil, Tan Malaka sudah dapat memahami tafsir Al-Quran dan diakui sebagai guru muda. Dari pemahaman tentang Islam tersebut, terlihat adanya kesamaan dengan perjuangan sosialisme yang ia lakukan. Keyakinan Islam yang kuat dalam dirinya menjadikan dirinya dicap sebagai Trotskyis, yang dianggap telah berikrar untuk keluar dari komunisme. Sejak lahir, Tan Malaka sudah mengalami hidup dalam keadaan terjajah, ia diperkirakan lahir pada 1894 dan telah memasuki pendidikan dasar pada tahun 1903. Di sisi lain, pada tahun 1899, ide yang digagas oleh Conrad Theodore van Deventer telah mempengaruhi Indonesia melalui artikel yang diterbitkan di media "De Gids" yang berjudul "Een Eereschuld" (utang kehormatan) pada tahun yang sama (Suhartono, 1994:16).  Bisa dikatakan bahwa Tan Malaka adalah contoh nyata dari dampak politik etis yang sedang berlangsung di Indonesia pada waktu itu. Setelah menempuh pendidikan di Belanda, pada tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia dengan bekal pengetahuan yang diperolehnya. Sekolah pertama yang ia tempati adalah sebagai guru untuk anak-anak di perkebunan di Sumatera Timur. Di sinilah para kapitalis menguasai dan mengeksploitasi tanah, serta memperlakukan buruh pribumi dengan cara yang sangat kejam.

Dengan perlahan, Tan Malaka mulai terlibat dalam gerakan politik yang membawanya pada pilihan untuk tunduk atau melawan. Ia harus memilih antara tetap sebagai guru dengan imbalan tinggi dari kerja keras rakyatnya atau meninggalkan semua kenyamanan untuk berjuang melawan praktik yang tidak adil. Memutuskan untuk melangkah ke pusat gerakan di Jawa, Tan Malaka datang dengan semangat yang membara. Di sana ia bertemu dengan para aktivis dan bergabung dengan Serikat Dagang Islam (SDI) serta menjadi ketua Partai Komunis Indonesia menggantikan Semaun. Organisasi ini menjadi alat politik dan langkah awal perlawanan Tan Malaka, yang kemudian membawanya untuk mendirikan Partai Republik Indonesia dan Partai Murba, meskipun tidak bertahan lama. Ketika memasuki arena perjuangan yang berbahaya, ia dengan penuh kesadaran siap untuk menghadapi gerakan rakyat yang nyata dan melawan kolonialisme serta imperialisme secara langsung.

Faktor yang mempengaruhi pemikiran tan malaka tentang kemerdekaan Indonesia dikutip dalam karya Zulhasril Natsir yang berjudul "Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau," dibahas hubungan antara revolusi Tan Malaka dan berbagai aspek sosial serta budaya Minangkabau, terutama gerakan kiri yang menentang penjajahan. Buku ini berusaha menjelaskan unsur-unsur egalitarian Minangkabau yang muncul dari figur-figur berpengaruh di daerah tersebut. Sejak awal kehidupan, Tan Malaka hidup dalam situasi penindasan. Di Minangkabau, selain mendapatkan pelajaran bela diri silat, anak laki-laki juga diwajibkan untuk mengaji setiap hari. Sebagai anak yang lahir dari keluarga bergama Islam, ia tentunya mengetahui ajaran yang dianutnya. Bahkan, dalam buku "Islam dalam Tujuan Madilog" yang diterbitkan pada tahun 1951, dijelaskan bahwa saat masih kecil Tan Malaka sudah mengerti tafsir Al-Qur'an dan diakui sebagai seorang guru muda. Pemahaman Islam yang kuat dalam dirinya membuatnya dipanggil sebagai Trotskyis, yang dianggap keluar dari ideologi komunis (Islam, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun